Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
INFID menyoroti tingginya suku bunga pembiayaan dari AIIB.
Secara historis, suku bunga pinjaman Jepang selalu sangat rendah.
Besaran suku bunga biasanya berbanding lurus dengan risiko.
JAKARTA — Tim peneliti International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyoroti tingginya suku bunga pembiayaan dari Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) untuk pembangunan infrastruktur dasar Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Musababnya, peneliti juga menemukan pinjaman pada proyek strategis lainnya bisa mendapat suku bunga jauh lebih murah dibanding pinjaman untuk Mandalika.
Selain dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), KEK Mandalika memperoleh pembiayaan dari AIIB yang berkantor pusat di Beijing melalui Proyek Infrastruktur Urban dan Pariwisata Mandalika (MUTIP) sebesar US$ 248,4 juta. Pinjaman itu dijamin oleh negara untuk membangun infrastruktur dasar. Pembiayaan MUTIP merupakan 78,5 persen dari kebutuhan infrastruktur dasar.
Pinjaman dari bank pembangunan multilateral ini termasuk utang jangka panjang yang memiliki tenor 35 tahun dan masa tenggang 10 tahun, dengan suku bunga 6 persen atau sesuai dengan London Interbank Offered Rate plus 1,4 persen per tahun. Bandingkan dengan bunga bantuan pembangunan oleh negara donor, misalnya pinjaman dari Jepang untuk Pelabuhan Patimban di Jawa Barat pada 2017 yang memiliki nilai pinjaman setara Rp 15,18 triliun dengan suku bunga 0,1 persen selama 40 tahun.
"Kami mempertanyakan perbedaan kontras suku bunga pembiayaan ini karena bunga AIIB lebih tinggi," ujar Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), Badiul Hadi, kepada Tempo, kemarin. Badiul terlibat dalam penelitian dan penyusunan kertas kebijakan INFID berjudul "Perbaikan Penerapan Blended Finance dalam Proyek Pembangunan untuk Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 dan Menuju Visi Indonesia 2045: Studi Kasus Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika".
Baca juga: Sengkarut Lahan Tersisa di Perhelatan MotoGP
Perkara utang menjadi temuan kala peneliti menelaah penerapan blended finance KEK Mandalika pada Tujuan ke-17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), yaitu kemitraan untuk mencapai tujuan. Menurut para peneliti, penerapan pembiayaan campuran dalam proyek pembangunan harus melibatkan multi-pemangku kepentingan dengan profil yang berbeda-beda, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, operator pelaksana proyek, lembaga donor, bank pembangunan multilateral, dan investor swasta.
Adapun tantangan KEK Mandalika dalam mencapai Tujuan ke-17 dari TPB adalah membangun kemitraan yang efektif, sebagaimana prinsip Blended Finance ke-4. Ihwal pembiayaan, adanya suntikan APBN dan pendanaan AIIB sebenarnya dinilai telah menjadi pengungkit untuk mendatangkan beberapa investor, misalnya himpunan bank-bank milik negara, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk, serta investor swasta VINCI Construction Grands Projets.
"Tapi kami ingin memberi peringatan ke pemerintah, kalau mau serius, ada pinjaman yang lebih murah," kata Badiul. Ia mempertanyakan alasan pemerintah tidak mengupayakan pembiayaan yang lebih murah, padahal telah ada contohnya di proyek lain. Ia menduga pemerintah hanya mencari pendanaan tercepat. "Seharusnya pemerintah menyelamatkan uang negara dengan mencari pinjaman dengan suku bunga terendah sehingga beban keuangan negara tidak berat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Landmark Kuta Lane Mandalika di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Kuta, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 5 Agustus 2023. ANTARA/Ahmad Subaidi
Waspada Menarik Pinjaman Luar Negeri
Menurut Badiul, persoalan ini harus menjadi pelajaran agar pemerintah lebih berhati-hati dalam menarik pinjaman dari luar negeri. Perkara suku bunga pun harus menjadi pertimbangan. Ia tak ingin upaya pemerintah mengejar investasi masuk justru mengabaikan beban bunga yang berpotensi memberatkan keuangan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Apalagi ini proyek komersial, kok, pemerintah kesusahan mencari investor, sampai harus mencari pemberi pinjaman yang cukup besar bunganya?"
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listyanto, mengatakan perkara bunga biasanya berbanding lurus dengan risiko. Namun, dalam konteks pinjaman multilateral, ia melihat suku bunga 6 persen tentu lebih tinggi dibanding pinjaman dari Jepang yang hanya 0,1 persen.
"Seharusnya (pinjaman untuk Mandalika) lebih rendah dari itu, entah negosiasinya bagaimana. Walau tidak apple to apple dibandingkan dengan Patimban," kata dia.
Secara historis, Eko mengatakan pinjaman Jepang kerap diberikan dengan suku bunga rendah. Hanya, Negeri Sakura selalu memberikan persyaratan rinci, yang terkadang berat untuk disanggupi. Di samping itu, kadang kala Jepang menghindari transfer teknologi sehingga keuntungan ekonomi dan politik bagi Indonesia kecil. Namun ia tak memungkiri bahwa suku bunga 6 persen cukup tinggi dan hampir mendekati suku bunga Surat Berharga Negara (SBN). Karena itu, menurut dia, negara punya opsi menerbitkan SBN untuk membiayai KEK Mandalia.
Suasana di Pertamina Mandalika International Street Circuit, KEK Mandalika, Pujut, Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 13 Agustus 2023. ANTARA/Ahmad Subaidi
Di samping itu, penilaian atas suku bunga tidak bisa lepas dari konteks waktu dan kemendesakan ketika pembiayaan disetujui. "Problem di kita, kalau bicara keberlanjutan biasanya mahal. Ini kan kebetulan proyek yang mendesak sehingga pilihan tidak banyak," tutur Eko. Ia menegaskan agar pemerintah ke depannya tidak asal mendatangkan investor, melainkan melihat nilai-nilai keberlanjutan.
Manajer Pilar Pembangunan Ekonomi Bappenas, Setyo Budiantoro, mengatakan saat ini skema blended finance masih menghadapi dua tantangan, yakni sektor konsesional, seperti filantropi, yang dapat memberi pendanaan agar bisa menjadi pengungkit yang menarik minat swasta masuk ke dalam proyek serta sektor komersial yang memahami skema pembiayaan campuran.
"Seharusnya multilateral masuk dengan bunga yang lebih rendah dari pasar. Agak mengherankan kalau bunganya justru tinggi seperti komersial. Karena semestinya bersifat debottlenecking kebutuhan pembiayaan infrastruktur," ujar Setyo.
Di sisi lain, untuk pendanaan dari sektor komersial, ia mengakui para investor masih mau masuk kalau suku bunganya menguntungkan, atau sesuai dengan tren pasar. Musababnya, para pemodal menilai sektor pembangunan berkelanjutan sebagai sektor berisiko tinggi karena baru.
"Makanya, pada blended finance, meski didukung pendanaan konsesional, mereka masih berpandangan konservatif. Akibatnya, kita belum mendapat pendanaan dengan bunga rendah."
CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo