Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Satpol PP segel Cafe RM setelah sempat mendapat teguran dua kali pada masa PSBB.
Cafe RM pasang peredam suara dan tembok dinding depan untuk mengurangi kebisingan.
Sejumlah pengunjung dikabarkan sering berkelahi dalam keadaan mabuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Tak ada yang mencolok saat kita menyusuri area tikungan antara Jalan Daan Mogot dan Jalan Lingkar Luar Barat, Cengkareng, Jakarta Barat, pada pagi hingga sore hari. Di sepanjang jalan tersebut, sebagian besar denyut ekonomi berasal dari toko furnitur. Hanya di beberapa titik yang berbentuk perkantoran, seperti gedung milik PT Lingga Abadi, PT Pos Indonesia, dan Grab Kitchen.
Sulit menemukan lokasi Cafe RM tanpa melihat detail petunjuk di Google Maps atau bertanya kepada warga setempat. Pasalnya, Cafe RM—yang berada tepat di antara gedung PT Lingga dan Grab Kitchen—tak menampilkan satu pun petunjuk. Tak ada plang, neon box, spanduk, atau tulisan apa pun di bar yang menyajikan musik pop Batak tersebut.
Kafe itu merupakan lokasi penembakan yang dilakukan Brigadir Kepala Cornelius Siahaan. Pada Kamis dinihari lalu, Cornelius yang mabuk mengamuk saat mendapat tagihan. Dia menembak empat karyawan RM, satu di antaranya adalah Prajurit Satu Martinus Riski Kardo Sinurat, yang disebut menjadi tenaga keamanan di sana.
Dari sisi luar, tempat kejadian perkara ini lebih mirip rumah dengan pintu kecil di satu sisinya. Fasad mukanya tertutup tembok yang berlapis keramik berwarna cokelat.
Namun kondisi lokasi tersebut bersalin 180 derajat pada dinihari hingga subuh. “Biasanya sekitar jam 10 malam sampai jam 4 pagi. Terus-terusan, mau bulan puasa atau PSBB, tetap saja mereka buka,” kata Ketua Rukun Warga 004 Cengkareng Barat, Ali Rosiani, kepada Tempo di kediamannya pada akhir pekan lalu.
Sebagai pengurus lingkungan, Ali berulang kali mengirimkan teguran berupa surat, pesan singkat, dan lisan kepada pengelola Cafe RM. Alasannya, warga di belakang tempat hiburan itu terganggu oleh kebisingan yang mereka timbulkan. Pengelola, dia melanjutkan, menanggapinya dengan memasang sistem peredam suara. “Ya, sudahlah. Yang penting jangan resek atau ganggu warga. Saya juga enggak punya kewenangan apa-apa untuk bubarin atau lainnya,” ujar dia.
Menurut Ali, lokasi kafe tersebut awalnya milik pengusaha bernama Rudi, yang mendirikan toko kain atau tekstil pada permulaan 2000-an. Toko tersebut kemudian berganti menjadi tempat bermain bola sodok sekitar 2013. Sejak saat itu, secara perlahan, dibangun fasilitas kafe dan hiburan di tempat tersebut. Kafe itu berkembang dan mengalami sejumlah renovasi sejak diambil alih oleh pengelola yang bernama Damanik. “Sekitar tiga tahun. Saya kalau menegur ke Damanik, jawabnya hanya iya, iya saja,” kata dia.
Garis polisi di RM Cafe, kawasan Cengkareng, Jakarta Barat, Minggu, 28 Februari 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Petugas keamanan PT Lingga sekaligus warga RW 004, Eddy, mengatakan puluhan tamu mulai datang ke Cafe RM menjelang tengah malam. Mayoritas dari pengunjung datang menggunakan kendaraan roda empat. Kondisi halaman parkir Cafe RM yang sempit membuat tamu memarkir kendaraan di sepanjang bahu Jalan Lingkar Luar Barat. Beberapa orang juga menggunakan akses masuk toko furnitur yang kebanyakan sudah tutup sekitar pukul 19.00. “Sempat minta parkir di halaman kami (PT Lingga), tapi kami tolak,” kata Eddy. “Untungnya baru ramai malam, jadi parkiran mereka enggak bikin macet.”
Menurut kesaksian Eddy dan teman-temannya, sejumlah pengunjung Cafe RM memang beberapa kali bertengkar dalam keadaan mabuk. Senada dengan Ali, dia juga menyebutkan bar tersebut terus beroperasi selama masa penanganan pandemi Covid-19 atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB)
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Barat, Tamo Sijabat, menampik tudingan membiarkan Cafe RM buka pada masa PSBB. Menurut dia, Satpol PP telah menghentikan kegiatan mereka saat mendapati pelanggaran operasional pada 5 dan 12 Oktober lalu. “Sudah pernah kena denda juga,” kata Tamo.
Ketua Asosiasi Pengusahaan Hiburan Jakarta (Asphija), Hanna Suryani, mempersoalkan status operasional Cafe RM yang bebas berjualan minuman keras. Undang-undang hanya memberikan izin penjualan minuman beralkohol di lokasi hiburan, seperti restoran dengan miras golongan A serta bar dengan miras golongan B dan C.
Hana Suryani. Dokumetasi Pribadi
Di sisi lain, Hanna melanjutkan, semua anggota Asphija pun belum ada yang beroperasi karena menaati aturan PSBB dari pemerintah DKI. “Sejak kapan kafe bisa jual miras? Mereka jelas bukan usaha hiburan. Pemerintah harus tegas soal ketentuan izin. Jangan tebang pilih. Kayak gini ada banyak di Jakarta,” kata dia.
Kepala Bidang Industri Pariwisata DKI, Bambang Ismadi, menyatakan tak pernah mengeluarkan izin operasional kepada Cafe RM. Menurut dia, bar tersebut memiliki tanda daftar usaha pariwisata yang dikeluarkan Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS (online single submission) di tingkat pusat pada Mei 2019.
Perbedaan instansi memberi izin ini yang membuat DKI hanya bisa menutup kegiatan operasional Cafe RM, bukan mencabutnya. “Karena izin usaha bukan dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI, maka pencabutan izinnya juga kewenangan instansi yang bersangkutan,” kata dia.
FRANSISCO ROSARIANS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo