Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Cagar Budaya yang Merana

Beberapa rumah tokoh kemerdekaan Indonesia dijadikan bangunan cagar budaya. Tapi dukungan dan perhatian pemerintah sangat minim.

10 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH itu terkunci rapat. Tak seorang pun terlihat di dalam. Pintu dan daun jendelanya bercat biru berpadu dengan warna kuning pudar. Kaca di tengahnya dibiarkan kusam. Dinding tak terawat. Di beberapa bagian, semennya terkelupas. Lama orang mengenal rumah itu, tapi tak banyak yang tahu bahwa rumah 15 x 4 meter tersebut menyimpan cerita penting dalam sejarah Indonesia.

Di atas pintu masuk terpampang plakat kuning keemasan bertulisan "Rumah Kelahiran Bung Karno, Jalan Pandean IV Nomor 40, rumah tempat kelahiran dan masa kanak-kanak Bung Karno (Presiden pertama Indonesia). Bangunan Cagar Budaya sesuai SK Wali Kota Surabaya. Tertanda Pemerintah Kota Surabaya tahun 2013".

Ya, rumah di Jalan Peneleh, Gang Pandean IV Nomor 40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya, itu tempat Sukarno melewati masa kecilnya. Di luar gang terdapat spanduk besar bergambar Sukarno disertai tulisan "Pandean bersejarah, tanah kelahiran Sukarno". Poster lain berbunyi "Suroboyo kampung Soekarno. Jasmerah: Jangan meninggalkan sejarah. Tetap berjuang".

Menurut Mohammad Ibrahim Abdullah, Ketua RT 4 RW 13, Kelurahan Peneleh, awalnya tak ada yang peduli dengan bangunan tua itu. Namun, setelah beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa itu bekas rumah Sukarno, banyak yang ingin melihat, termasuk turis mancanegara. "Rumah itu baru terkenal sejak 2010, setelah pakar sejarah Peter A. Rohi menemukan rumah tersebut," kata Ibrahim.

Meski sudah berstatus cagar budaya, kepemilikan rumah itu masih dikuasai perorangan. Pemerintah belum juga mengambil alih. "Yang saya tahu harganya belum deal," kata Ibrahim. Adapun pemilik rumah itu adalah tiga bersaudara, yaitu Jamilah, Mahmud, dan Khodijah. "Tapi yang tinggal di rumah itu hanya Ibu Jamilah dan suaminya, Pak Khoiri, serta Pak Mahmud."

Kakak Jamilah, Samsul Arifin, mengatakan keluarganya tidak keberatan jika rumah yang mereka tempati dijadikan monumen bersejarah ataupun cagar budaya. Namun perlu ada pengakuan dan perhatian langsung dari keluarga Bung Karno. Selama ini perhatian itu tak ada. Biaya perawatan dan kebersihan rumah pun ditanggung keluarga mereka.

Tak jauh dari rumah itu, di Gang Peneleh 7, sebuah plakat kuning keemasan menempel di rumah joglo tua berukuran 9 x 13 meter. Di plakat itu tertulis "Bangunan Cagar Budaya sesuai SK Wali Kota Surabaya". Hanya, berbeda dengan bekas rumah Sukarno, rumah yang pernah ditinggali Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto ini lebih terawat.

Ini karena Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya mengangkat seorang juru kunci sekaligus penanggung jawab rumah. Pada 2009, rumah itu dihibahkan oleh ahli waris H O.S. Tjokroaminoto ke pemerintah Surabaya. "Pada 1996 ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya," kata Eko Hadi Ratno, juru kunci rumah yang juga Ketua RT 2 RW 4, Gang Peneleh 7.

Rumah dengan daun pintu krem berpadu hijau tua itu tampak resik. Bendera Merah Putih di depan pagar berkibar perlahan diterpa angin musim kemarau. Rumah yang dibangun pada 1870 ini pernah menjadi tempat indekos siswa Hogere Burgerschool (HBS), yang kemudian menjadi tokoh penting di republik ini: Sukarno, Alimin, Semaun, Musso, Kartosoewirjo, dan Tan Malaka.

Ada beberapa kamar tidur di rumah itu. Satu-satunya kamar yang masih terjaga keasliannya adalah kamar milik Tjokroaminoto. Sayangnya, kamar itu minim perabotan. Hanya ada satu lemari antik dan satu meja rias kuno di sudut ruangan. Bahkan ranjang yang sewajarnya ada dalam kamar tidur pun tak ada.

"Bu Ani (Nuraini Mahdiati Hidayat, istri bekas Menteri Perindustrian M.S. Hidayat) menyebut kamar itu kamar jempol. Itu kamar yang paling bagus, mustajabah. Yang berdoa di situ kemungkinan terkabul. Itu karena Pak Tjokro beribadah dan berzikir di dalam sana," kata Eko. Ani adalah salah satu cucu Tjokroaminoto.

Menurut Eko, beberapa pejabat negara pernah menyambangi rumah ini dan mengistimewakan kamar tersebut. Bahkan seorang menteri di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo pernah secara khusus melaksanakan salat di kamar itu. "Tapi dulu waktu sebelum menjadi menteri," ujarnya. Ada pula anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang datang untuk berdoa di "kamar jempol" itu. "Berdoanya lama," katanya.

Meski telah berstatus sebagai bangunan cagar budaya dan museum rumah, pengembangannya berlangsung lambat. Suatu hari Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mampir ke rumah itu. Ia lalu berkeliling dan mendapati talang air di bagian belakang rumah bocor. Risma lalu mengambil spidol dan mencoret-coret dinding yang terkena bocoran dengan ilustrasi air jatuh dan tulisan "bocor". Hingga hari ini bagian yang bocor itu belum diperbaiki.

Rumah H O.S. Tjokroaminoto ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya karena memiliki nilai sejarah bagi perjuangan Indonesia. Ada beberapa syarat agar sebuah bangunan bisa ditetapkan menjadi cagar budaya. "Kriterianya banyak, antara lain berusia lebih dari 50 tahun, bersejarah, arsitekturnya mewakili zamannya," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surabaya Wiwiek Widayati.

***

Bukan plakat kuning keemasan yang menempel di dinding rumah bercat putih dengan teras berpagar kayu kuning di Banda Naira, Maluku, melainkan sebuah papan kayu warna putih yang menjelaskan bahwa rumah itu pernah menjadi rumah pengasingan Mohammad Hatta, wakil presiden pertama Indonesia.

Bangunan yang cukup besar itu terbagi menjadi dua bagian: bangunan utama di depan dan bangunan tambahan di belakang. Bangunan utama terdiri atas ruang tamu, kamar tidur, dan ruang kerja. Sedangkan di bagian belakang terdapat sejumlah kamar yang tampaknya berfungsi sebagai ruang kelas belajar. "Rumah pengasingan Bung Hatta masih seperti aslinya, masih kokoh karena warga menjaganya," ujar Lukman Ang, warga Naira.

Di ruang kerja terdapat meja tua lengkap dengan mesin ketik antik. Di ruangan itu dulu Bung Hatta menghabiskan masa pengasingan dengan membaca buku atau mengetik artikel sembari menyeruput kopi. Bukan hanya Hatta, Sutan Sjahrir juga diasingkan oleh Belanda di tempat yang sama sejak 1 Februari 1936 hingga 1942. Kini bangunan itu merupakan salah satu cagar budaya. Keluarga Hatta sering berkunjung ke sana. Pada Oktober dua tahun lalu, Tempo sempat bertemu dengan Meutia Farida Hatta Swasono, anak Hatta, di Naira. Meutia sempat bercerita bahwa dulu Bung Hatta menyewa rumah itu dari seorang warga Belanda pemilik perkebunan pala bernama De Vries senilai 10 gulden.

Sekitar 500 meter dari rumah itu terdapat rumah pengasingan Sjahrir. Bangunannya bergaya Indies, memadukan arsitektur kolonial dan tropis yang memiliki langit-langit tinggi dengan enam tiang penyangga berbentuk bulat, berjendela besar, dan beratap curam. Ruang utamanya luas, diapit kamar tidur dan ruang kerja. Di sana terdapat gramofon kuno lengkap dengan piringan hitam berlabel Daphnis dan Chloe Suite Symphonique produksi Columbia.

Kamar Sjahrir menyimpan lemari kayu berisi sejumlah buku catatan, alat tulis, pakaian, hingga surat pengangkatan Sjahrir sebagai perdana menteri oleh Presiden Sukarno. Di ruang kerja tersimpan mesin ketik antik Underwood. Bangunan itu juga masih kokoh dan terawat. "Musim hujan kemarin sempat bocor, tapi sudah diperbaiki," kata Lukman.

Tanya Des Alwi, putri almarhum Des Alwi, anak angkat Sjahrir, mengatakan saat ini kondisi rumah bekas pengasingan di Banda Naira cukup baik dan terawat. Itu karena peran masyarakat dan keluarga. Adapun campur tangan pemerintah sangat minim. "Dirjen Kebudayaan kurang perhatian. Itu sebabnya banyak bangunan bersejarah yang tak terurus dan hancur," kata Tanya, pekan lalu.

***

Kurangnya perhatian pemerintah juga dirasakan warga Nagari Koto Gadang, kampung di seberang Ngarai Sianok, di sebelah barat Bukittinggi, Sumatera Barat. Di Koto Gadang, banyak rumah bergaya arsitektur kolonial Belanda awal abad ke-20. Ninik mamak (pemangku adat) pernah mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Agam agar rumah tua yang ada di Koto Gadang dijadikan cagar budaya, termasuk rumah kelahiran Haji Agus Salim.

"Sudah diusulkan tiga minggu lalu untuk menjadikan rumah di Koto Gadang sebagai cagar budaya," ujar Nurdin Nursyid Sutan Rajo Ameh, 75 tahun, Wali Nagari Koto Gadang, dua pekan lalu. "Rumah kelahiran Agus Salim bahkan sudah dipersiapkan untuk dijadikan museum. Mudah-mudahan segera terwujud. Keluarga dari pihak ibu Agus Salim terakhir yang tinggal di situ tahun 1950-an," katanya.

Nagari Koto Gadang merupakan tempat lahirnya tokoh kemerdekaan Indonesia, antara lain Sutan Sjahrir, Rohana Kudus, dan Haji Agus Salim. Nama-nama tokoh ini diabadikan sebagai nama jalan. Rumah kelahiran Haji Agus Salim, misalnya, terletak di Jalan Agus Salim 14, Jorong Koto Gadang Mudiak, Nagari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam.

Rumah bercat abu-abu muda itu terpelihara dengan baik. Rumah bergaya Eropa awal abad ke-20 itu terlihat asri karena di kanan-kiri dan belakangnya terdapat banyak pohon. Rumahnya berlantai satu, lebih tinggi satu meter dari halaman dengan fondasi dan tangga dari beton. Rumah ini terbuat dari kayu trembesi dan beratap seng dengan pintu dan jendela kaca di bagian depan. Sedangkan di sisi kiri terdapat bangunan tempat menyimpan padi, ciri khas rumah zaman dulu.

Rumah bergaya kuno itu terawat dengan baik. "Saya diminta Ibu Sely, pemilik rumah ini dan kerabat Haji Agus Salim, memelihara rumah ini dan menerima tamu yang datang," kata Teti, 45 tahun, penjaga rumah Haji Agus Salim sejak 18 tahun lalu. Adapun biaya pemeliharaan rumah diambil dari hasil panen padi dari sawah milik keluarga besar Haji Agus Salim.

"Sawahnya luas, dikelola orang kampung dan hasilnya dibagi dua. Satu kali panen bisa menghasilkan padi 360 belek (satu belek setara dengan 15 kilogram). Mereka juga meminta saya mengelola huler penumbuk padi. Nanti semua hasilnya dikirim ke rekening khusus dan sebagian untuk pemeliharaan rumah ini," kata Teti. Ia menambahkan, sejauh ini belum ada bantuan dari pemerintah daerah untuk pemeliharaan rumah kelahiran Haji Agus Salim ini.

Firman Atmakusuma, Agung Sedayu, Mohammad Syarrafah, Artika Rachmi Farmita (Surabaya), Febrianti (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus