Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Cairan di Tubuh Jenderal Besar

Paru Soeharto tergenang akibat otot jantung terganggu. Dalam tubuhnya juga terdapat timbunan cairan yang disebabkan fungsi organ tubuh yang tidak optimal.

14 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di ruang perawatan president suite lantai 5 Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, Soeharto terus terbaring. Kabel dan selang dari alat-alat bantu medis tertancap di tubuhnya. Lebih dari sepekan sudah dia dirawat di sana. Kondisi kesehatan presiden yang memerintah Indonesia selama 32 tahun ini masih naik-turun. Masa kritisnya belum lewat. ”Ada keluhan sesak napas,” ujar ketua tim dokter kepresidenan Mardjo Soebiandono, Kamis pekan lalu.

Dibanding hari pertama dirawat, kondisi Soeharto sebenarnya lumayan membaik. Tekanan darahnya yang sempat anjlok 80 per 50 milimeter air raksa mulai menormal pada kisaran 110 per 50 milimeter air raksa. Setelah diberi transfusi dua kantong darah, hemoglobin Soeharto juga naik menjadi 10,69 gram persen, sudah di atas kondisi normal. Kesadarannya juga membaik. ”Dia sudah bisa tertawa dan minta minum,” tutur mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, yang menjenguknya pada Kamis siang lalu.

Sayangnya, semua itu bukan indikasi menggembirakan. Sebab, ”musuh” baru kesehatan tubuh kakek 86 tahun itu adalah cairan yang membanjir di dalam tubuhnya, terutama di paru-paru. Hal itulah yang membuat napasnya terengah-engah.

Masalahnya, mengeluarkan cairan di tubuh sang jenderal bukan perkara mudah. Usianya yang sudah tua dan komplikasi berbagai penyakit yang dideritanya membuat proses pengeluaran cairan sangat berisiko. Sehingga harus digunakan alat yang paling canggih.

Menurut Mardjo, sejak Sabtu dua pekan lalu, Soeharto menjalani proses hemofiltrasi—proses mengeluarkan cairan sekaligus mencuci darah—dengan alat CVVHD (Continuous Veno-Venous Hemodialysis) yang didatangkan dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta Barat. CVVHD ini adalah satu-satunya di Indonesia.

CVVHD bekerja seperti layaknya ginjal. Setiap jam, alat ini mampu mengeluarkan cairan 50 sentimeter kubik. Ini untuk membantu pengeluaran urine Soeharto yang tidak lancar: cuma 13 sentimeter kubik per jam. Padahal, dengan berat badan 75 kilogram, mestinya urine yang keluar 75 sentimeter kubik per jam. Hingga Kamis pekan lalu, jumlah cairan yang dapat dikeluarkan sekitar 3.880 sentimeter kubik. ”Rencananya hari ini tim dokter akan mengeluarkan cairan dari dalam paru-paru 180 sentimeter kubik per jam,” jelas Mardjo.

Tubuh Soeharto yang sudah digenangi cairan sejak tiga pekan lalu membuat beberapa bagian membengkak. ”Kondisi ini disebut edema,” ujar anggota tim dokter, Muhammad Munawar. Soeharto sempat dirawat tim dokter di kediamannya, Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Namun, karena kondisinya tak kunjung membaik—selain bengkak, tekanan darah, dan sel darah merahnya anjlok—dia dilarikan ke rumah sakit pada Jumat dua pekan lalu.

Penyebab dari cairan dalam tubuh yang tak mau surut, menurut Munawar, adalah bilik kiri jantung Soeharto yang tak bekerja optimal. Gangguan pada salah satu bagian organ paling vital ini dapat menimbulkan masalah serius. Ini karena bilik kiri jantung bisa disebut sebagai mesin pompa yang mengalirkan darah bersih ke seluruh tubuh. Hasil pemeriksaan teknik tissue doppler imaging—teknik diagnosis kuantitatif fungsi otot jantung—juga menguatkan dugaan bahwa pergerakan otot jantung Soeharto tidak seirama.

Mengeluarkan cairan tubuh dengan CVVHD baru tindakan awal, yaitu untuk memperbaiki kondisi Soeharto. Bila sudah stabil, dengan tekanan darah dan jumlah sel darah merah normal, tim dokter akan melakukan tindakan CRT (cardiac resynchronization therapy) untuk menyelaraskan pergerakan otot jantung. ”Untuk mencapai kondisi optimal, perlu perbaikan gizi, transfusi darah, dan meneruskan tindakan pemompaan cairan dengan CVVHD,” kata Mardjo.

Kadar sel darah merah (hemoglobin) memang menjadi perhatian sangat serius. Soalnya, bila CRT tetap dilakukan ketika sel darah merah belum stabil, justru bisa timbul gagal jantung. Celakanya, penggunaan alat bantu CVVHD juga berefek samping, yaitu menimbulkan perdarahan yang membuat kadar sel darah ikut melorot. Untuk menambal, dilakukan transfusi darah.

Nah, proses transfusi juga harus secermat mungkin. Selain pelan, juga harus dipastikan sesuai dengan kemampuan jantung Soeharto—yang kerja ototnya tidak sinkron—memompa darah. Bila tidak hati-hati, tindakan menambah darah justru berakibat fatal: menambah banyak cairan di paru. Sungguh rumit.

Masih ada lagi. Penimbunan cairan dalam tubuh Soeharto kemungkinan tidak hanya dipicu oleh tidak optimalnya fungsi otot jantung. Menurut pakar kesehatan Handrawan Nadesul, penyakit Soeharto sudah kompleks. Beberapa organ tubuh selain jantung, seperti ginjal, otak, usus, dan paru, juga sudah mengalami penurunan fungsi. Sehingga sangat mungkin cairan dalam tubuhnya tidak hanya disebabkan oleh fungsi otot jantung yang tak sinkron. Ginjal dan hati yang bermasalah, terutama akibat proses degeneratif, juga dapat memicu penumpukan cairan dalam tubuh.

Menurut Ari Fahrial Syam, ahli penyakit dalam dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSCM, penimbunan cairan akibat fungsi ginjal kurang dari 15 persen alias gagal ginjal, misalnya, juga tak kalah fatalnya. ”Urine tidak bisa dikeluarkan sehingga cairan menumpuk di paru-paru, jantung, atau dinding perut,” ujarnya.

Ginjal punya fungsi menahan pengeluaran ureum dan kreatin melalui urine. Kedua jenis protein tersebut terkait dengan produksi albumin yang bertugas menahan air di pembuluh darah. Bila albuminnya rendah, air akan berpindah dari pembuluh darah ke jaringan luar (interfasial). ”Itu yang menyebabkan cairan tersebut tertimbun dan bisa menyebabkan pembengkakan seluruh tubuh, yang disebut edema anasarka,” tutur Ari.

Satu lagi yang mesti diwaspadai adalah terjadinya gangguan aliran darah akibat kerusakan hati. Padahal hati berfungsi menerima aliran darah dari pembuluh darah di lambung dan perut bagian bawah. Nah, hambatan itu membuat aliran darah meningkat dan memicu terjadinya perembesan cairan yang kemudian menumpuk di rongga perut.

Tim dokter Soeharto memang belum pernah menyatakan bahwa ginjal dan hati jenderal besar ini turut memperburuk penimbunan cairan dalam tubuhnya. Namun penyakit Soeharto sudah sangat kompleks. Jadi, sangat mungkin berbagai organ tubuh yang sudah tak dapat berfungsi dengan baik itu ikut andil memperparah penumpukan cairan tubuh.

Nunuy Nurhayati, Dianing Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus