Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ancaman konflik sosial rawan menjadi pintu masuk untuk menunda Pemilu 2024.
Agenda perpanjangan masa jabatan presiden kembali menggelinding.
Ada potensi hambatan dari pengadaan logistik Pemilu 2024.
JAKARTA – Ancaman konflik sosial dalam Pemilihan Umum 2024 berpeluang menjadi pintu masuk untuk menunda pesta demokrasi lima tahunan tersebut, sekaligus memuluskan agenda perpanjangan masa jabatan presiden. Analis politik dan isu hak asasi manusia, Amiruddin Al Rahab, mengatakan potensi perpecahan masyarakat pada Pemilu 2024 jauh lebih besar dibanding Pemilu 2019. Risiko itu tampak dari berbagai benih konflik di sejumlah daerah, yang bisa meluas ke wilayah lain.
Amiruddin mencontohkan bentrokan antara pekerja lokal dan pekerja asal Cina di PT Gunbuster Nickel Industri, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, pada pertengahan Januari lalu. Bentrokan di lokasi tambang nikel ini dapat memicu sentimen terhadap komunitas tertentu, yang berpeluang merembet ke banyak daerah. Apalagi sentimen negatif terhadap pekerja asing sudah lama bersemai di tengah masyarakat. "Isu tenaga asing ini harus diantisipasi. Jangan sampai ada celah bagi pihak yang ingin menciptakan konflik dengan isu tersebut,” kata komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2017-2022 ini, Kamis, 2 Februari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan, Komnas HAM pernah mengkaji benih konflik di masyarakat menjelang Pemilu 2019. Hasil pengkajian Komnas HAM pada 2019 itu menyimpulkan bahwa wilayah yang rawan terjadi gesekan di masyarakat meliputi Sumatera Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara. Indikator kerawanan konflik sosial di daerah tersebut di antaranya adalah komposisi penduduknya yang heterogen dan mudah terpengaruh arus politik. Penduduk yang majemuk lebih gampang terprovokasi, baik lewat sentimen agama maupun suku, akibat perbedaan pilihan politik dalam pemilu.
Amiruddin menuturkan, kerawanan serupa mesti diwaspadai menjelang Pemilu 2024. Apalagi saat ini banyak daerah hanya dipimpin penjabat kepala daerah. Penjabat kepala daerah tidak punya legitimasi politik yang kuat di tengah masyarakat, bahkan mereka berjarak dengan masyarakat setempat. "Mereka bukan orang politik, tapi aparatur sipil negara yang ditugaskan memimpin daerah dan tidak mempunyai massa," ujar Amiruddin.
Menurut dia, potensi konflik sosial di masyarakat mesti diwaspadai. Sebab, bisa saja benih-benih konflik tersebut terus membesar hingga dianggap mengancam stabilitas keamanan atau stabilitas negara. "Isu stabilitas negara ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengusulkan penundaan pemilu," kata dia. "Hal lain yang juga harus diwaspadai, konflik ini bisa diciptakan untuk kepentingan politik menjelang Pemilu 2024."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas gabungan TNI/Polri menggelar simulasi pengamanan pemilu di gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, 2019. TEMPO/Subekti
Kekhawatiran Amiruddin beralasan. Sebab, saat ini agenda perpanjangan masa jabatan presiden kembali menggelinding. Dua hari lalu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengembuskan kembali agenda tersebut saat berbicara dalam Rapat Pimpinan Penyampaian Arah Kebijakan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Tahun Anggaran 2023, di Pancagatra, kantor Lemhannas, Jakarta Pusat.
"Kita tidak bisa menghalangi kalau seorang ketua partai politik, kelompok masyarakat tertentu, berwacana (masa jabatan presiden) itu harus diperpanjang. Itu kan tidak melanggar hukum," kata Mahfud.
Agenda perpanjangan masa jabatan presiden maupun presiden tiga periode ini mulai menggelinding pada 2019. Agenda tersebut sempat meredup sampai ketika Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyuarakannya kembali pada 9 Januari 2022.
Satu bulan berselang, giliran Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang menggelindingkannya. Presiden Joko Widodo mulanya menentang wacana tersebut. Tapi mantan Wali Kota Solo itu belakangan memberi sinyal positif terhadap agenda perpanjangan masa ataupun periode jabatan presiden.
"Negara ini adalah negara demokrasi, jangan sampai ada yang baru ngomong tiga periode, kita sudah ramai," kata Jokowi dalam forum Musyawarah Rakyat Indonesia, yang digelar komunitas pendukung Jokowi di Bandung, 28 September 2022.
Sejak agenda itu menggelinding, Lemhannas juga gencar mengkaji potensi konflik sosial di masyarakat menjelang Pemilu 2024. Sejak April tahun lalu, Lemhannas menggelar forum grup diskusi di berbagai daerah untuk menyusun kajian jangka panjang bidang pertahanan dan keamanan dengan tema “Konflik Sosial dalam Pemilu dan Pencegahannya untuk Menyukseskan Pemilu 2024".
Dikutip dari laman Lemhannas, Deputi Pengkajian Strategik Lemhannas, Reni Mayerni, mengatakan kajian tersebut dibuat untuk mewaspadai pemilu serentak 2024, yaitu pemilihan anggota legislatif dan pemilu presiden yang digelar bersamaan, serta pemilihan kepala daerah serentak di semua daerah. Pemilihan serentak tersebut berpotensi menimbulkan perselisihan politik, lalu memicu konflik di masyarakat.
Pijakan kajian tersebut, kata dia, adalah konflik antar-kelompok masyarakat yang kerap terjadi di beberapa daerah saat pemilihan kepala daerah. Karena itu, potensi kerusuhan pada Pemilu 2024 semestinya diantisipasi sejak dini.
Ia mengatakan petugas keamanan akan kesulitan mengatasi kerusuhan jika terjadi secara bersamaan di banyak daerah. “Kondisi ini akan dapat berpengaruh langsung terhadap kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat, dan keberhasilan penyelenggaraan Pemilu 2024," kata Reni.
Komisioner Komnas HAM, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan Komnas HAM tetap memantau potensi konflik sosial di sejumlah wilayah pada pemilu kali ini. Komnas HAM sudah memetakan tingkat kerawanan hak asasi manusia di setiap wilayah. "Dari analisis kami, konflik fisik lebih rawan terjadi saat penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak karena antara pemilih dan calonnya lebih dekat," kata Pramono.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum periode 2017-2022 ini menyebutkan, konflik sosial yang berimbas pada kerusuhan dapat menjadi alasan untuk menunda pemilu. Tapi penundaan pemilu hanya perlu dilakukan di wilayah yang terjadi konflik. “Pemilu susulan bisa diselenggarakan setelah dua pekan atau tiga pekan, melihat kondisi suatu wilayah telah stabil atau belum,” ujarnya.
Selain kerawanan konflik sosial, kata dia, Komnas HAM mengkaji pelindungan hak pilih kelompok rentan yang berpotensi terabaikan dalam pemilu. Kelompok rentan ini seperti suku yang masih terasing, penyandang disabilitas, dan warga binaan di lembaga pemasyarakatan.
Komnas HAM juga mengawasi kebebasan berpendapat dan berekspresi selama pemilu. Selama penyelenggaraan pemilu, kata dia, sering kali tingkat produksi kabar bohong, ujaran kebencian, dan persekusi meningkat, yang dapat memicu konflik antarpendukung.
Kegiatan di gudang logistik KPU Kabupaten Bandung di Desa Gandasari, Kecamatan Katapang, 2019. TEMPO/Prima Mulia
Potensi Hambatan dari Pengadaan Logistik Pemilu
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan pengadaan logistik Pemilu 2024 menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara pemilu. Sebab, penyediaan hingga pendistribusian logistik pemilu hanya berlangsung 75 hari, sesuai dengan lama masa kampanye pemilu.
Titi mencontohkan, penyediaan logistik pada Pemilu 2019 dirundung banyak masalah, padahal KPU memiliki waktu enam bulan untuk mengadakan dan mendistribusikan logistik pemilu. Misalnya, adanya kasus surat suara tertukar di 3.371 tempat pemungutan suara (TPS) dan 2.249 TPS terpaksa tidak dapat menggelar pemungutan suara secara serentak pada 17 April 2019 akibat logistik pemilu yang terlambat tiba.
Ia menganggap wajar jika banyak pihak khawatir pengadaan logistik sulit terealisasi sesuai dengan tahapan pemilu karena durasi waktu pengadaan yang singkat. Pengadaan logistik pemilu hanya bisa dilakukan setelah KPU menetapkan daftar calon tetap (DCT) peserta pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu 2024, penetapan DCT dijadwalkan pada 25 November 2023 atau 2,5 bulan sebelum pemungutan suara.
"Jika logistik tidak tersedia, pemilu tidak bisa terselenggara. Kalaupun logistik tersedia tapi jumlahnya kurang, tetap berisiko terjadi kekacauan di lapangan.” Titi berharap KPU segera mengantisipasi potensi kekacauan dalam pengadaan logistik. Musababnya, kondisi itu berpeluang dimanfaatkan oleh kelompok yang ingin menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo