Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Klaim Pengawasan Tambang Pasir Laut

Pemerintah akan mengawasi pengerukan pasir laut dengan memasang radar pada kapal isap. Pegiat lingkungan pesimistis.

1 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah berdalih bahwa pasir laut di Selat Malaka harus dikeruk karena mengganggu jalur pelayaran.

  • Kementerian Kelautan berjanji bakal melaksanakan pengawasan berkala di lapangan.

  • Pegiat lingkungan ragu akan efektivitas pengawasan kapal.

JAKARTA – Di saat derasnya kritik masyarakat, Kementerian Kelautan dan Perikanan berkukuh menyatakan keran ekspor pasir laut perlu dibuka. Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Hubungan Internasional, Edy Putra Irawadi, menyebutkan bahwa larangan ekspor justru bakal merangsang penyelundupan.

"Ketika pada 2003 ekspor kita tutup, sampai sekitar 2007 itu illegal trading angkanya besar," kata Edy dalam konferensi pers di kantornya, kemarin. Ia juga mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan kegiatan penyelundupan pasir laut masih terjadi sampai saat ini. "Selama ini sudah diekspor, tapi ilegal. Jadi, sekarang ini kita bikin menjadi legal," tutur Jokowi.

Menurut Edy, jika keran ekspor dibuka, Indonesia punya pasar potensial, yaitu Singapura. Ia mengatakan, selama ini negara tersebut banyak mengimpor pasir dari Vietnam. Padahal persediaan pasir di Selat Malaka sangat banyak. Ia mengungkapkan, pasokan pasir di kawasan tersebut bisa dimanfaatkan tanpa merusak lingkungan. Pasalnya, pasir laut di Selat Malaka berpotensi mengganggu jalur pelayaran jika tidak dikeruk.

Baca juga: Siapa Diuntungkan Izin Ekspor Pasir Laut

Pemerintah melarang sementara ekspor pasir laut sejak 2003 sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Dalam surat itu disebutkan alasan pelarangan ekspor antara lain untuk mencegah kerusakan lingkungan berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil. Keputusan itu berawal dari Surat Keputusan Bersama antara Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Lingkungan Hidup untuk menyetop ekspor pada 2002.

Berselang 20 tahun kemudian, pemerintah membuka lagi peluang ekspor pasir laut. Pada 15 Mei lalu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Lewat ketentuan tersebut, dia mengizinkan pelaku usaha menyedot pasir laut untuk sejumlah peruntukan, seperti reklamasi, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, pemanfaatan pasir laut yang diatur dalam regulasi itu diutamakan untuk kebutuhan domestik. Setelah kebutuhan domestik terpenuhi, barulah pemerintah mengizinkan penjualan pasir ke luar negeri. "Ekspor menjadi pilihan terakhir," kata dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono memberikan keterangan ihwal pengelolaan hasil sedimentasi di laut, di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 31 Mei 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca juga: Jalan Mundur Penambangan Pasir Laut

Memasang Radar pada Kapal Isap

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan Adin Nurawaluddin menambahkan, pemerintah akan mengawasi pengerukan pasir laut dan peruntukan hasilnya dengan memasang radar pada kapal isap yang mengantongi izin. Dengan begitu, pergerakan kapal bisa terpantau. Meskipun saat ini pusat komando di Kementerian Kelautan baru beroperasi sekitar 20 persen dari kapasitas, ia yakin tidak akan ada pasir laut yang diselundupkan ke luar negeri.

Selain itu, Kementerian Kelautan bakal melaksanakan pengawasan berkala di lapangan. Strategi seperti ini, menurut dia, efektif mencegah pengelolaan ruang laut yang tidak sesuai dengan aturan. Dia juga mengandalkan laporan langsung dari masyarakat.

Baca juga: Tinggi Permintaan Pasir Reklamasi

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyebutkan, rencana pengawasan pemerintah dengan menempatkan pemantau di kapal hanya isapan jempol belaka dan tidak akan efektif. Dia berkaca pada pengawasan di laut berbasis satelit untuk aktivitas penangkapan ikan yang perlu dibenahi.

Satu hal lagi yang penting diperbaiki, menurut Abdul, adalah mentalitas aparat penegak hukum. "Masalah bangsa ini adalah rule of law yang tidak jalan, sehingga pengawasan mudah disabotase justru oleh oknum berseragam," tuturnya.

VINDRY FLORENTIN | BUDI SETYARSO

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus