Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tekan Aksi Telik Sandi

Polisi dan badan intelijen diduga mendekati koordinator pengunjuk rasa. Istana pun ikut melobi.

10 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Massa dihadang aparat polisi saat aksi tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di kawasan Harmoni, Jakarta, 8 Oktober 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Massa dihadang aparat polisi saat aksi tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di kawasan Harmoni, Jakarta, 8 Oktober 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Polisi mendatangi rumah koordinator aksi buruh dan pabrik-pabrik.

  • Intelijen meminta jumlah demonstran dikurangi.

  • Politikus Senayan menawarkan posisi komisaris untuk pentolan buruh.

DUA personel intelijen menyambangi rumah Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Riden Hatam Aziz pada Ahad, 4 Oktober lalu, sekitar pukul delapan malam. Menunggu selama dua jam, keduanya baru bertemu dengan sahibulbait yang baru kembali dari kantornya. “Mereka bilang mau silaturahmi,” kata Riden saat dihubungi, Jumat, 9 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Menurut Riden, tetamunya menanyakan soal rencana unjuk rasa menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja alias omnibus law keesokan harinya. Salah satunya soal jumlah buruh yang akan menyambangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka pun mengimbau agar aksi berjalan tertib dan memenuhi protokol kesehatan untuk menghindari penularan virus corona. Sehari sebelumnya, pada Sabtu malam, 3 Oktober lalu, dua personel Kepolisian Resor Metro Tangerang Kota, Banten, mendatangi rumah Riden dan mengingatkan risiko penularan corona. Riden menyatakan buruh akan tetap turun ke jalan menuntut agar omnibus law tak disahkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Di Cilegon, Banten, polisi juga mendatangi rumah Panglima Koordinator Daerah Garda Metal Cilegon Ismail pada Jumat, 2 Oktober lalu, dan menanyakan jumlah pengunjuk rasa yang akan bergerak ke gedung DPR. Keesokannya, polisi menelepon Ismail dan meminta jumlah demonstran dikurangi. “Mereka bilang Cilegon dan Jakarta zona merah,” ujarnya.

Ismail pun mengurangi jumlah pengunjuk rasa yang akan berangkat bersama ke Senayan, Jakarta, dari 600 menjadi 400 orang. Dua hari berselang, dia diundang makan siang oleh personel Badan Intelijen Negara di salah satu restoran di Cilegon. Menurut Ismail, agen telik sandi yang dikirim dari Pejaten, Jakarta Selatan—markas BIN—itu meminta dia mengurangi lagi peserta unjuk rasa. Walhasil, Ismail pun memangkas hingga tersisa 200 orang.

Riden dan Ismail menilai kedatangan polisi dan agen BIN itu sebagai upaya membendung gerakan para buruh yang menolak pengesahan RUU Cipta Kerja. Keduanya bercerita, sejak Senin hingga Kamis, 5-8 Oktober, saat buruh bersiap mengadakan unjuk rasa, polisi mendatangi pabrik-pabrik besar. Setidaknya ada lima personel berjaga di depan sejumlah pabrik sambil membawa senapan dan pentungan.

Tekanan polisi bermula dari telegram rahasia yang dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian RI Jenderal Idham Azis pada 2 Oktober lalu. Surat yang diteken oleh Asisten Operasi Kapolri Inspektur Jenderal Imam Sugianto itu berisi penanganan unjuk rasa menolak omnibus law. Salah satu poin dalam surat itu menyatakan agar polisi tak memberikan izin aksi. Imam beralasan demonstrasi meningkatkan risiko penularan corona. Dia juga mengklaim kehadiran polisi di rumah koordinator lapangan hanya untuk bersilaturahmi. “Setiap ada aksi, kami tidak boleh underestimate supaya tidak ada pihak yang memanfaatkan,” ucapnya.

Juru bicara Badan Intelijen Negara, Wawan Hari Purwanto, membantah jika lembaganya disebut melobi koordinator pengunjuk rasa. Menurut dia, personel BIN selama menjalankan tugas operasi tak akan mengaku sebagai intelijen. “Jadi jika ada yang mengaku dari BIN perlu diverifikasi sebab hal itu tak lazim,” katanya.

Upaya menekan kedatangan buruh ke Ibu Kota dilakukan oleh polisi dengan menutup akses menuju Jakarta. Ismail, misalnya, yang berangkat dari Cilegon, tak bisa menembus blokade polisi pada Senin, 5 Oktober lalu. Di tengah jalan, mereka akhirnya memilih balik kanan dan tak berunjuk rasa di depan gedung DPR saat pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Politikus di Dewan Perwakilan Rakyat juga ikut melobi pimpinan serikat buruh agar tak menolak undang-undang sapu jagat. Seseorang yang mengetahui pendekatan itu mengatakan salah satu lobi dilancarkan oleh politikus Partai Gerakan Indonesia Raya kepada Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Elly Rosita Silaban. Elly ditawari posisi komisaris badan usaha milik negara.

Dimintai tanggapan, Elly tak membantah tawaran itu. Dia enggan menyebut nama kader Gerindra yang menawarinya posisi komisaris. “Memang ada tawaran itu, tapi tawaran itu kurang etis karena datang saat kami sedang berjuang menolak omnibus law,” tutur Elly. Ketua Harian Gerindra Sufmi Dasco Ahmad membantah jika partainya disebut mendekati petinggi buruh dan menawari jabatan. “Tidak ada itu,” katanya.

Istana pun ikut melobi pentolan organisasi buruh pada hari omnibus law disahkan, Senin, 5 Oktober lalu. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengaku bersama Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Andi Gani Nena Wea dipanggil oleh Presiden Joko Widodo. Said bercerita, dia tetap membawa aspirasi buruh yang menolak aturan tersebut. Seusai pertemuan itu, beredar kabar soal tawaran posisi wakil menteri untuk Said dan Andi. Namun keduanya membantah tawaran tersebut. “Isu itu menjadi black campaign sebagai alat menjatuhkan perjuangan buruh,” ucap Said.

Buruh melakukan aksi mogok kerja dengan turun ke jalan di depan Kantor Walikota Bekasi, Jawa Barat, 8 Oktober 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Sehari setelah omnibus law disahkan dalam rapat paripurna di DPR, Dewan Serikat Pekerja Sedunia atau Council of Global Unions mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi agar mencabut aturan itu. Mereka—juga berbagai organisasi buruh, akademikus, dan sejumlah organisasi kemasyarakatan—menilai aturan itu merusak hak dan kesejahteraan kaum pekerja. Misalnya pemangkasan pesangon dari 32 kali upah menjadi 25 kali. Omnibus law juga menghapuskan batas waktu perjanjian kerja waktu tertentu maksimal dua tahun. Dengan aturan ini, pekerja lebih sulit menjadi karyawan dan bisa menjadi pegawai kontrak seumur hidupnya.

Unjuk rasa pun pecah di berbagai daerah. Bukan hanya buruh, mahasiswa dan para aktivis pun ikut dalam demonstrasi tersebut. Di Yogyakarta, para aktivis yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak kembali berkumpul di kantin Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada pada Rabu siang, 7 Oktober lalu. Sebelumnya, kelompok itu menginisiasi aksi Gejayan Memanggil jilid I dan II untuk menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kali ini mereka membahas unjuk rasa bertajuk #JogjaMemanggil. “Kami menyiapkan aksi damai,” kata juru bicara Aliansi Rakyat Bergerak, Revolusi.

Demonstrasi pada Kamis, 8 Oktober lalu, berujung rusuh. Di Bandung, puluhan demonstran yang berunjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat ditangkap dan dipukuli oleh polisi. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandung Lasma Natalia mengecam tindakan polisi yang represif. Pun di Yogyakarta dan Jakarta, unjuk rasa berujung pada bentrokan dengan polisi.

Asisten Operasi Kapolri Inspektur Jenderal Imam Sugianto mengklaim penanganan unjuk rasa itu sesuai dengan prosedur. “Kami punya protap terhadap massa anarkistis yang membakar dan melemparkan batu,” katanya. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono mengatakan hampir 6.000 orang ditangkap dalam aksi yang berujung ricuh. Sebanyak 240 orang ditetapkan sebagai tersangka.

DEVY ERNIS, DIKO OKTARA, RAYMUNDUS RIKANG (JAKARTA), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), IQBAL T. LAZUARDI (BANDUNG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Devy Ernis

Devy Ernis

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, kini staf redaksi di Desk Nasional majalah Tempo. Memimpin proyek edisi khusus perempuan berjudul "Momen Eureka! Perempuan Penemu" yang meraih penghargaan Piala Presiden 2019 dan bagian dari tim penulis artikel "Hanya Api Semata Api" yang memenangi Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Alumni Sastra Indonesia Universitas Padjajaran.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus