Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Isi Buku Harian Francisca Fanggidaej untuk Anak-Anaknya

Francisca Fanggidaej, nenek Reza Rahadian yang eksil sejak 1965, meninggalkan setumpuk dokumen di Belanda. Apa saja isinya?

13 Desember 2024 | 14.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Buku harian dan catatan Francisca Fanggidaej yang disimpan di International Institute of Social History (IISH), Amsterdam, Belanda. Foto: Francisca Fanggidaej Papers, International Institute of Social History

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Francisca Fanggidaej, nenek aktor Reza Rahadian, adalah tokoh perempuan yang eksil sejak 1965.

  • Francisca meninggalkan dokumen setinggi dua meter di Amsterdam.

  • Dokumen itu merekam perjalanannya selama eksil di Cina dan Belanda.

ARSIP setinggi dua meter itu tersimpan di International Institute of Social History (IISH), salah satu lembaga pengarsipan sejarah sosial terbesar dunia yang terletak di Amsterdam, Belanda. Arsip itu adalah peninggalan Francisca Casparina Fanggidaej, tokoh perempuan di era Presiden Sukarno yang eksil sejak pecahnya Gerakan 30 September 1965. Sejak itu pula nama Francisca seakan-akan tenggelam dalam sejarah. Namanya kembali mencuat ketika aktor film Reza Rahadian, cucu Francisca yang tak pernah bersua dengannya, ikut serta dalam unjuk rasa menolak revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta, pada Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Francisca lahir di Desa Noelmina, Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 16 Agustus 1925. Dia menikah dengan Supriyo, wartawan Kantor Berita Antara, dan dianugerahi tujuh anak, yakni Nilakandi Sri Luntowati, Dien Rieny Saraswati, Godam Ratamtama, Nusa Eka Indriya, Savitri Sasanti Rini, Pratiwi Widantini Matulessy, dan Mayanti Trikarini. Reza adalah putra Pratiwi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama perjuangan kemerdekaan, Francisca bekerja sebagai jurnalis di Radio Gelora Pemuda, media Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. Pada 1945, ia bergabung dengan organisasi kemasyarakatan Pemuda Sosialis Indonesia atau Pesindo dan menjadi salah satu pemimpinnya. Ia kemudian memimpin Indonesian National Press and Publicity Service, yang dipersiapkan untuk Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Dia juga pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dan mewakili Indonesia dalam berbagai forum internasional.

Ketika pecah peristiwa 1965, Francisca sedang berkunjung ke Cile untuk menghadiri Kongres Organisasi Jurnalis Internasional. Sejak itu dia tak bisa lagi pulang ke Indonesia. Ketika dia menghadiri Konferensi Trikontinental di Havana, Kuba, pada Januari 1966, paspornya sudah dicabut, tapi Presiden Kuba Fidel Castro kemudian menerbitkan paspor untuknya.

Potongan artikel berita kematian korban dalam peristiwa 12 November 1991 di Dili, Timor Timur. Foto: Francisca Fanggidaej Papers, International Institute of Social History, Amsterdam

Francisca sempat lama tinggal di Cina sebelum mendapat suaka politik di Belanda pada 1985. Sementara itu, suaminya, Supriyo, dipenjara tanpa pengadilan selama 12 tahun. Dia juga terpisah dari anak-anaknya yang masih kecil dan bahkan si bungsu, Mayanti, masih menyusu. Francisca meninggal di usia 88 dalam kesendirian di Belanda pada 13 November 2013.

Francisca menyerahkan banyak dokumennya kepada IISH. Dokumen itu meliputi berbagai catatan dalam tulisan tangan, surat, kliping koran, catatan harian, dan tulisan-tulisan lain. Sebelumnya, dia mempercayakan sejumlah arsip, foto-foto kunjungan dan masa ketika ia tinggal di Beijing serta ketika menjadi pembicara dalam acara Afro-Asian Writers’ Emergency Meeting di Beijing pada 1966.

Arsip itu kini kembali dibuka untuk ditata dan didigitalkan. Sejak September 2024, Rika Theo, pengarsip Indonesia, ditugasi mengelola arsip Francisca bersama tiga arsip tokoh Indonesia lain, yakni Go Gien Tjwan, The Siauw Giap, dan Gumuljo Wreksoatmodjo. “Bukan cuma catatan Francisca, melainkan juga berbagai dokumen, kliping berita, publikasi, dan karya terjemahannya. Belum lagi notes-notesnya,” kata Rika pada Selasa, 10 Desember 2024.

Menurut Rika, catatan tangan Francisca tersebar di setiap dus arsip. Francisca menorehkan catatannya dalam berbagai rupa. Ada coretan-coretan kecil tentang apa yang ia baca atau saksikan, yang biasanya dalam bentuk notes mini dan kertas-kertas kecil yang digabungkan dengan klip. Ada buku-buku agenda rapat dan kegiatannya dari tahun ke tahun. Ada juga berbagai konsep tulisan, draf pidato, dan kerja terjemahan.

Yang paling pribadi adalah lebih dari sepuluh buku harian. Dari catatan itu diketahui bahwa Francisca menulis buku harian sejak tidak bisa pulang ke Indonesia. Pada awalnya ia sempat khawatir buku hariannya dapat berpindah tangan. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk menulis dua buku harian yang ia beri nama kedua putrinya, Sasja (panggilan untuk Dien Rieny Saraswati) dan Nila (panggilan kepada Nilakandi Sri Luntowati).

“Yang satu, yang merupakan pikiran-pikiranku dan pengalaman-pengalamanku yang ingin kuteruskan kepada anak-anakku dan kepada Pri, suamiku dan kawanku. Yang lain, akan kugunakan sebagai saluran, yang harus membantuku mengatasi berbagai kekeliruan-kekeliruan dalam pikiran, tindakan, dan tingkah lakuku, yang harus kuberantas. Mungkin kesimpulan dari perjuangan yang akan kulakukan melalui buku diari itu akan kutulis dalam buku diari yang satu, yang kunamakan ‘Sasja’,” tulis Francisca dalam buku harian “Sasja”, catatan pertamanya bertanggal 21 Oktober 1965.

Rindu yang mendalam terhadap buah hatinya ia tumpahkan di buku harian itu. Digambarkan betapa ia berusaha tetap tegar menyemangati diri dan menuliskan harapannya. Di lembaran itu ia menulis, “Sasja yang manis, Mama akan menulis kepada Sasja manis tiap-tiap hari. Dengan begini Mama akan bisa mengurangi sedikit sakitnya rasa rindu yang sangat dan pikiran-pikiran yang menyiksa akan Sasja, Nila, Bapak, dan adik-adik.”

Francisca menegaskan bahwa rasa rindu dan pikiran ke rumah boleh saja ada, tapi hal itu tidak boleh membuatnya menjadi sedih dan cengeng. “Inilah pengorbanan Mama kepada Revolusi, dan sekalipun begitu, betapa kecil pengorbanan itu dan tak berarti, Sas, kalau dibanding dengan apa yang sudah dan masih dikorbankan oleh ibu-ibu di Vietnam Selatan, di Republik Demokrasi Vietnam, di Kongo, di banyak negeri-negeri lainnya,” tulisnya. Francisca juga meminta anak-anaknya tabah dan “menegakkan kepala, bagaimanapun berat”.

Buku harian itu menggambarkan upayanya untuk memastikan keselamatan anak-anaknya. Komunikasi dengan Tanah Air saat itu terputus dan hampir tidak mungkin baginya dan semua yang ada di Beijing untuk menghubungi keluarga mereka. Francisca hanya dapat menulis surat kepada Doortje, kakaknya yang tinggal di Belanda, untuk mencari kabar tentang anak-anaknya. Setelah menanti berbulan-bulan, akhirnya pada 3 Desember 1965 ia baru mendengar kabar dari Doortje bahwa anak-anaknya tersebar di tiga keluarga. “Betapa pecah keluargaku: Pri ditahan, aku sendiri di luar negeri, dan anak-anakku terbagi-bagi. Tetapi aku masih bahagia, masih beruntung: betapa tidak lebih berat keadaan kawan-kawan lain,” tulis Francisca.

Francisca juga menulis tiga buku harian yang berjudul “Nila”. Namun yang tersimpan di IISH hanya bagian kedua dan ketiga. Buku harian ini lebih banyak berisi pikiran dan kegiatannya sebagai aktivis perempuan di Cina yang tengah mengalami Revolusi Kebudayaan. Tulisan-tulisannya tak hanya berisi pesan dan dedikasi pribadi kepada anak-anaknya, tapi juga bercampur dengan kutipan-kutipan dari Mao Tse Tung, yang ia jadikan penyemangat.

Ia juga menuliskan berbagai kisah perjuangan, baik di Cina maupun di Indonesia, seperti berlembar-lembar kilas balik pemberontakan komunis pada 1926. Kisah-kisah ini diselingi dengan berbagai peristiwa, refleksi, dan bahkan catatan medis saat ia dirawat lebih dari enam bulan di rumah sakit Nanking.

Menulis buku harian seperti menjadi salah satu cara Francisca untuk bertahan. Yang unik adalah caranya menulis. Terkadang ia menulis seperti menulis surat kepada anaknya. Ada berbagai catatan yang ia mulai dengan ucapan selamat ulang tahun dan harapan-harapannya kepada mereka. Sering pula ia berbicara kepada dirinya sendiri dan otokritik yang ia lakukan dalam menjalani kehidupan sebagai eksil. Pada kesempatan yang lain ia menuliskan, walau dengan cukup samar, apa yang terjadi di antara kawan-kawannya sesama pelarian.

“Banyak pikiran dan kesimpulan yang ingin saya sampaikan kepada anak-anakku dengan harapan agar kelak merekalah meneruskan perjuanganku ini dengan mengambil pelajaran dari contoh-contoh yang negatif dari perjalananku, sejak aku menerjunkan diri dalam perjuangan revolusioner untuk pembebasan nasional 1945 sampai sekarang,” tulis Francisca.

Buku harian Francisca Fanggidaej yang dinamai Nila. Foto: Francisca Fanggidaej Papers, International Institute of Social History, Amsterdam

Francisca menyadari bahwa anak-anaknya dibesarkan dan dididik jauh dari alam perjuangan revolusioner dan perjuangan kelas yang sengit. Tapi dia “percaya bahwa revolusi kita kelak yang pasti akan meletus, akan menyapu bersih segala pikiran dan adat istiadat serta kebiasaan hidup yang tidak sesuai dan menghambat revolusi”. Untuk itulah dia menulis buku harian ini untuk membantu anak-anaknya dalam perjuangannya nanti.

Pada 1998, Nilakandi Sri Luntowati menjenguk sang ibu di Belanda. Mereka bertemu untuk yang pertama dan terakhir kali karena Nila meninggal setahun kemudian. Tentang pertemuannya, Francisca menulis, “Saya meminta maaf padanya karena saya tidak sengaja menyebabkan penderitaan ini pada mereka. Saya tidak bermaksud demikian, tapi saya memang meninggalkan mereka, sementara saya yang bertanggung jawab atas mereka.”

•••

SUARA Eka Nusa Indriya terdengar gemetar di ujung telepon saat mengingat peristiwa yang menceraiberaikan keluarganya. Dia tak kuasa menahan isak tangis saat mengingat kejadian ketika membaca selebaran dan tulisan di koran yang memburu ibunya dan ingin menangkapnya hidup atau mati, juga ketika ia dan saudara-saudaranya dirundung teman-teman sebayanya. “Kami di sekolah dasar di Manggarai, ada foto Ibu. Bayangkan, anak-anak sekecil itu keluar kata-kata ‘tangkap, bunuh, mati’,” ujarnya pada Rabu, 4 Desember 2024.

Nusa anak keempat Francisca Casparina Fanggidaej dan masih berusia 9-10 tahun kala itu. Ia mengingat ibu dan ayahnya sebagai orang tua yang keras dan berdisiplin. Keduanya kutu buku dan mengoleksi banyak buku untuk bahan menulis dan mendukung aktivitas mereka. Francisca dan Supriyo saat itu adalah jurnalis di Indonesian National Press and Publicity Service. Francisca juga menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dari unsur jurnalis. “Buku bergeser saja mereka tahu. Kalau sampai pindah atau sobek, pasti mereka akan marah seperti gunung meletus,” katanya. Nusa tak berani dekat-dekat dengan tulisan-tulisan yang digarap ayah atau ibunya.

Ibunya, menurut Nusa, menyiapkan segala keperluan dan sarapan untuk anak-anaknya sebelum mereka berangkat naik becak ke sekolah. Setelah itu ibunya akan berangkat bekerja dan pulang larut malam, ketika Nusa dan saudara-saudaranya sudah terlelap. Tapi Nusa tahu ibunya datang ke kamar mereka, menciumnya, dan bertemu lagi esok harinya.

Kartu anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara RI tahun 1963. Foto: Fancisca Fanggidaej Papers, International Institute of Social History, Amsterdam

Beberapa kali Nusa diajak ke acara organisasi ibunya di daerah Kramat atau acara kedutaan. Pernah juga ia ke Istana Negara dengan ayahnya. “Oh, ini anak Ibu Cabe Rawit?” tutur Nusa menirukan komentar Presiden Sukarno saat dia bertemu dengannya di Istana. “Cabe Rawit” adalah julukan Sukarno untuk Francisca karena Francisca bertubuh kecil tapi punya nyali besar memprotes Sukarno yang menikah lagi.

Nusa menuturkan, ibunya berangkat kerja dengan kain dan kebaya. Francisca akan sangat marah kepada Nusa jika bersikap “pencilakan” (tidak sopan) saat mendengar lagu “Indonesia Raya” dikumandangkan dalam sebuah acara. Nusa harus bersikap sempurna dan berkhidmat mendengarkan lagu itu. Ibunya kemudian akan menceritakan sejarah lagu “Indonesia Raya”. Nusa mengaku lebih takut kepada ibunya yang keras dan berdisiplin ketimbang ayahnya, yang lebih lembut.

Peristiwa 1965 merenggut kasih sayang dan menceraiberaikan keluarga itu. Francisca tak bisa menginjakkan kaki lagi di Indonesia. Nusa dan saudara-saudaranya juga terpisah dengan ayah mereka. Bertahun-tahun kemudian barulah mereka kembali terhubung. Pada 1970-1980-an, Francisca berkirim surat mengabarkan tentang keadaannya. Tapi kedatangan surat itu juga membuat Nusa dan saudara-saudaranya sedih. Jika surat datang, si bungsu menanyakan keberadaan ibunya dan Nusa akan menangis bermalam-malam. “Dia tahu kakak-kakaknya juga enggak akan bisa menjawabnya,” kata Nusa.

Ibu dan anak-anak ini akhirnya bertemu setelah lebih dari tiga dasawarsa. Dalam situasi yang belum sepenuhnya bebas, Nusa Eka Indriya, Savitri Sasanti Rini, Pratiwi Widantini Matulessy, dan Mayanti Trikarini mengunjungi ibu mereka di Belanda. Perpisahan sedemikian lama membuat mereka seperti orang asing. “Rasanya hambar,” ucap Nusa.

Nusa bercerita, selama di Belanda, mereka bernostalgia meskipun suasana agak tawar. Saat itu Francisca, yang sedang sakit, bercerita tentang keputusan untuk “mengubur” namanya dan menggantinya dengan Mama Santi. Santi Sumitro adalah nama samaran Francisca selama di Beijing dan kemudian dipakai sebagai panggilan ketika ia tinggal di Belanda. Saat keluarga itu bereuni, Francisca langsung menanyakan yang mana Santi—panggilan untuk Sasanti. Mendengar kisah itu, Santi pun menangis.

Di Belanda, Nusa melihat begitu banyak buku, artikel, dan tulisan ibunya. Ibunya sempat bercerita tentang tulisan-tulisan itu, tapi Nusa tak ingat lagi soal apa. Ia juga tak mengetahui soal catatan-catatan, termasuk buku harian, yang dihibahkan Francisca kepada IISH.

Beberapa tahun kemudian, Francisca baru pulang ke Indonesia dan mengunjungi satu demi satu anaknya. Nusa mengajaknya ke makam Sukarno di Blitar, Jawa Timur, yang masih berselubung kaca. Mereka bisa masuk ke ruang kaca dan memegang batu nisan Sukarno serta berdoa di sana. “Ibu menangis bukan main di makam Bung Karno,” tutur Nusa.

Savitri Sasanti Rini mengingat ibunya sering bertugas ke luar negeri. Dia ingat, suatu ketika ibunya marah besar karena ia merobek paspor miliknya. “Saya belum paham pentingnya. Ibu sudah mau berangkat. Paspornya saya robekin. Ibu marah sekali,” kata Santi.

Buku harian Francisca Fanggidaej menjadi tumpahan keluh kesah, curahan buah pikiran dan kerinduannya terhadap keluarga. Foto: Francisca Fanggidaej Papers, International Institute of Social History, Amsterdam

Berbagai tugas membuat Francisca harus meninggalkan keluarganya berhari-hari. Bila ibunya pulang, mereka sekeluarga akan berkumpul dan bermain bersama. Pernah juga Santi diajak menyanyi untuk kelompok paduan suara di Istana Negara. Santi mengatakan, jika sudah menjalankan tugas, ibunya akan sangat serius. Santi, yang saat itu berusia 7 tahun, tak terlalu mengetahui aktivitas ibunya. Ketika dia dewasa, barulah ia paham siapa ibunya dan sepak terjangnya dari cerita Francisca dan kawan-kawannya di Belanda. “Oh, ternyata Mama begini, begitu,” ucapnya pada Rabu, 11 Desember 2024.

Ketika Francisca meninggal, abu jenazahnya dikirim ke Indonesia dan dimakamkan di Surabaya. Sejak itu pula cerita tentang Francisca makin banyak mengalir.

Santi mengetahui tentang arsip, buku, dan catatan ibunya yang bertumpuk di rumahnya di Belanda dan dititipkan kepada komunitasnya. Tapi ia tak mengetahui apa saja isi arsip atau catatan itu. Ia juga tak tahu soal buku harian “Nila” dan “Sasja”. “‘Nila’ itu perjuangan Mama, ‘Sasja’ itu Mama ada rasa sendiri bagaimana gitu,” ujarnya.

Namun Santi mengingat pesan ibunya agar tidak melibatkan anak-anak dalam urusan politik. “Berkaca dan belajarlah dari pengalaman Mama, kami semua,” katanya mengulang pesan Francisca.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus