Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Cegah Stunting, Kuncinya di 1000 Hari Pertama Kehidupan

Sebanyak 37 dari 100 balita di Indonesia mengalami stunting. Masih ada peluang untuk memperbaiki pertumbuhannya anak yang mengalami stunting.

12 Desember 2017 | 13.21 WIB

Ilustrasi bayi dibedong. theparentbible.com
Perbesar
Ilustrasi bayi dibedong. theparentbible.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan yang kerap disamakan dengan gizi buruk. Padahal dua masalah kesehatan pada bayi dan balita itu berbeda. Stunting merupakan kekurangan gizi kronis dan berulang, serta terjadi sejak di dalam kandungan. Adapun gizi buruk adalah kondisi kekurangan gizi dalam kurun waktu lama dan bersifat akut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebanyak 37 dari 100 balita di Indonesia mengalami stunting. Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 2016 menyatakan tingkat stunting diIndonesia lebih tinggi dibandingkan negara tetangga, semisal Vietnam dan Thailand yang masing-masing sebesar 23 persen dan 16 persen. Bayi atau balita yang stunting mengalami gangguan kesehatan seiring dengan terhambatnya pertumbuhan jaringan tubuh, termasuk organ lunak, seperti jantung, hati, ginjal, dan lainnya.

Ketua Positive Deviance Resource Centre atau PDRC Universitas Indonesia, Prof. Dr. Endang L. Anhari Achadi, MPH, Dr.PH, mengatakan indikasi apakah bayi mengalami stunting atau tidak bisa terbaca sejak dalam kandungan. "Kuncinya ada di 1.000 hari pertama kehidupan, yakni masa selama 270 hari atau 9 bulan dalam kandungan ditambah 730 hari atau sampai anak berusia 2 tahun," kata Endang dalam pelatihan "Journalist Goes to Campus" di Universitas Indonesia, Depok, Senin 11 Desember 2017.

Ketua Positive Deviance Resource Centre atau PDRC Universitas Indonesia, Prof. Dr. Endang L. Anhari Achadi, MPH, Dr.PH, menjelaskan tentang pentingnya 1000 hari pertama kehidupan. TEMPO | Rini Kustiani

Endang merinci, pada masa 9 bulan dalam kandungan, ibu hamil mesti mendapatkan asupan gizi yang mencukupi untuk diri sendiri dan bayinya. Pada masa 0-2 minggu pertama kehamilan terjadi pembelahan sel di dalam kandungan. Kemudian selama 8 minggu pertama kehamilan, mulai terbentuk cikal bakal organ yang akan menjadi otak, hati, jantung, ginjal, dan tulang.

"Pada masa ini, kebutuhan gizi ibu dan anak mesti terpenuhi, terutama asam folat dan zat besi," kata Endang. Perempuan yang terlalu kurus saat hamil, menurut dia, tidak punya persediaan khusus untuk energi bayi dan diri sendiri. Sebab itu selama hamil, ibu harus terus dipantau pertambahan berat badannya dan kondisi bayi dalam kandungan.

Setelah bayi lahir, cara kasat mata untuk mengetahui apakah bayi mengalami stunting atau tidak adalah dengan mengukur berat badan dan panjangnya. "Waspada jika berat badan bayi baru lahir kurang dari 2500 gram dan panjangnya kurang dari 48 sentimeter," ujarnya. Namun seiring pertumbuhan, berat badan dan panjang bayi bisa bertambah sehingga ada perbaikan dalam pemenuhan gizinya.

Jika bayi mengalami stunting, Endang mengatakan, masih ada peluang untuk memperbaiki pertumbuhannya, tentu dengan upaya ekstra. "Caranya, kuatkan asupan makanan bergizi dan hindari terjadinya infeksi," ucapnya. Pada bayi usia 0 sampai 6 bulan misalnya, Endang mengatakan, cukup berikan air susu ibu kepada anak tersebut.

Selanjutnya, diberi makanan pendamping ASI atau MPASI dengan gizi seimbang. "Kalau terbiasa makan dengan gizi seimbang, maka masih ada peluang perbaikan sampai dewasa," ujarnya. Yang penting adalah jangan terbalik. Misalnya, ketika tahu anak stunting maka orang tua langsung memberikannya susu formula. Kemudian setelah bisa makan, diberi makanan berlemak tinggi. "Tidak bisa begitu. Cara itu keliru," ucapnya. Pemantauan tumbuh kembang juga harus dilakukan kepada anak setiap bulan melalui Kartu Menuju Sehat atau KMS atau Buku Kesehatan Ibu dan Anak.

Ilustrasi ibu hamil. shutterstock.com

Endang melanjutkan, jika kondisi stunting pada individu tak segera diatasi, maka efeknya akan berimbas pada generasi selanjutnya, terutama jika individu itu adalah perempuan. "Stunting yang tidak ditangani dengan benar tak berhenti pada dia sendiri. Apabila dia perempuan, maka nanti bisa menjadi ibu pendek dan kurus, serta berisiko melahirkan bayi yang stunting juga," ucapnya.

Berangkat dari situ, menurut Endang, masih ada masyarakat yang 'terjebak' dengan kondisi kesehatan yang buruk dengan berdalih 'penyakit keturunan'. "Padahal peran lingkungan jauh lebih besar dari genetik," ucapnya. "Bahwa faktor gen ada, ya. Tapi sebetulnya yang menentukan adalah bagaimana kita berinteraksi dengan lingkungan," katanya. Termasuk soal stunting tadi, anak yang mengalaminya bisa pulih asalkan menerapkan pola hidup sehat dan gizi seimbang.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus