Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cerita dari Kamp Buchenwald

Nazi membangun ratusan kamp yang tersebar di hampir seluruh Eropa. Bekas tangsi militer, gudang kosong, istana kuno.

18 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah dipindahkan ke Buchenwald, aku memperkirakan bahwa tidak mempunyai harapan lagi untuk dibebaskan, kecuali Jerman dikalahkan Sekutu dalam perang. Namun, menurut perkiraanku itu tidak akan terjadi dalam waktu yang singkat…. Aku harus siap untuk ditawan beberapa tahun. Itu pun kalau aku tidak terbunuh….

Parlindoengan Loebis melukiskan kecamuk dalam batinnya tatkala tiba di kamp konsentrasi Buchenwald, Jerman. Saat itu awal April 1942, Parlindoengan bersama sekitar 100 orang tawanan diangkut dari Amersfoort, sebuah kamp konsentrasi Nazi di Belanda, dengan kereta api kelas tiga.

Kegelisahan Parlindoengan yang dituangkan dalam otobiografinya itu memang tak mengada-ada. Setidaknya, hampir setiap pekan puluhan tawanan mati akibat sakit dan kelaparan di kamp konsentrasi Buchenwald. Sejak menampung tawanan pada 1937 hingga 1945, lebih dari 56 ribu korban menemui ajal di kamp konsentrasi yang terletak di pinggiran Kota Wiemar itu.

Buchenwald merupakan satu di antara kamp konsentrasi utama di Jerman. Sejak 1933 Nazi mulai membangun kamp-kamp konsentrasi kecil, sebagian besar terletak di sekitar Berlin. Tempat yang digunakan adalah bekas tangsi militer, pabrik yang sudah ditinggalkan, bekas gudang, dan bekas istana kuno. Puluhan kamp itu digunakan Nazi untuk menyekap lawan-lawan politiknya. Khususnya orang komunis, juga yang dicap komunis.

Kamp Buchenwald mulai dibangun pada musim panas 1937. Buchenwald, sekitar 300 kilometer dari Frankfurt, merupakan kawasan hutan di kaki bukit Ettersberg, Wiemar, Jerman Tengah. Selama berabad-abad Wiemar dikenal sebagai kota budaya. Di kota itulah pujangga Wolfgang van Goethe dan komponis Johann Sebastian Bach bermukim.

Sekitar 1.400 tawanan yang didatangkan dari beberapa kamp konsentrasi di Jerman dikerahkan untuk membuka hutan. Mereka kemudian membangun barak-barak dari kayu dan batu bata berwarna kelabu. Kamp yang terdiri dari 174 sub-kamp itu dikelilingi pagar kawat berduri beraliran listrik tegangan tinggi. Juga ada menara pengintai yang dijaga tentara SS (Schutz Staffel), pasukan khusus Nazi.

Awalnya, Buchenwald digunakan sebagai tempat menahan lawan-lawan politik Nazi. Tapi belakangan kaum Yahudi, gipsi, homoseksual, dan residivis dijebloskan ke kamp konsentrasi itu. Paling tidak, sekitar 250 ribu orang dari berbagai negara pernah ditahan di kamp itu hingga berakhirnya Perang Dunia II.

Hari-hari di kamp Buchenwald dilewati para tawanan dengan kerja paksa. Sepanjang 16-18 jam per hari mereka sebagian besar dipekerjakan di pabrik dan pertambangan. Sisanya bekerja memecah batu-batu dari gunung di sekitar kamp. Pagi-pagi buta mereka digiring ke tempat kerja paksa dan kembali larut malam.

Dengan pekerjaan seberat itu, para tawanan hanya mendapat jatah makanan sangat minim. ”Pagi-pagi dapat roti kurang-lebih 400 gram, bubur dan kopi pakai gula kurang-lebih 400 cc. Kopi yang diberikan itu sebenarnya bukan kopi, melainkan dibuat dari sejenis padi,” tulis Parlindoengan.

Siang sekitar pukul 11.00, mereka mendapat sup dengan satu atau dua kentang di dalamnya. Dan malam sehabis kerja hanya mendapat kopi. Terkadang dapat juga margarin dan selai kurang-lebih 120 gram. ”Makanan itu kalau dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan dan cuaca yang dingin sangatlah tidak mencukupi,” Parlindoengan menambahkan.

Yang lebih mengenaskan, bila para tawanan kerja paksa jauh di luar kamp. Para tawanan dilarang melewati garis yang telah ditentukan. Bila melanggar, akan ditembak pasukan SS yang mengawasi mereka. Parlindoengan menyimak: banyak juga tawanan yang memanfaatkan itu untuk bunuh diri. ”Mereka dengan sengaja melewati garis itu supaya ditembak mati dari belakang.”

Pada 1944, sebagian kamp Buchenwald hancur ketika pasukan Sekutu membombardir dari udara. Kini sebagian besar bangunan kamp konsentrasi itu telah rata tanah. Yang masih tersisa beberapa bangunan sebagai ruang koleksi peninggalan. Di bangunan krematorium, yang terletak sejajar dengan barak tawanan, terdapat enam tungku pembakaran mayat. Di salah satu sudut ruangan terdapat kamar penyimpan abu jenazah, dan sebuah ruang bawah tanah, dulu berfungsi untuk menumpuk mayat.

Ruang pamer kamp Buchenwald—bangunan berlantai tiga bekas gudang yang direnovasi—merupakan tempat yang membawa pengunjung kembali ke lembaran sejarah hitam sekitar 68 tahun lalu. Pengunjung bisa menyaksikan jarum suntik yang digunakan untuk eutanasia, baju kumuh tawanan dengan nomor registrasi, sepatu, foto tawanan, dan foto tumpukan mayat di atas kereta dorong.

Kamp konsentrasi Buchenwald kini telah menjadi obyek wisata sejarah. Dibuka untuk umum setiap hari, kecuali Senin. Begitu juga dengan sepuluh bekas kamp konsentrasi lain di Jerman yang dijadikan museum. Antara lain, kamp Dacau, kamp Neuengamme di Hamburg, dan kamp Sachenhausen-Oranienburg dekat Berlin.

Sisa-sisa kekejaman Nazi masih bisa disaksikan di ketiga kamp itu. Kamp Dacau adalah tempat pembantaian massal selama Perang Dunia II. Nazi memberondong ribuan tawanan perang Soviet dengan timah panas di kamp ini. Dokter SS memanfaatkan sebagian besar tawanan untuk eksperimen medis, termasuk eksperimen pendinginan dan pembekuan. Juga eksperimen penyakit malaria, yang akhirnya mengakibatkan banyak tawanan mati mengenaskan. Setidaknya, ada 30 ribu tawanan yang dibunuh dengan berbagai cara, tak terkecuali dengan karbon monoksida.

Kamp Sachenhausen, yang terletak sekitar 35 kilometer dari Berlin, juga tak kalah mengerikan. Berdiri pada 1939, kamp yang terdiri atas 44 sub-kamp itu menampung tawanan komunis dan pengusaha top dari seluruh Jerman. Tiga tahun berselang, di dalam kamp itu dibangun Stasiun Z, yang merupakan tempat pemusnahan massal. Hampir seratus orang ditembak di instalasi itu. Setahun kemudian Stasiun Z dilengkapi dengan kamar gas.

Selain di Jerman, sejak 1939 Nazi juga membangun kamp konsentrasi di sejumlah negara di Eropa. Satu di antara yang paling terkenal adalah kamp Auschwitz di Polandia. Nazi mendirikan Auschwitz di tepi Kota Oswiecim. Sekeliling kamp dipasangi kawat berduri beraliran listrik tegangan tinggi. Ruang terbesar dalam bangunan kamp Auschwitz dioperasikan sebagai kamar gas pada musim gugur 1941.

Auschwitz merupakan kamp konsentrasi terbesar, yang terdiri dari Auschwitz I, Auschwitz II-Birkenau, Auschwitz III-Monowitz. Jumlah korban di Auschwitz pada 1940 hingga 1945 diperkirakan 1,1 juta hingga 1,5 juta orang, yang sebagian besar adalah keturunan Yahudi. Lebih dari 50 persen tawanan mati karena kelaparan, kerja paksa, kerusuhan dalam kamp, epidemi, hukuman, dan siksaan.

”Untuk survive, kita harus kembali menjadi manusia yang primitif dan berusaha hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang paling primitif, yaitu makan secukup mungkin, tidak menjadi sakit, dan mengeluarkan tenaga sedikit mungkin,” demikian Parlindoengan Loebis menulis kiatnya bertahan hidup.

Nurdin Kalim, Sri Pudyastuti Baumeister (Braunschweig)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus