Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CILINCING? Ah, sudahlah. Lupakan saja. Pantai utara Jakarta yang
menjadi tempat rekreasi warga ibukota tahun 50-an, tak
meninggalkan bekas lagi. Pantai berpasir putih, dihias pohon
kelapa dan kayu api-api, semua kini tiada. Berkelompok
sekeluarga, atau berdua-dua saja, memancing atau mandi-mandi,
hanya tinggal kenangan.
Pasir putih kini telah berganti lumpur. Rimbunan pepohonan telah
berubah menjadi rumah-rumah gubuk beratap nipah. Nelayan dan
penduduk ibukota lainnya telah membangun gubuk-gubuk itu untuk
jadi tempat tinggal mereka. Di sana-sini terlihat lubang-lubang
besar bekas galian pasir. Lubang-lubang itu menggenangkan air,
kotor dan berbau. Udara terasa kering dan panas.
Anehnya sebuah jalan yang baru saja dibuat sampai ke pinggir
pantai, diberi nama Jalan Rekreasi. Adakah penamaan ini hanya
untuk kenang-kenangan, Camat Cilincing, Ambang Djamaluddin BA,
sendiri tak tahu. Yang pasti katanya, "tempat rekreasi yang dulu
cukup dikenal, sekarang sudah tak ada lagi."
Dan memang menurut camat itu, pembangunan Cilincing akhir-akhir
ini tidak untuk dijadikan daerah hiburan. Di samping karena
sejak akhir tahun 60-an mulai diserbu penghuni-penghuni liar dan
mendirikan rumah gubuk, juga belakangan warga ibukota sudah
merasa puas dengan adanya Pantai Ancol.
Wabah
Sejak 1975 daerah ini diresmikan sebagai Kecamatan Cilincing,
termasuk wilayah Jakarta Utara. Ia meliputi 5 kelurahan,
termasuk Kelurahan Marunda dan Kelurahan Sukapura yang
sebelumnya menjadi wilayah Kabupaten Bekasi Jawa Barat). Tapi
justru dari kelurahan paling akhir inilah dua pekan lalu
terbetik berita kematian 14 orang warganya secara berturut-turut
karena wabah muntah-berak. Menurut Camat Djamaluddin, wabah itu
berasal dari air minum penduduk yang tak memenuhi syarat.
Air minum itu berasal dari empang-empang penyaringan air yang
sengaja dibuat untuk menampung air dari sebuah irigasi yang
berhulu di daerah Bekasi. Sang camat membantah kalau hal itu
karena air sudah terkena pencemaran (polusi) dari lingkungannya
yang kotor. "Kalau karena polusi air, mustinya semua penduduk
yang memakai air itu terjangkit wabah juga," ucap Djamaluddin.
Tapi apapun penyebabnya, yang pasti Kelurahan Sukapura sampai
hari ini masih tergolong terpencil. Karena jalan ke arah sana
memane belum ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo