Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cilincing, patut sekarang

Pantai utara jakarta yang menjadi tempat rekreasi warga ibukota tahun 50-an, kini sudah punah/berubah menjadi rumah-rumah gubug untuk tempat tinggal. pernah terjadi kematian karena muntaber. (kt)

25 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CILINCING? Ah, sudahlah. Lupakan saja. Pantai utara Jakarta yang menjadi tempat rekreasi warga ibukota tahun 50-an, tak meninggalkan bekas lagi. Pantai berpasir putih, dihias pohon kelapa dan kayu api-api, semua kini tiada. Berkelompok sekeluarga, atau berdua-dua saja, memancing atau mandi-mandi, hanya tinggal kenangan. Pasir putih kini telah berganti lumpur. Rimbunan pepohonan telah berubah menjadi rumah-rumah gubuk beratap nipah. Nelayan dan penduduk ibukota lainnya telah membangun gubuk-gubuk itu untuk jadi tempat tinggal mereka. Di sana-sini terlihat lubang-lubang besar bekas galian pasir. Lubang-lubang itu menggenangkan air, kotor dan berbau. Udara terasa kering dan panas. Anehnya sebuah jalan yang baru saja dibuat sampai ke pinggir pantai, diberi nama Jalan Rekreasi. Adakah penamaan ini hanya untuk kenang-kenangan, Camat Cilincing, Ambang Djamaluddin BA, sendiri tak tahu. Yang pasti katanya, "tempat rekreasi yang dulu cukup dikenal, sekarang sudah tak ada lagi." Dan memang menurut camat itu, pembangunan Cilincing akhir-akhir ini tidak untuk dijadikan daerah hiburan. Di samping karena sejak akhir tahun 60-an mulai diserbu penghuni-penghuni liar dan mendirikan rumah gubuk, juga belakangan warga ibukota sudah merasa puas dengan adanya Pantai Ancol. Wabah Sejak 1975 daerah ini diresmikan sebagai Kecamatan Cilincing, termasuk wilayah Jakarta Utara. Ia meliputi 5 kelurahan, termasuk Kelurahan Marunda dan Kelurahan Sukapura yang sebelumnya menjadi wilayah Kabupaten Bekasi Jawa Barat). Tapi justru dari kelurahan paling akhir inilah dua pekan lalu terbetik berita kematian 14 orang warganya secara berturut-turut karena wabah muntah-berak. Menurut Camat Djamaluddin, wabah itu berasal dari air minum penduduk yang tak memenuhi syarat. Air minum itu berasal dari empang-empang penyaringan air yang sengaja dibuat untuk menampung air dari sebuah irigasi yang berhulu di daerah Bekasi. Sang camat membantah kalau hal itu karena air sudah terkena pencemaran (polusi) dari lingkungannya yang kotor. "Kalau karena polusi air, mustinya semua penduduk yang memakai air itu terjangkit wabah juga," ucap Djamaluddin. Tapi apapun penyebabnya, yang pasti Kelurahan Sukapura sampai hari ini masih tergolong terpencil. Karena jalan ke arah sana memane belum ada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus