Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Consumo Ergo Sum

20 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rocky Gerung
Pengajar filsafat Universitas Indonesia

Sebuah kelompok arisan di Jakarta patungan membeli tas tangan Hermes buatan Prancis berharga seratusan juta rupiah. Lalu setiap anggota bergilir memakainya. Seorang politikus muda mondar-mandir di lounge sebuah hotel, berbalut Hugo Boss, jas mahal Jerman, tapi dengan merek yang masih menempel di lengannya.

Citra, status, dan konsumsi adalah produk kebudayaan massa. Ia menggoda selera, lalu memicu hasrat conspicuous consumption. Tapi suatu godaan aristokratik yang hendak dipuaskan secara instan sering hanya menghasilkan kegagapan sosial, plus kelucuan budaya.

Kelas menengah? Inilah "kelas" yang sangat menjengkelkan para pembaca Marx. Yaitu kelas yang sekadar tumbuh menempel pada tubuh kapitalisme, tapi tanpa kehendak "investasi", juga tanpa keinginan "revolusi". Rasa aman adalah ideologi resminya. Revolusi terlalu berbahaya, investasi terlalu berisiko. Itulah sebabnya, bagi para pegiat politik radikal, kelas menengah adalah penghalang perubahan. Ia berada di tengah, dan persis dalam posisi itu ia meredam kemestian antagonisme kelas atas vs kelas pekerja.

Tentu, determinisme sosiologi ini tidak lagi cukup untuk menerangkan pluralisasi bentuk-bentuk kapital pasca-modern, terutama karena sifat kapital yang makin finansial, yang bahkan menghasilkan produk-produk derivatif yang menumbuhkan pasar spekulasi. Praktek kapitalisme finansial itulah yang kini mengguncang ekonomi dunia. Perubahan watak kapitalisme itu memudarkan sinyal kontradiksi kelas, dan mengalihkan energi kontradiksi ke dalam ruang-ruang negosiasi bisnis dan politik.

Hari-hari ini, pertemuan pikiran dunia sedang berupaya memahami hakikat krisis ekonomi global dan akibat-akibatnya bagi stabilitas politik dunia. Kajian akademis dan pengalaman politik satu dasawarsa ini mulai mengakui kesalahan-kesalahan sistemik ekonomi global. Bahwa model kapitalisme yang dioperasikan secara spekulatif itu telah mengabaikan hal yang paling mendasar: ekonomi adalah pertukaran nyata, bukan transaksi tanpa jejak. Kehendak untuk mengaitkan ulang ekonomi dan kesosialan manusia memperoleh momentum dalam krisis keuangan dunia sekarang ini. Kesadaran itulah yang kini mempertemukan "negara" dan "bisnis" di Davos dan Wall Street, dalam upaya mencari revisi political-economy, dengan tema etika keadilan yang menonjol.

l l l

Dalam suasana civilizing capitalism itu, pertanyaan tentang peran kelas menengah dapat dilanjutkan. Memang, konsep "kelas" hanya dimaksudkan untuk menganalisis peluang antagonisme antara kelas atas dan kelas bawah. Dalam sosiologi itulah perubahan politik dibayangkan. Tentu, karakter ini tidak dimiliki oleh "kelas" yang memilih berada di tengah, di posisi yang aman, dan menikmati kemapanan sebagai "kepuasan konsumen". Dalam konteks negeri ini hari-hari ini, misalnya, rasa aman itu adalah rasa nikmat menerima limpahan kredit konsumsi dari kondisi overlikuiditas perbankan, yang juga merasa lebih aman menyalurkan kredit kepada kalangan ini ketimbang memberi utang kepada "pengusaha papan atas" yang mudah "ngemplang" karena dilindungi kekuasaan.

Nikmat ekonomi membawa kelas menengah pada "kemapanan semu": Consumo Ergo Sum! Belanja, tanda hidup! Psikologi inilah yang menghidupkan ruang konsumsi nasional memutar roda perekonomian sekaligus menumbuhkan usaha bisnis penagih utang. Itulah sesungguhnya "sektor riil" kita. Investasi asing tiba di sini karena undangan kelas menengah. Tapi sebetulnya yang kurang diterangkan adalah bahwa pertumbuhan ekonomi kita hari-hari ini bukan akibat langsung dari produktivitas kelas menengah nasional, melainkan karena permintaan konsumsi kelas menengah Cina dan India yang juga sedang tumbuh cepat dan sangat memerlukan energi dan bahan mentah kita. Di situlah letak "kemapanan semu" kelas menengah kita. Artinya, gangguan dalam sistem produksi Cina, karena penurunan permintaan Eropa dan Amerika Serikat, akan segera melambatkan perekonomian kita, lalu menumpuklah kredit macet kelas menengah.

Tapi, sialnya, stabilitas demokrasi justru diasuransikan kepada kelas ini. Perut yang cukup kenyang jarang menuntut perubahan—apalagi yang radikal. Karena itu, politik bukan isu pokok kelas menengah. Politik dalam arti kerja memproduksi keadilan, atau dalam maksud perjuangan ideologis, bukanlah minat kelas menengah. Kelas ini hanya bereaksi bila kepentingannya terhalang oleh politik. Urusan memproduksi perubahan bukan kepentingannya.

Kuriositas kita hari-hari ini: ke mana gerangan arah politik kelas ini? Bila jumlah mereka mendekati 50 juta jiwa, berpenghasilan Rp 50 juta setahun pada 2014, cukup mandirikah kelas ini dalam pemilihan presiden nanti? Artinya, seandainya sihir "politik uang" masih akan merajalela, sanggupkah kelas ini menatap jauh ke depan, pada harapan sistem kebijakan publik yang bersih, dan karena itu mau melakukan pilihan politik baru? Juga, terhadap sihir "politik ayat", dapatkah kelas ini mengucapkan argumen-argumen konstitusi, melampaui sentimen komunal?

Tahap kematangan politik kita hari-hari ini memperlihatkan kondisi kejiwaan kelas menengah masih kuat diarahkan oleh lingkungan komunalnya. Dalam hegemoni kultural itulah pendapat politik kelas menengah tersandera. Di situ, pilihan politik individu lebih ditentukan oleh sistem pemaknaan primordial ketimbang kalkulasi rasional seorang konsumen. Inilah sifat ajaib kelas menengah kita: dalam segi konsumsi ia berinduk pada kapitalisme, dalam segi mental ia masih menyusu pada komunalisme. Keterlambatan kultural ini menerangkan "politik rasa aman" kelas menengah itu. Ia tidak mencari rasa aman pada sistem institusi modern, melainkan pada nilai-nilai transendental.

Kuatnya orientasi primordial ini menghalangi kalkulasi rasional dalam penentuan pilihan politik individu. Kondisi ini cenderung menghasilkan etos "menolak tanggung jawab", karena individu memang tidak dilatih mengambil keputusan secara bebas.

Sinisme terhadap karakter dan peran politik kelas menengah tidak mengubah fakta bahwa ekonomi Indonesia memang bertumbuh. Bertambahnya kelas menengah berarti bertambahnya penduduk yang berpenghasilan menengah. Ini berarti potensi pasar sekaligus potensi politik. Tekanan pada pemerintah memang lebih menyangkut tuntutan kebijakan, bukan tuntutan politik ideologi. Imajinasi politik kelas ini tidak akan melampaui kenikmatan ekonominya hari ini. Karena itu, pemerintah diuntungkan dari segi jaminan stabilitas politik dan berkurangnya beban anggaran sosial yang harus disubsidikan.

Masalah bagi demokrasi kita sekarang ini adalah mana suara kelas pembayar pajak ini terhadap soal pluralisme, toleransi, dan keadilan. Seandainya terjadi krisis politik, apakah kelas ini akan mencari rasa aman pada demokrasi, atau pergi lagi pada doktrin-doktrin komunal? Keperluan demokrasi adalah menumbuhkan kelas warga negara yang mandiri secara ekonomi dan rasional dalam kehidupan publik. Peluang global untuk memanfaatkan keunggulan demografis kelas menengah kita, dalam antisipasi perubahan pasar tenaga kerja dunia satu dekade ke depan, tentu, memerlukan persiapan infrastruktur rasionalitas untuk memastikan bahwa sentimen komunal tidak akan melampaui rasionalitas kehidupan publik.

Terlibat dalam proyek intensifikasi demokrasi demi menghidupkan etika kompetisi jujur di lapangan ekonomi dan politik adalah tugas sejarah kelas menengah. Keterlibatan itu hanya mungkin dijelaskan dalam kerangka terbukanya sistem kebudayaan, yaitu kebudayaan yang mengutamakan tanggung jawab individu terhadap kehidupan bernegara. Itu berarti prinsip keutamaan keanggotaan dalam forum publik, solidaritas dalam ide keadilan sosial, dan keaktifan dalam percakapan politik, harus mendahului sentimen-sentimen primordial, komunal, dan metafisik. Kurikulum inilah yang kurang diaktifkan negara, parlemen, dan partai politik.

l l l

Hermes adalah dewa perdagangan Yunani. Tas tangan itu, dulu, identik dengan Grace Kelly karena sering terlihat dijinjing sang putri. Aktris ini pernah meninggalkan makan malamnya di sebuah klub bergengsi di New York karena resto itu bersikap rasis terhadap tamu kulit hitam. Hugo Boss adalah seorang Jerman pro-Nazi. Perusahaannya memproduksi seragam pasukan elite Hitler dengan mempekerja-paksakan para tawanan. Sejarah mungkin tidak terlalu penting bagi para peserta arisan dan anggota parlemen. Tapi alangkah bermutu demokrasi kita bila kelas menengah kita juga punya pandangan bermutu tentang soal-soal toleransi, etika publik, dan keadilan. Dengan cara itu demokrasi memperoleh landasan "sektor riil" yang kukuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus