Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warga Kampung Mrican, Kota Yogyakarta, mengubah saluran irigasi menjadi kolam ikan panjang.
Rahmat Jabaril dan warga Dago Pojok mengembangkan kampung kreatif dengan mengusung wisata edukasi dan kesenian.
Kreativitas warga kampung menarik wisatawan dan meningkatkan penghasilan mereka.
SALURAN air di Kampung Mrican, Kelurahan Giwangan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta, berbeda dengan irigasi lainnya. Beragam ikan, seperti nila, tombro, hingga koi, berenang lincah di kali selebar 1,5 meter tersebut. Jalan di sebelahnya menambah daya tarik lantaran dicat warna-warni. Kawasan yang dikenal dengan nama Bendhung Lepen itu menjadi kampung kreatif yang kerap dikunjungi wisatawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bendhung Lepen tak serta-merta menjadi sebuah tempat pelesir. Kali kecil itu dulu dipenuhi banyak endapan lumpur dan sampah. Pada awal 2019, “Pemuda dan warga berinisiatif membersihkan,” kata pengurus wisata Bendhung Lepen, Suradiyanto, kepada Tempo, Rabu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka mengusulkan agar saluran air yang mendapat aliran dari Sungai Gajah Wong itu digunakan untuk memelihara ikan sekaligus menjaga ekosistem sungai. Apalagi saat itu populasi ikan di sana kian turun.
Para pemuda yang bergabung dalam Karang Taruna Mrican kemudian memasang besi penyaring sampah di sejumlah titik. Mereka juga berkeliling rumah warga setempat meminta donasi sukarela. Sumbangan dan kas kampung itu kemudian dibelikan ikan yang mudah dipasarkan, yaitu nila. “Bukan dalam bentuk benih (ikan),” ujar Suradiyanto.
Suasana Bendhung Lepen di Sungai Gajah Wong, Mrican, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta, 29 Desember 2021. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Nila yang ditebar pertama kali sebanyak 125 kilogram. Pada Mei 2019, ikan-ikan tersebut sudah bisa dipanen dan dijual kepada warga setempat. Beratnya mencapai 400 kilogram. Uang hasil panen itu dibelikan ikan untuk ditebar lagi di kali.
Warga lalu mengunggah foto kegiatan panen ikan dan banyaknya ikan ke media sosial. Hal itu semakin menarik pengunjung dari luar kampung hingga luar Yogyakarta untuk datang ke sana. “Kami enggak kepikiran ini menjadi tempat wisata.”
Sejak saat itu, para pemuda Kampung Mrican kian giat. Saban empat bulan sekali, kegiatan panen ikan atau panen raya rutin digelar. Panen raya biasanya dilakukan pukul 07.00-09.00. Sedangkan jual-beli hasil panen itu dilakukan pada pukul 09.00-12.00. Hingga saat ini, sudah empat kali mereka memanen ikan. Kegiatan tersebut sempat terhenti selama masa pandemi Covid-19 untuk mencegah kerumunan.
Ikan hasil panen tersebut dijual dalam bentuk paket. Saat panen pertama, satu paket yang berisi 2 kilogram nila dijual seharga Rp 50 ribu. Pada panen keempat September 2021, nila seberat 2 kilogram dihargai Rp 55 ribu. Harga jual tetap lebih rendah dibanding harga pasar. Siapa pun bisa membelinya, baik pengunjung maupun warga setempat. Uang hasil penjualan ikan kemudian digunakan untuk membeli ikan, biaya perawatan Bendhung Lepen, dan kegiatan sosial.
Suasana Bendhung Lepen di Sungai Gajah Wong, Mrican, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta, 29 Desember 2021. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Semula, panjang kali sebagai kolam ikan hanya 50 meter. Warga setempat kemudian memanjangkannya hingga 100 meter dan kini menjadi 200 meter.
Tak ada tiket masuk ke Bendhung Lepen. Pengunjung cukup membayar Rp 2.000 untuk membeli pakan ikan berupa satu cup pelet. Mereka juga bisa memancing ikan di sana dengan menyewa joran, tempat ikan, sekaligus membeli umpannya, yang sepaket dihargai Rp 5.000. Satu kilogram nila hasil pancingan dihargai Rp 30 ribu.
Warga setempat juga mendapat penghasilan tambahan dari Bendhung Lepen. Mereka berjualan aneka makanan dan minuman. Barang dagangan tersebut ditata di atas 35 meja. Kreativitas warga itu tentu saja menambah pendapatan mereka.
Kreativitas dalam bentuk lain bisa ditemui di Kota Bandung, Jawa Barat. Salah satunya kampung kreatif Dago Pojok di Kelurahan Dago. Inisiatornya adalah Rahmat Jabaril. Pemerintah Kota Bandung meresmikan kampung kreatif itu pada 28 Oktober 2011.
Rahmat Jabaril datang ke Dago Pojok pada 2003. Saat itu, Pemerintah Kota Bandung tengah gencar membangun kawasan utara Kota Bandung. Pelukis tersebut kemudian memetakan permasalahan lingkungan, sosial, gender, hingga pendidikan di sana. “Ternyata Dago Pojok punya potensi budaya, sosial, dan ekonomi yang menarik,” tuturnya.
Pada 2009, Rahmat berdiskusi dengan tokoh masyarakat Dago Pojok. Mereka kemudian sepakat mengembangkan kampung kreatif di sana. Sebab, penduduk setempat telah memiliki beragam kemampuan seni, seperti jaipong, kecapi suling, dan pencak silat.
Karya seni cukil kayu menempel di dinding permukiman Kampung Dago Pojok, Bandung, Jawa Barat, 30 Desember 2021. TEMPO/Prima Mulia
Pada 2011, Rahmat dan warga setempat menggelar festival kampung kreatif Dago Pojok. Acara yang terakhir digelar pada 2016 itu biasanya berlangsung pada 28 Oktober. Penduduk memperlihatkan kemampuan pencak silat, pertunjukan wayang golek, hingga kecapi suling dalam festival tersebut. Acara itu kemudian menarik banyak pengunjung.
Tak hanya dari kawasan Bandung, tapi juga dari luar kota hingga luar negeri, seperti Inggris, Amerika, Kanada, India, Bangladesh, dan Myanmar. Mereka belajar kesenian sekaligus pemberdayaan masyarakat Dago Pojok.
Kunjungan wisatawan tersebut tentu mendatangkan penghasilan bagi warga. Pelancong asing dan domestik itu membeli makanan dan minuman yang dijual penduduk setempat. Bahkan sebagian warga menyediakan homestay bagi para wisatawan.
Sanggar-sanggar kesenian di Dago Pojok juga mendapat penghasilan tambahan. Wisatawan yang ingin belajar jaipong, pencak silat, sablon, hingga melukis kaus dikutip iuran. “Uang tersebut langsung dikelola oleh masing-masing sanggar,” kata Rahmat.
Kampung Dago Pojok, Bandung, Jawa Barat, 30 Desember 2021. TEMPO/Prima Mulia
Rahmat juga mengajari anak-anak setempat melukis. Selain itu, ia membuka kelas bimbingan belajar pada 2003-2017. Siswa dari taman kanak-kanak hingga SMA bisa berkonsultasi soal pelajaran di sekolah.
Rahmat juga membuka kelas persamaan paket A, B, dan C, bagi warga Dago Pojok yang putus sekolah pada 2006-2014. “Kelas persamaan kemudian ditutup karena sudah tidak ada siswa lagi,” ujar pria berusia 53 tahun itu. Ia tak memungut biaya untuk pelatihan melukis, bimbingan belajar, hingga kelas persamaan tersebut.
Sejak 2017, Rahmat menyerahkan pengelolaan kampung kreatif Dago Pojok kepada warga setempat. Namun, karena pandemi Covid-19, beragam kegiatan di sana terhenti. Pemerintah Kota Bandung membatasi kegiatan masyarakat, termasuk di sektor pariwisata.
Sandrina Dewinta Saputri Pratama merasakan berkah dari kehadiran kampung kreatif Dago Pojok. Pembina Sanggar Putri Rengganis itu mendapat pemasukan tambahan dari mengajari anak-anak tari jaipong. Setiap anak yang ingin belajar tari tradisional itu dikenai iuran Rp 10 ribu untuk sekali pertemuan.
Anak-anak dari sanggar tari Rengganis Kampung Dago Pojok, Kota Bandung. Dokumentasi Pribadi.
Mahasiswa jurusan tari di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung itu menggelar latihan jaipong dua kali sepekan, yaitu pada Rabu dan Sabtu. Kini, 15 anak belajar di sanggar tersebut. “Latihannya dari setelah zuhur sampai sebelum asar.”
Perubahan lain dari hadirnya kampung kreatif ialah kawasan ini lebih berwarna dan artistik. Tembok-tembok yang dulu kusam kini dipenuhi mural. Lapangan dan lahan kosong yang tidak terpakai diubah menjadi panggung dan gazebo.
Sandrina berharap kegiatan wisata di Kampung Kreatif Dago Pojok hidup kembali. Sebab, sejak pandemi merebak, penghasilan warga setempat turun karena langkanya wisatawan. “Semoga kampung kreatif bisa ramai lagi.”
PITO AGUSTIN RUDIANA (Yogyakarta) | GANGSAR PARIKESIT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo