Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebagian Besar Jawa Rawan Perdagangan Anak

KPAI menilai DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Sumatera Utara sebagai wilayah rawan perdagangan anak. Penegak hukum jarang menyentuh pemodal kejahatan seksual ini.

25 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPAI menyebutkan lima daerah paling rawan kasus perdagangan anak.

  • Media sosial ikut mendorong tingginya angka perdagangan anak.

  • Perekrut menggali informasi calon korban lewat media sosial.

JAKARTA — Kasus perdagangan anak semakin marak. Sejumlah daerah dianggap sebagai titik rawan akibat banyaknya kasus perdagangan anak yang dilaporkan setiap tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan lima daerah yang paling banyak melaporkan kasus perdagangan anak, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, dan Sumatera Utara. Pada 2021, terdapat 13 laporan kasus di Ibu Kota, lalu delapan kasus di Jawa Barat, enam di Jawa Timur, empat di Banten, dan empat di Sumatera Utara. Sisanya, tersebar di provinsi lain dan sebagian laporan tidak menyebutkan lokasi kejadian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua KPAI, Susanto, menyatakan tingginya angka perdagangan anak tak lepas dari dampak negatif Internet. Dengan literasi media sosial korban yang rendah di Instagram, TikTok, Facebook, ataupun Twitter, pelaku bisa melintasi batas geografis. "Pelaku di mana, korban di mana," kata dia kepada Tempo, kemarin.
 
Faktor pendorong lainnya adalah lemahnya pengasuhan orang tua dan keterbatasan peran lingkungan sosial. "Hal lain merupakan faktor kerentanan ekonomi keluarga," ujar Susanto.

Kabid Humas Polda Banten Ajun Komisaris Besar Shinto Silitonga (kiri) memeriksa tersangka kasus perdagangan orang berinisial AW dan RA saat konferensi pers di Mapolda Banten, Serang, 3 Desember 2021. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

Pada 2021, KPAI menerima 147 pengaduan perdagangan dan eksploitasi anak. Angka itu berkurang dua kasus dibanding pada tahun sebelumnya. Meski frekuensi laporan sedikit menurun, komisioner Ai Maryati Solihah menyatakan bukan berarti kejadian perdagangan anak mereda karena jauh lebih banyak kejadian yang tidak dilaporkan.

Ai mengatakan pola perdagangan anak yang marak terjadi saat ini bukan lagi berupa pelaku menjual anak untuk mendapat satu keuntungan. Namun para pelaku menikmati keuntungan berulang dengan mengeksploitasi anak secara seksual. Modusnya, pelaku merekrut korban dengan iming-iming uang hingga fasilitas. "Mereka bahkan mendatangkan dari luar kota," kata dia.

Data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menunjukkan terdapat 252 kasus perdagangan orang yang mendapat pendampingan sepanjang tahun lalu. Sebanyak 39 korban adalah anak perempuan dan 129 perempuan dewasa. Sisanya laki-laki dewasa.

Sekretaris Jenderal LPSK, Noor Sidharta, menunjuk ekonomi sebagai faktor utama penyulut kasus perdagangan orang. Pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan hampir semua lini perekonomian, dia melanjutkan, membuat pelaku semakin mudah mencari korban. “Jumlahnya pengajuan laporan memang menurun, tapi kasusnya meningkat secara kualitas dan kuantitas,” kata Noor Sidharta.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan kasus perdagangan orang merupakan fenomena gunung es. Jumlah kejadian jauh lebih banyak daripada kasus yang dilaporkan ke polisi. Pada 2021, data Kementerian menunjukkan ada 617 kasus perdagangan orang atau naik dari 425 kasus pada tahun sebelumnya serta 222 kasus pada 2019.

Baru-baru ini, kasus perdagangan anak terungkap di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kepolisian menangkap seorang pedofil berusia 52 tahun, Sudin. Dia membayar orang untuk mengelabui anak perempuan berusia 13-15 tahun dari Jambi dan daerah lainnya untuk dibawa ke Jakarta. Di Jakarta, tepatnya di Kelapa Gading, para korban dieksploitasi secara seksual, lalu dibayar Rp 1,5-6 juta sebelum dipulangkan dengan bus ke daerah masing-masing. Jumlah korban diperkirakan lebih dari 30 anak.

Kepolisian menangkap Sudin pada Desember lalu. Dua kaki tangan Sudin juga ditangkap, yakni PIS dan ARS, yang ternyata juga pernah menjadi korban pelaku pedofilia. Keduanya mendapat Rp 1-2 juta untuk setiap anak yang dikirim ke Jakarta.

Pada bulan yang sama, kepolisian menangkap tiga orang yang terlibat dalam perdagangan anak perempuan berusia 14 tahun di Bandung. Korban mengenal tersangka lewat media sosial dan diiming-imingi telepon seluler serta pakaian. Saat bertemu, korban dijual untuk melayani tamu yang dijaring melalui aplikasi pesan singkat. Dalam sehari, korban melayani dua hingga tiga lelaki cabul dengan tarif Rp 150-400 ribu.

Program Manager End Child Prostitution, Child Pornography, & Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT), Andy Ardian, mengatakan pencarian korban perdagangan anak bisa lewat teman sebaya di sekolah, teman bermain di sekitar tempat tinggal, maupun di media sosial. Cara terakhir, dia melanjutkan, sangat efektif bagi pelaku dan sindikatnya karena mereka bisa melihat kerentanan para calon korban. Para pelaku menjadikan informasi di media sosial itu sebagai celah masuk untuk meluncurkan bujuk rayu.

Dengan cara itu, Andy melanjutkan, para pelaku membangun jaringan "pasokan" yang berkelanjutan karena anak-anak yang dilibatkan akan mengajak temannya yang juga memiliki kerentanan yang sama. Pola ini membentuk sistem yang membuat pelaku lebih aman karena ada komunitas korban saling melindungi dan menguntungkan satu sama lain. 

Andy mengatakan kasus perdagangan anak terus bermunculan karena tidak adanya upaya memutus permintaan. Semestinya, permintaan bisa ditekan dengan menyeret semua pelaku ke depan hukum. Dari muncikari, agen, perekrut, hingga konsumen. "Sejauh ini pengungkapan kasus masih pada tingkat agen, perekrut, atau germo, tapi pelaku sebenarnya, pemodal, atau orang yang memesan anak, tidak terungkap," kata dia.

MAYA AYU PUSPITASARI | INDRI MAULIDAR
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus