Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bermodal Kolaborasi dan Beasiswa

Lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan Indonesia berhasil memproduksi sejumlah produk inovasi strategis. Pengembangan dan komersialisasi bisa dipercepat lewat kolaborasi lembaga riset dan industri.

8 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Para peneliti dan perekayasa dari sejumlah lembaga riset nasional menelurkan sejumlah produk inovasi strategis.

  • Proyek pesawat Sistem deteksi untuk mitigasi bencana, proyek pesawat N219 tipe amfibi dan radiofarmaka baru menjadi bagian dari daftar prioritas riset nasional selama lima tahun ke depan.

  • Kerja sama antarlembaga riset membuat penelitian dan pengembangan inovasi menjadi lebih efektif.

KABEL optik bawah laut sepanjang tujuh kilometer terentang dari Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, mengarah ke Samudra Hindia. Dipasang oleh tim dari Kapal Riset Baruna Jaya III milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada Sabtu, 25 Juli lalu, sensor tsunami berbasis kabel atau Cable Based Tsunameter (CBT) itu menambah komponen sistem peringatan dini tsunami Indonesia (Ina TEWS). Sistem yang terkoneksi dengan jaringan informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika itu dirancang untuk mendeteksi tsunami di segmen megathrust Mentawai-Siberut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim perekayasa memanfaatkan metode baru berupa kombinasi antara CBT dan sensor nirkabel di bawah laut untuk membangun teknologi sistem komunikasi mendeteksi dini gempa bumi dan tsunami. Pengembangan teknologi ini merupakan hasil kolaborasi BPPT dengan Pittsburgh University dan Woods Hole Oceanographic Institution dari Amerika Serikat serta Institut Teknologi Bandung dan Universitas Andalas, Padang. “Keberhasilan metode ini menjadi kontribusi besar bagi penguatan Ina TEWS dan dunia riset Indonesia, bahkan bisa dipakai secara global,” kata Kepala BPPT Hammam Riza.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BPPT sebelumnya memasang CBT di Pulau Sertung yang berdekatan dengan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, juga di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai. Tahun lalu, BPPT memasang empat sensor pelampung (buoy) tsunami untuk memperkuat sistem Ina TEWS. Alat-alat itu dipasang di lokasi yang berpotensi mengalami gempa dan tsunami, seperti perairan selatan Kuta, Bali; selatan Malang, Jawa Timur; selatan Cilacap, Jawa Tengah; dan Selat Sunda.

Pengembangan sistem pendeteksi gempa dan tsunami itu menjadi salah satu cermin kolaborasi para peneliti dan perekayasa Indonesia dalam mitigasi bencana alam. Indonesia pernah memiliki jaringan buoy di laut setelah gempa dan tsunami menghancurkan Aceh pada 2004. Pengembangan dan perawatan alat-alat tersebut mandek sejak 2013 karena anggaran yang terbatas. Jaringan sensor tsunami kian berantakan setelah komponen buoy lenyap dicuri.

Sektor mitigasi bencana menjadi salah satu program prioritas riset nasional. Hal ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 38 Tahun 2019 tentang Prioritas Riset Nasional Tahun 2020-2024. Aturan itu memuat sembilan fokus riset, yakni pangan, energi, kesehatan, transportasi, rekayasa keteknikan, pertahanan, maritim, humaniora dan seni-budaya, serta lintas sektoral. “Pengembangan sistem deteksi awal Ina TEWS ini menjadi salah satu program besar BPPT,” ucap Sekretaris Utama BPPT Dadan M. Nurjaman.

Keberhasilan kolaborasi sejumlah lembaga riset dan industri juga ditunjukkan dalam pengembangan pesawat udara nirawak tipe medium-altitude long-endurance (PUNA MALE). Dirancang bersama perekayasa dari sejumlah lembaga riset dan kementerian sejak 2016, wahana pemantau dari udara yang dijuluki Elang Hitam itu juga bisa dimodifikasi menjadi versi tempur yang dijadikan prioritas riset BPPT dalam lima tahun. “Tidak optimal jika semuanya dikerjakan BPPT,” tutur Dadan.

Hammam mengatakan kesuksesan mewujudkan riset menjadi produk yang bisa dipakai, bahkan dikomersialkan, tercapai karena ada kekuatan ekosistem inovasi teknologi. Kombinasi sumber daya manusia, fasilitas, dan anggaran dari sejumlah lembaga riset bahkan membuat Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 yang diikuti BPPT dan belasan lembaga riset serta perguruan tinggi bisa menghasilkan berbagai produk kesehatan, antara lain ventilator, peralatan tes cepat (rapid test kit), dan calon vaksin, dalam waktu sekitar tiga bulan. “Kalau dilakukan sendiri-sendiri, bisa sampai dua tahun baru selesai,” ucapnya.

Selain BPPT, badan riset utama pemerintah seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), serta Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) menjadi tulang punggung ekosistem inovasi teknologi Indonesia. Mereka memiliki sejumlah program andalan (flagship). Meski demikian, menurut Dadan, kolaborasi lembaga riset dengan industri, akademikus, dan pemerintah membuat proses penelitian dan pengembangan inovasi lebih efektif. “Proses untuk komersialisasi bisa dipercepat,” ujarnya.

Peran riset makin besar setelah Presiden Joko Widodo meneken Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada Agustus tahun lalu. Wet itu juga memperkuat rencana kolaborasi penelitian antarlembaga dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional. Menurut Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Agus Haryono, hasil riset seharusnya menjadi landasan rumusan kebijakan dan pembangunan nasional. “Merujuk undang-undang itu, negara akan berpihak pada ilmu pengetahuan dan teknologi,” katanya.

Pegawai berkumpul di dekat Pesawat N219 di landasan PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat, Februari 2018. Tempo/Prima Mulia

Proyek besar lain yang tercantum sebagai prioritas riset nasional 2020-2024 adalah pesawat ringan bermesin baling-baling ganda N219 versi amfibi. Ini adalah pengembangan dari N219 hasil riset kolaborasi Lapan dan PT Dirgantara Indonesia (DI) yang dikembangkan sejak 2009. Pesawat berkapasitas 19 penumpang itu pertama kali mengudara dari landasan pacu Bandar Udara Husein Sastranegara, Bandung, pada 2017.

Pesawat yang juga bisa dimodifikasi sesuai dengan keperluan angkutan sipil, medis, atau militer tersebut ditargetkan mendapatkan sertifikat laik terbang akhir tahun ini. “Selanjutnya, PT DI memulai proses produksinya,” tutur Kepala Lapan Thomas Djamaluddin lewat pesan WhatsApp pada Rabu, 5 Agustus lalu.

Djamaluddin mengatakan N219 versi amfibi dikembangkan bersama BPPT dan PT DI. Pesawat ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan transportasi antarpulau yang tidak memiliki landasan pacu di darat. “Pengembangan versi amfibi (N219 A) ditargetkan selesai 2023,” ucapnya.

Banyak program riset Lapan, menurut Djamaluddin, masih terganjal masalah terbatasnya sumber daya manusia dan anggaran. Untuk membenahi mutu riset, para perekayasa Lapan mengambil beasiswa studi dengan program utama mencakup satelit mikro, pesawat angkut dan nirawak, dan sistem pengindraan jauh dalam lima tahun terakhir. Adapun untuk anggaran Lapan, minimal diperlukan dana Rp 1,3 triliun. Sedangkan saat ini rata-rata anggaran Lapan berkisar Rp 800 miliar. “Riset penerbangan dan antariksa tergolong teknologi tinggi, mahal, dan berisiko tinggi,” ujarnya.

Djamaluddin mengungkapkan, tidak mudah meyakinkan industri untuk menjalin kemitraan guna membangun ekosistem industri penerbangan dan antariksa. Perjalanan hasil riset untuk diproduksi, apalagi masuk ke kebijakan negara, juga memerlukan waktu lama karena harus ada bukti keandalan dan potensi pasar. “Peneliti hanya merumuskan rancangan kebijakan berdasarkan data riset,” katanya.

Batan juga mendorong para peneliti mudanya bersekolah untuk mempercepat transfer pengetahuan. Separuh dari sekitar 2.300 pegawai Batan saat ini adalah peneliti dan perekayasa. Batan juga menghadapi krisis hilangnya potensi kompetensi penting di bidang nuklir mengingat jumlah pegawai berusia di atas 50 tahun jauh lebih banyak. “Program sekolah dikoordinasi LIPI untuk S-2 dan S-3 dengan model tetap bekerja tapi bisa melakukan riset. Kami tidak kehilangan pegawai,” tutur Kepala Batan Anhar Riza Antariksawan.

Anhar menjelaskan, Batan memasukkan riset radiofarmaka—material radioaktif untuk keperluan medis—sebagai salah satu prioritas selain terus menyiapkan penelitian infrastruktur pembangkit listrik tenaga nuklir. Selama lima tahun ke depan, akan ada lima radioisotop yang diuji untuk mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. “Sebelumnya kami ada enam radioisotop yang memiliki izin edar dan dipakai,” ujarnya.

Salah satu radiofarmaka produksi Batan adalah Samarium-153. Senyawa radioaktif ini dipakai dalam terapi pasien kanker stadium tinggi di sejumlah rumah sakit, terutama Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi, Semarang. Anhar mengatakan Batan memiliki kemampuan memproduksi radiofarmaka. Namun proses produksi setelah inovasi itu lulus pengujian dan mendapat izin edar diserahkan kepada industri farmasi, seperti Kimia Farma. Pemakaian di rumah sakit pun diawasi para spesialis kedokteran nuklir. “Tetap perlu kerja sama dengan pihak ketiga, bukan Batan yang kerja sendiri,” ucap Anhar.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus