Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banyak sawah di beberapa daerah di Jawa mengalami gagal panen karena kesulitan air dan serangan hama.
Serangan penyakit pada tanaman hortikultura meningkat karena adanya fenomena iklim El Nino.
Pemerintah diminta memitigasi dampak perubahan iklim pada sektor pertanian.
HAMPARAN sawah berwarna cokelat menjadi pemandangan di kiri dan kanan Jalan Telagasari-Terisi, Indramayu, Jawa Barat. Warna hijau hanya terlihat dari rumput liar yang tumbuh di lahan sawah mengering. Jalan itu mengantarkan Tempo ke Desa Puntang, Kecamatan Losarang. Di sana, sebagian petani dari Kelompok Tani Kampung Darim Indramayu bermukim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruskiyah, Ketua Kelompok Tani Kampung Darim, mengatakan lahan kering menjadi pemandangan lazim di Kecamatan Losarang pada musim tanam kedua padi tahun ini. Cuaca panas ekstrem dan kemarau berkepanjangan sebagai dampak El Nino sejak pertengahan tahun mengganggu pertumbuhan padi yang ditanam para petani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kelompok saya, sawah seluas 130 hektare, tidak ada yang panen," ujarnya saat ditemui Tempo di kediamannya di Indramayu, Sabtu, 25 November lalu. Padahal, untuk menanam padi di musim tanam kedua lalu, modal yang dikeluarkan para petani tidak sedikit. Biayanya bervariasi, dari Rp 25 juta hingga Rp 100 juta, tergantung luas garapannya.
Rus—begitu Ruskiyah kerap disapa—setidaknya mengeluarkan duit hingga Rp 30 juta untuk menggarap lahannya yang seluas 2 hektare. Modal tanam itu ia peroleh dari pinjaman bank. Kini, pria 52 tahun itu pusing tujuh keliling. Gagal panen membuat ia kesulitan membayar utangnya.
Kepusingan itu pun bertambah apabila mengingat musim tanam pertama 2024 segera dimulai. Sementara itu, ia belum punya modal. "Minjam ke bank tidak bisa karena masih berutang. Nanti cari-cari saja-lah siapa yang mau modalin," ujar bapak dua anak ini.
Petani yang juga Ketua Kelompok Tani Kampung Darim, Ruskiyah berada di sawahnya yang gagal panen akibat kemarau panjang di Kampung Darim, Losarang, Indramayu, Jawa Barat, 25 November 2023. Foto: TEMPO/M Taufan Rengganis
Kesulitan air menjadi biang kerok kesusahan petani di Indramayu pada musim tanam kedua tahun ini. Persoalan makin pelik dengan meledaknya jumlah hama yang menyerang sawah. Dari hama ulat hingga tikus. Kondisi itu membuat biaya tanam kian membengkak. Selain untuk penyediaan air, kenaikan biaya berasal dari pupuk, perangkap hama, serta pestisida.
Sebagai gambaran, para petani Kampung Darim mengeluarkan modal sekitar Rp 4.500 untuk memproduksi satu kilogram padi pada musim tanam pertama tahun ini. Satu hektare sawah di sana dapat memproduksi 9-9,5 ton beras per musim. Jika produktivitasnya sama, pada musim tanam kedua modal yang dibutuhkan Rp 6.000-7.000 per kilogram padi.
Biasanya, para petani bisa memanfaatkan air dari Sungai Congger untuk mengairi sawah. Namun, pada musim kemarau kali ini, sungai yang menjadi andalan untuk mengairi 300 hektare sawah itu malah kering. Rus sudah mencoba menyedot air sungai menggunakan selang sepanjang 2 kilometer. Tapi hasilnya minim. Akibatnya, padi kekurangan air saat periode mulai tumbuh bulir dan pengisian bulir. Ditambah hama ulat, padi pun gagal tumbuh sebagaimana mestinya.
Lain dengan Rus, anggota Kelompok Tani Kampung Darim lainnya, Kasmad, justru memilih tidak menanam padi pada musim tanam kedua lalu. Sejak mendengar kabar adanya fenomena El Nino, ia mulai memperhitungkan modal yang perlu dikeluarkan dibanding risiko kegagalannya. Melihat kebutuhan ongkosnya, Kasmad pun jeri. Ia tak punya mesin penyedot air seperti Rus.
Petani yang tidak memiliki mesin sedot, kata Kasmad, perlu menyewa dengan tarif Rp 25 ribu per jam. Biasanya, perlu waktu sehari semalam untuk bisa mengairi seluruh area tanam. Pada masa tanam kali ini, air hanya bertahan tiga hari di lahan. Artinya, petani perlu menyewa mesin lagi untuk mengairi lahan. Itu tak termasuk biaya-biaya lainnya. "Setelah mikir-mikir, lebih baik saya tidak menanam," kata Kasmad. "Sekarang, untuk makan, saya pinjam beras ke paman atau saudara."
Tanaman padi mengalami gagal panen di lahan sawah yang mengering akibat kemarau panjang di Kampung Darim, Losarang, Indramayu, Jawa Barat, 25 November 2023. Foto: TEMPO/M Taufan Rengganis
Kondisi Irigasi Menjadi Kunci
Terpaut setidaknya 13 kilometer dari Desa Puntang, para petani di Desa Jumbleng menghadapi masalah berbeda. Mereka tak mengalami kekeringan. Masalahnya, air yang menggenang di sebagian sawah petani bukanlah air tawar, melainkan air payau dan air asin. Minimnya debit aliran air dari hulu membuat air laut yang pasang tidak tertahan untuk mengintrusi jaringan irigasi petani.
"Air tawar di sini mulai krisis, air asin masuk menembus pintu air dan tidak bisa keluar lagi karena tidak ada dorongan air dari hulu," ujar Jayanto, salah seorang petani Desa Jumbleng. Air asin masuk dan mengendap ke sawah-sawah setelah petani menyedot air dari jaringan irigasi.
Ketua RT 02 RW 03 Desa Jumbleng, Rusimin, mengatakan masalah air asin sudah bertahun-tahun terjadi di desanya. Namun, pada tahun ini, kemarau panjang memperparah kondisi tersebut lantaran membuat pasokan air tawar dari hulu semakin terbatas. Luasan sawah yang terkena air asin pun semakin banyak.
Sawah padi milik Rusimin ikut jadi korban. Tingkat kegagalan panen bisa mencapai 30 persen pada musim tanam kedua tahun ini. Lazimnya, satu hektare sawah yang ia garap bisa menghasilkan 7,5-8 ton beras. Pada semester kedua tahun ini, hasilnya hanya separuhnya. "Biasanya 105-115 hari sudah panen. Ini 130 hari belum panen. Dikasih pupuk apa pun enggak mempan karena akarnya terkena air laut."
Warga berada di Pintu Air Tambak Batu Desa Jangga, Losarang, Indramayu, Jawa Barat, 25 November 2023. TEMPO/M Taufan Rengganis
Untungnya, harga gabah di tingkat petani meroket pada paruh kedua tahun ini, menembus Rp 7.000-8.000 per kilogram. Kenaikan harga itu membuat Rusimin bisa balik modal meski mengalami kegagalan panen di sebagian lahan. "Harga mendingan, jadi menutup gagal panen dan kenaikan biaya akibat jorjoran pupuk dan pestisida," katanya.
Nasib para petani di Kecamatan Losarang itu tampaknya berbeda dengan wilayah lainnya di Indramayu. Pada pertengahan Oktober lalu, Presiden Joko Widodo mengklaim produksi beras nasional masih baik meski kekeringan melanda akibat El Nino. Pernyataan itu disampaikan setelah ia meninjau panen di Kecamatan Sukra, Indramayu.
Kala itu, sawah di Kecamatan Sukra yang ditinjau Jokowi tersebut bisa memproduksi padi rata-rata 8,6 ton per hektare lantaran memiliki jaringan irigasi teknis yang baik. "Saya melihat ke bawah untuk memastikan produksi masih baik. Tapi memang turun karena Super El Nino, tapi masih baik," kata Jokowi.
Indramayu adalah salah satu lumbung beras utama di Jawa Barat. Pada 2022, Badan Pusat Statistik Jawa Barat mencatat produksi beras di Indramayu menjadi yang terbesar di provinsi, mencapai 1,48 juta ton. Pada tahun ini pun produksi beras di Kabupaten tersebut diproyeksikan masih sekitar 1,4 juta ton. "Saya enggak tahu itu datanya bagaimana, soalnya di kampung kami pada gagal panen," kata Ruskiyah.
Tanaman padi mengalami gagal panen di lahan sawah yang mengering akibat kemarau panjang di Kampung Darim, Losarang, Indramayu, Jawa Barat, 25 November 2023. TEMPO/M Taufan Rengganis
Penurunan Produksi Sudah Diprediksi
Gagal panen menjadi momok yang dikhawatirkan para pemangku kepentingan pertanian sejak jauh-jauh hari. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pada Juli lalu, telah mewanti-wanti adanya ancaman gagal panen pada lahan pertanian tadah hujan sebagai imbas fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif yang menyebabkan kekeringan.
Musim kering mulanya diperkirakan mencapai puncaknya pada September-Oktober 2023. Belakangan, BMKG memprediksi El Nino bertahan sampai Februari hingga Maret 2024 pada level moderat. Namun lembaga tersebut melihat pada akhir Oktober hujan akan turun secara bertahap di beberapa wilayah.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa sempat menghitung potensi penurunan produksi gabah mencapai 5-10 persen akibat kekeringan dan ledakan hama pada musim kemarau. Hitungan serupa muncul dari Aliansi Petani Indonesia dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan. Secara agregat, produksi gabah akan turun setidaknya 5 persen akibat masalah iklim dan hama.
Namun pemerintah punya hitungan berbeda. Data Kerangka Sampel Area (KSA) Badan Pusat Statistik amatan Oktober 2023 yang diolah Badan Pangan Nasional pada akhir November menunjukkan produksi beras nasional diperkirakan hanya turun 720 ribu ton atau sekitar 2,3 persen dibanding pada tahun lalu. Pada 2022, produksi beras nasional mencapai 31,54 juta ton. Sementara itu, pada tahun ini, produksi diperkirakan menyusut menjadi 30,82 juta ton.
Toh, meskipun ada perbedaan data dan hitung-hitungan, menyusutnya produksi telah mengerek harga gabah secara signifikan. Akibatnya, harga beras di tingkat konsumen pun melejit melampaui harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah.
Panel harga Badan Pangan Nasional menunjukkan harga rata-rata beras medium pada Desember 2023 mencapai Rp 13.140 per kilogram, jauh lebih tinggi dari periode yang sama pada tahun lalu yang sebesar Rp 11.340 per kilogram. Begitu pun harga beras premium yang naik drastis, dari Rp 12.910 per kilogram pada Desember tahun lalu menjadi Rp 14.980 per kilogram pada tahun ini.
Beras pun masih menjadi pendorong utama inflasi harga pangan bergejolak. Pada November, inflasi pangan mencapai 7,59 persen secara tahunan. Tekanan inflasi pangan itu membuat laju inflasi umum meningkat dari 2,56 year-on-year pada Oktober menjadi 2,86 persen year-on-year pada November 2023.
Demi mengendalikan inflasi, pemerintah pun terus mengimpor beras untuk mengisi cadangan beras pemerintah di gudang Perum Badan Urusan Logistik (Bulog). Total, pemerintah menugasi Bulog untuk mengimpor 3,5 juta ton beras pada tahun ini—diperkirakan tidak terealisasi semua. Pemerintah juga mengalokasikan kuota impor 2 juta ton beras untuk tahun depan.
Bapanas mencatat realisasi impor beras Bulog pada tahun ini baru mencapai 2,56 juta ton, termasuk carry over penugasan tahun lalu. Kini total pasokan beras cadangan pemerintah yang dikuasai Bulog mencapai 1,54 juta ton. Perusahaan pelat merah itu pada tahun ini ditugasi menyalurkan bantuan pangan beras pada Maret hingga Mei serta September hingga Desember. Tahun depan, bantuan beras 10 kilogram untuk 21,3 keluarga penerima manfaat rencananya disalurkan hingga Juni 2024. Selain bantuan pangan, cadangan beras pemerintah disalurkan untuk operasi pasar.
Petani saat memanen bawang merah di Desa Sidamulya, Wanasari, Brebes, Jawa Tengah, 26 November 2023. Foto: TEMPO/M Taufan Rengganis
Turut Mengganggu Tanaman Hortikultura
Tak hanya beras yang mengalami gangguan produksi akibat El Nino. Sejumlah komoditas hortikultura, seperti cabai dan bawang merah, juga ikut terkena dampak. Pantauan Tempo di Kabupaten Brebes dan Tegal, Jawa Tengah, sejumlah sawah bawang merah di beberapa kecamatan di Brebes mengalami penurunan produksi lantaran serangan penyakit yang disebut "janda pirang".
Penyakit itu membuat tanaman bawang menguning dan tidak bisa tumbuh optimal. Tanaman bawang yang terserang penyakit pada usia muda bahkan tidak menghasilkan umbi. Sementara itu, beberapa kebun tanaman cabai mengalami serangan penyakit kuning.
Serangan penyakit pada tanaman bawang merah merebak pada musim tanam kedua pada September hingga Oktober 2023. Asosiasi Bawang Merah Indonesia mengklaim penyakit itu hanya menyerang beberapa wilayah di Brebes dan tidak meluas di sentra bawang merah lainnya.
Masalahnya, Brebes adalah sentra bawang merah yang cukup besar. Pada periode panen kedua Oktober-November 2023, terjadi penurunan produksi nasional sekitar 20 persen. Panel harga Bapanas menunjukkan harga bawang merah mulai menanjak lagi pada Oktober hingga saat ini. Terakhir, harga komoditas itu sekitar Rp 29.470 per kilogram.
Tanaman cabai yang terkena virus kuning di lahan persawahan Desa Sokari, Bumijawa, Kabupaten Tegal, 27 November 2023. TEMPO/M Taufan Rengganis
Sementara itu, harga cabai merah juga terus menanjak. "Turunnya produksi tertutup oleh harga yang mencetak rekor," kata Hermanto, Ketua Kelompok Tani Desa Sokasari, Bumijawa, Tegal, pada pekan lalu. Sejak Juni lalu, Hermanto baru memanen 1,5 ton cabai dari lahannya yang seluas 1 hektare. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya ia bisa memanen hingga 4 ton. Kendati demikian, harga cabai merah keriting per kemarin mencapai Rp 69.370 per kilogram. Kenaikan harga tersebut hampir dua kali lipat dibanding harga pada tahun lalu yang hanya Rp 35.750 per kilogram.
Pakar dari Klinik Tanaman Institut Pertanian Bogor Bonjok Istiadi mengatakan meningkatnya serangan hama dan penyakit pada tanaman sangat berkaitan dengan El Nino. Kenaikan suhu dan kekeringan pada sawah ataupun ladang akibat fenomena iklim itu, kata dia, membuat populasi vektor penular penyakit meningkat. Beberapa di antaranya, Iris Yellow Spot Virus dan Thrips pada bawang merah serta kutu kebul pada cabai.
Peneliti pertanian dari Center of Reform on Economics Indonesia Eliza Mardian mengatakan adanya berbagai masalah pada musim kemarau panjang tahun ini menunjukkan masih kurangnya mitigasi dan dukungan pemerintah terhadap para petani. "Sosialisasi ke petani serta penelitian dan pengembangan di tingkat pemerintah masih sangat kurang," katanya.
Eliza mengatakan, terlepas adanya masa El Nino, sektor pertanian dunia saat ini dihadapkan pada krisis iklim yang bisa mengganggu tanaman. Janda pirang, misalnya, baru muncul kali ini, ketika kemarau panjang melanda. Tak hanya penyakit, perubahan iklim juga bisa mempengaruhi pola cuaca, seperti peningkatan suhu, perubahan pola curah hujan, serta peningkatan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem.
Perubahan-perubahan tersebut, selain membuat penyakit dan hama berkembang serta menyebar dengan semakin cepat, dapat membuat tanaman stres sehingga rentan diserang penyakit. Eliza menyarankan pemerintah segera memitigasi berbagai tantangan tersebut. Caranya dengan aktif melakukan penelitian dan sosialisasi kepada petani untuk bisa memetakan dan merancang solusi atas berbagai kendala yang mungkin terjadi pada setiap musim tanam.
"Pemerintah harus siap menghadapi perubahan iklim, dimulai dari perencanaan program hingga penyusunan anggaran dan kolaborasi antar-pemangku kepentingan untuk memitigasi dampak perubahan iklim," kata Eliza.
Laporan khusus "El Nino: Cerita Dampak dari Tapak" ini merupakan hasil kolaborasi pendanaan peliputan Koran Tempo, Tempo Institute, dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo