Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembahasan RUU Kesehatan terkesan terburu-buru dan minim partisipasi publik.
Pengesahan RUU Kesehatan ini berdampak secara signifikan, khususnya pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas.
Pemerintah menilai pengesahan RUU Kesehatan ini menjadi salah satu langkah terciptanya transformasi kesehatan.
JAKARTA – Nur Syarif Ramadhan benar-benar kecewa atas sikap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah. Ketua Eksekutif Forum Masyarakat untuk Indonesia Inklusif (Formasi) Disabilitas itu tak habis pikir dengan sikap DPR dan pemerintah yang berkukuh mengetok palu mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna. “Padahal, di luar sana, rekan-rekan dari organisasi profesi menggelar demo menolak pengesahan RUU Kesehatan,” kata Syarif kepada Tempo pada Selasa, 11 Juli 2023. “Bagi penyandang disabilitas, ini akan membuat mereka semakin terabaikan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syarif yang sejak awal meninjau agenda rapat paripurna melalui siaran langsung di kanal YouTube DPR itu khawatir dengan tetap disahkannya RUU Kesehatan menjadi undang-undang. Sebab, menurut dia, sejumlah kalangan, khususnya organisasi profesi kesehatan, sejak awal menolak pembahasan RUU tersebut. Pembahasan RUU Kesehatan terkesan terburu-buru dan minim partisipasi publik. Menurut dia, pengesahan RUU Kesehatan menjadi mimpi buruk bukan hanya bagi organisasi profesi bidang kesehatan, tapi juga masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DPR mengetok palu sidang paripurna yang mengesahkan RUU Kesehatan menjadi undang-undang, kemarin. Rancangan undang-undang yang disusun secara omnibus ini berisi 456 pasal. Setelah disahkan, undang-undang ini mencabut sebelas undang-undang lainnya, antara lain UU Ordonansi Obat Keras, UU Wabah Penyakit Menular, UU Praktik Kedokteran, dan UU Kesehatan. Lalu UU Rumah Sakit, UU Pendidikan Kedokteran, UU Kesehatan Jiwa, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Kebidanan.
Aktivitas di sebuah rumah sakit di Bandung, Jawa Barat, 19 Oktober 2022. TEMPO/Prima Mulia
Syarif melanjutkan, pengesahan RUU Kesehatan ini berdampak secara signifikan, khususnya pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas. Menurut dia, selain berpotensi memperburuk layanan, pengesahan RUU ini menjadi preseden buruk bagi Indonesia yang sebelumnya telah meneken konvensi internasional hak penyandang disabilitas. “Di dalam konvensi disebutkan bahwa negara diwajibkan memberikan layanan kesehatan yang inklusif,” ujar dia. “Dengan pengesahan ini, jelas menandakan kemunduran oleh negara memenuhi hak bagi penyandang disabilitas.”
Indonesia menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities atau Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas pada 30 Maret 2007 di New York, Amerika Serikat. Pengesahan terhadap konvensi itu dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas. Pemerintah juga telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam undang-undang itu, hak kesejahteraan sosial untuk penyandang disabilitas meliputi hak rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan pelindungan sosial.
Baca: Perlawanan Sebelum RUU Kesehatan Disahkan
Formasi Disabilitas sebelumnya telah beberapa kali menyampaikan aspirasinya kepada DPR dan Kementerian Kesehatan untuk memasukkan isu pemenuhan hak penyandang disabilitas ke dalam RUU Kesehatan. Namun, kata Syarif, sampai pengesahan RUU tersebut menjadi undang-undang, aspirasi yang disampaikannya mengenai penyandang disabilitas tidak pernah diakomodasi kalangan Dewan dan Istana. “Keterlibatan penyandang disabilitas, orang tua penyandang disabilitas, dan pemerhati isu disabilitas relatif rendah dalam pembahasan perumusan RUU ini,” ujarnya.
Koordinator Wahana Keluarga Cerebral Palsy, Reny Indrawati, juga menilai, selama pembahasan RUU Kesehatan hingga disahkan, DPR dan pemerintah sama sekali tidak mengkaji perumusan regulasi ini dengan menerapkan kesehatan mental (guidance on mental health) serta legislasi hak asasi manusia (human rights and legislation) yang dibuat oleh United Nations High Commisioner for Human Rights dan World Health Organization. “RUU ini seakan-akan dibuat serampangan tanpa memikirkan aspek masyarakat. Dampaknya adalah pelayanan, terutama kami, orang tua yang memiliki anak penyandang cerebral palsy,” kata Reny.
Dalam rapat raripurna DPR ke-29 masa sidang V 2022-2023, Ketua DPR Puan Maharani, yang didampingi Wakil Ketua DPR dari Partai Golkar, Friedrich Lodewijk Paulus; dan Wakil Ketua DPR dari Partai NasDem, Rachmat Gobel, mengetok palu mengesahkan RUU Kesehatan menjadi undang-undang. Dua fraksi DPR, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menolak pengesahan RUU tersebut.
Anggota Komisi IX Bidang Kesehatan DPR dari Partai Demokrat, Dede Yusuf Macan Effendi, mengatakan partainya menolak pengesahan RUU Kesehatan karena beberapa hal. Menurut dia, dihapuskannya mandatory spending sebesar 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi faktor pertama Demokrat menolak pengesahan ini. “Ini menunjukkan kurangnya komitmen negara dalam menyiapkan pelayanan kesehatan yang layak, merata, dan berkeadilan bagi masyarakat,” kata Dede.
Mandatory spending adalah anggaran negara yang diatur oleh undang-undang. Tujuan mandatory spending adalah mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah. Menurut Dede, besaran mandatory spending seharusnya ditingkatkan oleh DPR dan Kementerian Kesehatan. Sebab, besarnya anggaran penting untuk mewujudkan tercapainya pelayanan kesehatan masyarakat. Anggaran kesehatan juga bertujuan mencapai indeks pembangunan manusia (IPM) sesuai dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024. “IPM kita ini masih di urutan ke-130 dari 199 negara,” ucapnya.
Demokrat juga mempersoalkan mudahnya dokter asing berpraktik di Indonesia. Dede menilai pengesahan ini terindikasi sebagai upaya liberalisasi tenaga kesehatan dan tenaga medis asing. Dia menilai pengesahan RUU ini tak lebih dari upaya menggalakkan investasi hanya demi kepentingan ekonomi. “Jika Undang-Undang Kesehatan berfokus pada orientasi investasi, tentulah bukan hal yang baik.”
Seorang dokter bersiap menangani pasien di Rumah Sakit Darurat (RSD) Covid-19 Wisma Atlet Jakarta, 15 Mei 2020. Dok. TEMPO/Nurdiansah
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani, juga menyatakan tidak dimasukkannya mandatory spending merupakan kemunduran bagi upaya negara menjaga kesehatan masyarakat. Mandatory spending, kata dia, menjadi bagian terpenting RUU Kesehatan. Sebab, semua hal yang dituliskan dalam RUU Kesehatan sangat bergantung pada ketersediaan dana untuk pelaksanaannya. Apalagi, kata dia, Indonesia mengalami kendala dalam kemandirian farmasi dan alat kesehatan. “Masalah pemerataan distribusi tenaga medis dan kesehatan akan sulit terjamin jika mandatory spending ditiadakan,” ujar Netty.
PKS juga menolak RUU Kesehatan karena proses penyusunan dan pembahasannya cenderung cepat. Padahal RUU ini merupakan omnibus yang mengkompilasi sejumlah undang-undang. Menurut Netty, perlu waktu lebih panjang agar pembahasan dapat dilakukan secara mendalam dengan mendengarkan semua masukan mereka yang berkepentingan terhadap regulasi kesehatan. “Kami menginginkan terwujudnya ‘Kerja Mudah, Sehat Murah’ bagi masyarakat Indonesia sehingga aturan yang dihadirkan harus berpihak kepada masyarakat dan bukan kepada para pemilik modal,” kata Netty.
Dalih Pemerintah
Menanggapi penolakan dua fraksi tersebut, Puan mengatakan pembahasan RUU Kesehatan dilakukan secara terbuka dan intensif dengan prinsip kehati-hatian. ”Selama pembahasan, DPR melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat,” ujarnya. Politikus PDI Perjuangan ini juga memastikan RUU Kesehatan yang disahkan menjadi undang-undang itu tidak akan menghilangkan hak-hak tenaga kesehatan. Pengesahan tersebut justru meningkatkan hak-hak tenaga medis dan tenaga kesehatan soal pemberian kesejahteraan dan pelindungan hukum. “Undang-Undang Kesehatan ini bertujuan memperkuat sistem kesehatan negara dan meningkatkan kualitas kesehatan, serta kesejahteraan masyarakat juga,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi Kesehatan DPR, Emanual Melkiades Laka Lena, menyebutkan, sebelum disahkan, pembahasan RUU Kesehatan dilakukan intensif dan komprehensif. Dia menjelaskan, RUU Kesehatan bertujuan memperkuat sistem kesehatan nasional melalui transformasi kesehatan secara menyeluruh. Tak hanya itu, Melki menyebutkan RUU ini bertujuan meningkatkan daya saing bangsa dalam sektor kesehatan di mata internasional.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan terdapat sejumlah aspek yang disempurnakan dalam Undang-Undang Kesehatan. Dia mencontohkan aspek pencegahan, kemudahan layanan kesehatan, kemandirian kesehatan, ketangguhan menghadapi bencana-wabah, transparansi dan efektivitas, serta integrasi.
Menteri Budi menilai pengesahan RUU Kesehatan ini menjadi salah satu langkah terciptanya transformasi kesehatan untuk membangun Indonesia yang tangguh, mandiri, dan inklusif. “Ini menjadi awal membangun kembali sistem kesehatan yang tangguh sampai ke pelosok negeri,” ujar Budi dalam keterangan pemerintah dalam rapat paripurna.
Baca: Data Rawan Tersebab RUU Kesehatan
Dugaan Pelanggaran Konstitusi
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, menduga pengesahan RUU Kesehatan melanggar konstitusi. Menurut dia, pembahasan RUU Kesehatan minim partisipasi publik dan cenderung terburu-buru dalam penyusunan serta pembahasan sehingga urgensi pengesahan ini dipertanyakan. “Pembahasan dan penyusunan RUU ini ditengarai cenderung diintervensi pemerintah. Ini berdampak pada menurunnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat,” kata Trubus.
Dia menjelaskan, Kementerian Kesehatan sebenarnya tidak memiliki “power” yang cukup apabila harus mengelola banyak tugas yang sebelumnya sudah dilakukan organisasi profesi kesehatan. Dia mencontohkan pengawasan terhadap dokter dan terbitnya surat tanda registrasi (STR). Dalam RUU Kesehatan yang baru, STR bagi tenaga kesehatan tidak perlu lagi diperbarui setiap lima tahun.
Trubus menilai Menteri Budi Gunadi dan jajarannya seharusnya menyadari kualitas sumber daya yang ada apabila berkukuh ingin mengelola persoalan kesehatan di Indonesia. “Soal surat tanda registrasi atau perizinan kan sudah domainnya organisasi profesi. Saya khawatir, kalau semua dipegang Kementerian Kesehatan, malah akan memunculkan malpraktik karena proses regenerasi tidak berjalan optimal,” ujarnya.
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Adib Khumaidi, mengatakan IDI dan sejumlah organisasi profesi kesehatan bakal mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi setelah DPR dan pemerintah mengesahkan RUU Kesehatan. Sebab, menurut Adib, proses penyusunan hingga pembahasan RUU sapu jagat tersebut dilakukan tidak sesuai dengan prosedur hukum. “Ini cacat hukum karena masih ada hal yang tidak memenuhi syarat tapi dipaksakan,” ujar Adib.
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo