Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Terkatung-katung Setelah BRIN Menutup Stasiun Observasi

Penutupan stasiun observasi antariksa dan atmosfer Watukosek, Pasuruan, membuat nasib awaknya tak menentu.

6 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Awak BPAA Pasuruan terkatung-katung setelah BRIN menutup stasiun observasi Watukosek.

  • Alat-alat pengamatan antariksa dan atmosfer BPAA Pasuruan terancam terbengkalai.

  • Komunitas astronomi amatir memprotes keputusan BRIN menutup BPAA Pasuruan.

SUDAH tiga hari Dian Yudha Risdianto “terkatung-katung” di Kawasan Kerja Bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Bersama sebagian bekas awak Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer (BPAA) Pasuruan, Dian hanya bisa melakukan studi literatur.

“Kami coba baca-baca jurnal atau menganalisis data yang ada di laptop. Mungkin bisa untuk laporan ilmiah, tapi entahlah,” kata Dian, Koordinator Pelaksana Fungsi pada BPAA Pasuruan, Jumat, 3 Februari 2023.

Dian dan awak BPAA Pasuruan tak bisa berbuat banyak. Terhitung sejak Selasa, 31 Januari lalu, BRIN menghentikan pengoperasian stasiun observasi yang dulu dioperasikan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) tersebut. Semua awaknya diminta memilih lokasi kerja BRIN terdekat.

Sebanyak 15 awak BPAA, terutama sembilan awak fungsional, hanya punya dua pilihan lokasi kerja baru, yakni coworking space BRIN di Kawasan Konservasi Ilmiah Kebun Raya Purwodadi atau di Kawasan Sains Said Djauharsjah Jenie, yang menempati kompleks Laboratorium Hidrodinamika eks Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Sukolilo, Surabaya. Dian termasuk yang untuk sementara ini memilih bekerja di Purwodadi—menjadikannya sebagai Koordinator Pelaksana Fungsi Laboratorium yang tak memiliki laboratorium. Sedangkan sebagian awak lainnya memilih bekerja di Surabaya.

Nasib mereka sama saja. Masalah terbesarnya, Dian dan awak BPAA Pasuruan sejatinya adalah para perekayasa, bukan peneliti. Selama ini, tugas mereka adalah merekam dan mengolah data menggunakan berbagai perangkat pengamatan. Data-data yang mereka hasilkan itulah yang kelak diperlukan para peneliti atau pemangku kepentingan lain yang membutuhkan gambaran tentang kondisi antariksa dan atmosfer.

Di coworking space BRIN Purwodadi, yang menempati bekas gedung milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di sebelah Kebun Raya Purwodadi, berbagai instrumen yang mereka butuhkan tak ada. Sedangkan peralatan di Laboratorium Hidrodinamika Surabaya jelas bukan perangkat yang biasa digunakan oleh para perekayasa atau teknisi alat pemantau antariksa dan atmosfer.

Semua alat yang mereka butuhkan untuk bekerja, seperti teleskop H-Alpha, teleskop Sunspot Sketch, serta Ozone Monitor seri 106-L, masih tertinggal di kompleks BPAA Pasuruan, Watukosek—sekitar 30 kilometer sisi utara Purwodadi. “Semua alat masih di sana. Katanya memang juga akan dipindahkan, tapi entah kapan dan di mana,” kata Dian. “Jadi, untuk sementara, yang penting kami kerjakan yang bisa dikerjakan.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengamatan ozon vertikal yang dilakukan oleh BPAA LAPAN Pasuruan, September 2021. Dok BPAA LAPAN Pasuruan

Alat-alat Observasi Terancam Terbengkalai

Kegundahan terbesar Dian saat ini adalah nasib data serta perangkat pengamatan yang terhenti dan teronggok di BPAA Pasuruan. Data hasil observasi stasiun pengamatan, seperti BPAA Pasuruan di Watukosek, dibutuhkan dalam penelitian, termasuk kegiatan mitigasi gangguan akibat fenomena di angkasa. Sedangkan alat-alat yang menyokong tugas para perekayasa di BPAA Pasuruan tersebut merupakan mata bagi kegiatan pengamatan antariksa dan atmosfer.

Karena itu, kegiatan utama harian di BPAA Pasuruan tak hanya diisi kegiatan akuisisi data antariksa, tapi juga pemeliharaan peralatan. “Saya tidak tahu nasib alat-alat itu sepekan terakhir bagaimana pemeliharaannya,” kata Dian.

Dian memastikan semua perangkat utama di BPAA Pasuruan tak hanya berfungsi, tapi juga mumpuni. Teleskop H-Alpha dan teleskop Sunspot Sketch di Laboratorium Matahari, misalnya, dioperasikan rutin saban hari untuk mengamati bintik matahari. BPAA Pasuruan merupakan satu-satunya stasiun pengamatan bintik matahari di Indonesia yang tergabung dalam Sunspot Index and Long-term Solar Observations, jaringan stasiun observasi bintik matahari di bawah supervisi sejumlah organisasi astronomi dunia.

BPAA Pasuruan juga dilengkapi dengan Environmental Particulate Air Monitor (EPAM) yang digunakan untuk mengukur kadar aerosol di udara. Ada juga perangkat Ozone Monitor seri 106-L yang berfungsi untuk merekam kadar ozon permukaan. Selain itu, stasiun observasi yang menempati area seluas 11,3 hektare tersebut menjadi lokasi pelepasan balon meteorologi untuk pengamatan ozon vertikal.

Kekhawatiran Dian terhadap nasib laboratoriumnya tak berlebihan. Sebelumnya, Koran Tempo melaporkan betapa proses transisi BRIN selama dua tahun terakhir disinyalir menyebabkan berbagai infrastruktur riset terbengkalai, seperti di Kebun Raya Bogor, Kebun Raya Cibodas, serta armada kapal riset Baruna Jaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BRIN dalam sepekan terakhir juga disorot lantaran audit yang tengah digelar Badan Pemeriksa Keuangan menemukan seabrek proyek riset nasional yang berpotensi mangkrak pada era BRIN. Proyek strategis pesawat udara nirawak tipe medium altitude long endurance (PUNA-MALE) kombatan mandek. Begitu pula program Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) yang dikembangkan BPPT terbengkalai.

Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, mengatakan penutupan BPAA Pasuruan merupakan program integrasi lembaganya bagi peneliti. Dia menilai kondisi kantor BPAA Pasuruan sangat kecil, disertai jumlah sumber daya manusia yang hanya segelintir. Kelak, kata Laksana, para periset akan diintegrasikan ke kawasan yang lebih besar, seperti di Bandung dan Timau, Nusa Tenggara Timur. “Demikian juga dengan alat-alatnya,” kata Laksana ketika dimintai konfirmasi, Kamis, 2 Februari lalu.

Kunjungan edukasi siswa tentang keantariksaan di BPAA LAPAN Pasuruan, November 2021. Dok BPAA LAPAN Pasuruan

Komunitas Astronom Amatir Protes Penutupan BPAA Pasuruan

Tak hanya awak BPAA Pasuruan yang terkatung-katung akibat penutupan stasiun observasi di Watukosek. Kegiatan edukasi masyarakat yang selama ini dilakoni BPAA Pasuruan pun praktis tak bisa dilanjutkan. Selama ini, kompleks pengamatan antariksa yang dulunya dikenal sebagai Balai Pengamatan Dirgantara Watukosek itu terbuka untuk kunjungan studi dari kampus ataupun komunitas peminat astronomi.

“Sesuai dengan Undang-Undang Keantariksaan, organisasi Lapan memang juga diamanatkan untuk menjalankan fungsi edukasi publik,” kata Dian Yudha Risdianto.

Sabtu malam lalu, 4 Februari, puluhan anggota Forum Komunikasi Astronom Amatir Lintas Jawa Timur (Fokalis Jatim) menggelar aksi solidaritas di depan gerbang BPAA Pasuruan. Mereka melakukan doa bersama sekaligus menyalakan lilin sebagai bentuk keprihatinan atas keputusan BRIN menutup stasiun observasi antariksa dan atmosfer tersebut.

Ketua Umum Fokalis Jatim, Muchammad Thoyib Achmad Salim, mengatakan komunitasnya telah menjalin kemitraan bersama BPAA Pasuruan sejak 2016. Anggota komunitas banyak mendapat pengetahuan baru dari para awak stasiun observasi tersebut, baik dalam forum-forum diskusi maupun studi lapangan.

Menurut Thoyib, BRIN semestinya mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk fungsi edukasi publik, sebelum menutup BPAA Pasuruan. Bagaimanapun, ia mengingatkan, balai-balai penelitian seperti BPAA Pasuruan telah ikut mendorong masyarakat umum untuk ikut melakukan kegiatan riset dan inovasi. Dia menilai keberadaan fasilitas pengamatan di Watukosek sebenarnya justru telah menjawab efisiensi kegiatan riset dan inovasi yang kerap didengungkan oleh BRIN. “Karena bagi kami yang dibutuhkan justru balai-balai yang berorientasi pada field of interest para pegiatnya,” kata Thoyib. “Seharusnya pengintegrasian oleh BRIN lebih cermat, mempertimbangkan berbagai perspektif, sehingga tidak justru menjadi bumerang bagi upaya pemajuan ilmu pengetahuan.”

ANDI ADAM FATURAHMAN | AGOENG WIJAYA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus