Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga minyak dunia sudah naik lebih dari 4 persen.
Kenaikan harga minyak akan berdampak pada tarif transportasi, energi, manufaktur, dan barang konsumsi.
Arus modal terus meninggalkan pasar keuangan Indonesia.
JAKARTA — Perekonomian dunia terguncang oleh meletusnya konflik antara Israel dan Palestina pada akhir pekan lalu. Dampak yang terlihat seketika adalah kenaikan harga minyak dunia sebesar 4 persen seiring dengan melemahnya stabilitas politik dan keamanan di kawasan Timur Tengah.
Pada perdagangan Senin lalu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik 4,34 persen ke posisi US$ 86,38 per barel. Sementara itu, harga minyak Brent naik 4,22 persen ke posisi US$ 88,15 per barel. Dalam perdagangan kemarin, WTI naik tipis menjadi US$ 86,43 per barel dan Brent menjadi US$ 88,17 per barel.
Direktur Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Jahen Fachrul Rezki, mengungkapkan, meski Israel dan Palestina bukan penghasil minyak dunia, konflik di Timur Tengah secara historis bakal menghasilkan kekhawatiran akan suplai minyak dunia, sehingga berimplikasi pada kenaikan harga.
“Kenaikan bisa lebih dari 4 persen dan tentunya akan berdampak pada second order effect, yaitu kenaikan tarif transportasi, energi, manufaktur, serta barang konsumsi,” ujarnya kepada Tempo, kemarin, 10 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Efek domino berikutnya adalah potensi disrupsi pada perdagangan dunia. Meski tidak terjadi kenaikan harga signifikan, terdapat kemungkinan bahwa konflik yang semakin besar akan membuat rantai pasok global terganggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga:
Waspada Dampak Harga Minyak Melonjak
Menunggu Koreksi Saham Energi
Bergantung pada Respons Dunia
Tentara Israel berjaga-jaga di Kibbutz Kfar Aza, Israel, 10 Oktober 2023. REUTERS/Ronen Zvulun
Menurut Jahen, dampak terhadap ekonomi dunia akan bergantung pada respons dunia terhadap perang tersebut. Kalau perang terisolasi di Israel dan Palestina, dampak ekonomi hanya akan dirasakan oleh kedua negara itu. "Tapi kalau sampai banyak negara yang ikut, akan menambah ketidakpastian ekonomi secara global.”
Adapun berdasarkan studi yang dilakukan lembaga riset asal Amerika Serikat, RAND Corporation, konflik kedua negara itu diprediksi menurunkan produk domestik bruto (PDB) masing-masing negara, yaitu 46 persen untuk Palestina dan 10 persen untuk Israel.
“Untuk Indonesia, yang perlu diperhatikan adalah harga minyak dunia. Sebab, sebelum perang saja kenaikan harganya sudah cukup tinggi dan akan memberikan beban bagi APBN, khususnya subsidi,” kata Jahen.
Subsidi Energi Akan Membengkak
Buku Nota Keuangan Beserta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023 menyebutkan, dalam setiap kenaikan harga minyak Indonesia (ICP) US$ 1 per barel, pemerintah berpotensi mengalami pembengkakan belanja sekitar Rp 9,2 triliun dan tambahan pendapatan sekitar Rp 3,3 triliun.
Konsekuensi itu harus ditanggung Indonesia sebagai net importir minyak. Hingga Juli 2023, pemerintah telah menggelontorkan subsidi energi yang meliputi subsidi listrik, LPG, dan BBM sebesar Rp 145,9 triliun.
Baca juga: Memilah Prioritas Belanja Negara
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengimbuhkan, dari sisi investasi, dampak langsung perang terhadap perekonomian Indonesia relatif sangat terbatas. Sebab, hubungan dagang dan investasi Indonesia minim dengan Israel ataupun Palestina.
“Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, konflik Israel dan Palestina memang akan mendorong risk off sentiment di pasar keuangan global serta biasanya bersifat temporer,” ucapnya.
Josua menyoroti dampak perang terhadap harga minyak dunia. Jika negara-negara Timur Tengah memutuskan turut serta dalam konflik ini, akan terjadi pemotongan produksi minyak global dalam rangka kebutuhan pembiayaan perang. Dampak inilah yang berpotensi mendisrupsi pasar keuangan, APBN, serta pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Hal ini diperparah oleh tren harga komoditas lainnya yang tidak ikut meningkat,” ujarnya.
Menaikkan Inflasi dan Suku Bunga
Unjuk rasa menuntut penghentian perang Palestina-Israel di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, 10 Oktober 2023. TEMPO/Febri Angga Palguna
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan konflik Israel dan Palestina semakin menambah periode ketidakpastian dalam berbagai aspek. Menurut dia, kenaikan harga minyak dunia berpotensi menaikkan inflasi di banyak negara, termasuk di Amerika Serikat.
Padahal inflasi merupakan salah satu pertimbangan utama bank sentral Amerika Serikat, The Fed, dalam mengeluarkan kebijakan suku bunga acuan. Dengan adanya periode ketidakpastian dari konflik Israel dan Palestina, bukan tidak mungkin kebijakan suku bunga acuan Amerika Serikat yang sudah ditetapkan sebelumnya akan berubah.
Kenaikan suku bunga The Fed bakal mendorong aliran modal keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Meski dampak konflik Israel dan Palestina terhadap perekonomian Indonesia saat ini cenderung terbatas, pengaruhnya masih perlu diwaspadai serta diukur lebih dalam. “Apalagi kita tidak tahu kapan ini selesai dan bagaimana kemudian konflik ini bisa melibatkan lebih banyak negara.”
Anomali Harga Minyak
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengungkapkan bahwa konflik yang memanas di kawasan Timur Tengah berpotensi mengerek harga minyak mentah sebesar US$ 90-92 per barel.
Adapun saat ini harga minyak rata-rata di pasar spot berada di kisaran US$ 83 per barel. “Meski naik, tetap belum mampu menandingi harga saat krisis minyak mentah pada 1973, yang kala itu menembus rekor kenaikan tertinggi hingga 450 persen,” ucapnya.
Faktor politik dan keamanan memang sering menjadi pemicu fluktuasi harga minyak dunia. Namun, kata Bhima, pasar minyak dalam beberapa waktu terakhir cenderung mengalami anomali pasokan dan permintaan sekaligus. Sejumlah faktor yang membuat harga minyak tidak seliar krisis 1973 adalah pelonggaran pembatasan ekspor minyak dari Rusia yang diperkirakan menambah pasokan minyak global.
Di sisi lain, masih ada ketidakjelasan rencana pemangkasan produksi minyak yang masih berada dalam agenda pembahasan pertemuan Arab Saudi dan Rusia pada November mendatang. Faktor berikutnya adalah penguatan dolar Amerika Serikat yang membuat produsen minyak khawatir negara importir akan mengurangi permintaan karena beban selisih kurs.
Kondisi tak menguntungkan lainnya adalah pelemahan ekonomi Cina sebagai negara konsumen energi terbesar. Industri di negara itu tidak melakukan aktivitas ekspansif sehingga mempengaruhi permintaan minyak global.
Kurs Rupiah Kian Tertekan
Adapun nilai tukar rupiah kian terpukul seiring dengan peningkatan tensi geopolitik global setelah meletusnya konflik Israel dan Palestina. Sebagaimana diketahui, pada pekan sebelumnya, rupiah sudah mengalami tekanan akibat kebijakan The Fed yang melanjutkan pengetatan moneter dan melempar sinyal kenaikan suku bunga lanjutan.
Kemarin, nilai tukar rupiah ditutup melemah 46 poin atau 0,3 persen ke level 15.738 per dolar Amerika Serikat di pasar spot dibanding hari sebelumnya 15.675 per dolar Amerika Serikat. Adapun pada kurs tengah Jakarta Interbank Dollar Spot Rate (JISDOR), rupiah ambles ke posisi 15.708 per dolar Amerika Serikat, melemah 33 poin.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, menuturkan penguatan dolar Amerika Serikat didukung oleh statusnya sebagai aset safe haven di tengah konflik Timur Tengah. Dia menganalisis bahwa pelaku pasar tengah bersiap terhadap kemungkinan perang akan berkepanjangan.
“Namun kenaikan dolar Amerika Serikat terbatas setelah beberapa pejabat The Fed mengindikasikan bahwa aksi jual obligasi baru-baru ini bisa mengurangi kebutuhan menaikkan suku bunga lebih lanjut,” ujar Ibrahim. Dia memperkirakan rupiah ke depan masih bergerak fluktuatif dengan kecenderungan melemah di rentang 15.720-15.770 per dolar Amerika Serikat.
Arus Modal Keluar
Dampak konflik secara langsung memicu investor melakukan pergeseran ke aset-aset yang dinilai lebih aman sehingga mendorong dolar Amerika Serikat menguat dalam jangka pendek. Arus aliran modal keluar juga diyakini terjadi signifikan di pasar keuangan negara berkembang seperti Indonesia. Pada pekan pertama Oktober, nilai capital outflow di pasar saham ataupun surat berharga negara (SBN) Indonesia tercatat terus berlanjut, yaitu mencapai Rp 2,5 triliun.
Selain dolar Amerika Serikat, aset safe haven lainnya yang terdongkrak adalah emas. Harga emas dunia kemarin naik 1,5 persen ke level US$ 1.864,39 per troy ounce. Menurut Ibrahim, peningkatan harga emas turut dipicu oleh permainan spekulan yang ingin memanfaatkan situasi dan membuat harga emas melonjak tinggi. Di sisi lain, ada pula kekhawatiran investor bahwa perang akan berlangsung lama, terlebih jika konflik merambat ke negara-negara lain, seperti yang terjadi pada perang Rusia dan Ukraina.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, mengungkapkan bahwa OJK bersama industri perbankan telah melakukan stress test atau uji ketahanan rutin untuk mengetahui ketahanan industri perbankan dari sisi solvabilitas ataupun likuiditas. Pengujian itu juga memperhitungkan faktor pelemahan rupiah serta pemburukan faktor makroekonomi lainnya dalam skenario utama.
Berdasarkan hasil stress test tersebut, OJK menilai kondisi perbankan nasional masih solid dan berdaya tahan dalam menghadapi tekanan pelemahan rupiah. Salah satu indikatornya adalah data eksposur neto mata uang asing (net exposure foreign currency) pada Agustus 2023 yang dilihat dari rasio posisi devisa neto yang masih tergolong sangat rendah, yaitu sebesar 1,72 persen. Posisi itu jauh lebih rendah dibanding batas aman yang disyaratkan sebesar 20 persen. “Hal ini mengindikasikan bahwa eksposur terbuka bank dalam valas relatif rendah terhadap permodalan bank,” ujarnya.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo