Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perusahaan asuransi dan dana pensiun menjadi investor terbesar pada obligasi Waskita Karya.
Masuknya perusahaan asuransi dan dana pensiun dalam obligasi Waskita Karya didorong oleh aturan OJK yang terbit pada 2016.
Rencana restrukturisasi utang Waskita Karya tak sepenuhnya disepakati investor.
JAKARTA - Sengkarut masalah keuangan yang membelit PT Waskita Karya (Persero) Tbk memasuki babak baru. Gagal bayar bunga serta pelunasan obligasi perseroan yang jatuh tempo pada 5 Mei 2023 dan 6 Agustus 2023 berisiko menyeret banyak perusahaan asuransi ataupun dana pensiun swasta dan BUMN. Mereka diketahui sudah lama mengoleksi obligasi Waskita.
Data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menunjukkan perusahaan asuransi serta dana pensiun domestik menjadi investor terbesar dalam sepuluh seri obligasi Waskita Karya dan anak perusahaannya, Waskita Beton Precast, sejak 2018. Secara total, nilai sepuluh seri obligasi emiten berkode WSKT dan WSBP ini mencapai Rp 8,942 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 8,835 triliun dipegang investor lokal. Sisanya sebesar Rp 106,65 miliar dipegang investor asing. Di pihak lokal, perusahaan asuransi menjadi pemegang obligasi terbanyak dengan nilai Rp 4,34 triliun. Disusul dana pensiun Rp 1,8 triliun; reksa dana Rp 1,46 triliun; investor individu Rp 543,44 miliar; lembaga keuangan Rp 358,01 miliar; korporat Rp 156,4 miliar; yayasan Rp 74,16 miliar; investor lain Rp 79,3 miliar; dan sekuritas Rp 16,6 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut pengamat industri keuangan nonbank sekaligus Ketua Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) periode 2015-2022, Suheri, obligasi infrastruktur, khususnya milik perusahaan pelat merah, kerap menarik minat pengelola dana pensiun karena menawarkan imbal hasil yang relatif tinggi. Terlebih, secara fundamental, kala itu Waskita juga masih menunjukkan kinerja keuangan yang sehat.
“Investor juga punya mindset semua perusahaan yang di bawah naungan Kementerian BUMN atau pemerintah itu aman. Karena rasanya tidak mungkin terjadi default atau risikonya kecil. Tentu kondisi seperti sekarang ini tidak pernah terpikirkan sebelumnya,” ujar Suheri kepada Tempo, kemarin, 26 November 2023.
Kantor PT Waskita Karya di Jakarta. TEMPO/Subekti
Akibat Investasi Pembiayaan Infrastruktur
Suheri berujar, agresivitas dana pensiun masuk ke investasi surat utang BUMN karya tak terlepas dari aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada 12 Januari 2016, OJK resmi menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. Aturan ini diteken Ketua Dewan Komisioner OJK saat itu, Muliaman D. Hadad. Isinya mewajibkan semua lini industri keuangan selain bank wajib berinvestasi di surat berharga negara (SBN) sebesar 20-50 persen.
Pelaku industri keuangan yang terkena kewajiban ini mencakup perusahaan asuransi jiwa, asuransi umum, dan reasuransi, baik yang konvensional maupun syariah. Begitu juga dengan lembaga penjaminan dan dana pensiun pemberi kerja. Kewajiban yang sama pun berlaku bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan serta BPJS Kesehatan.
Namun aturan tersebut hanya mewajibkan perusahaan ataupun lembaga keuangan nonbank berinvestasi pada SBN konvensional dan SBN syariah yang diterbitkan pemerintah. Mereka ditargetkan memenuhi kewajiban itu antara 31 Desember 2016 dan 31 Desember 2017.
Dalam Pasal 2 aturan tersebut disebutkan perusahaan asuransi jiwa wajib berinvestasi pada SBN ataupun SBN syariah minimum sebesar 30 persen. Kemudian asuransi umum dan perusahaan reasuransi 20 persen, lembaga penjaminan 20 persen, dana pensiun pemberi kerja 30 persen, BPJS Ketenagakerjaan 50 persen dari dana jaminan sosial ketenagakerjaan dan 30 persen dari seluruh jumlah investasi, serta BPJS Kesehatan 30 persen dari seluruh jumlah investasi.
Aturan itu menuai protes para pelaku industri keuangan nonbank karena dianggap memberatkan likuiditas. Merespons keberatan pelaku industri itu, pada 10 November 2016 Muliaman meneken aturan baru, yakni POJK Nomor 36/2016. Dalam aturan perubahan inilah OJK melonggarkan ketentuan investasi industri keuangan nonbank pada SBN. OJK membolehkan 50 persen investasi industri keuangan nonbank ditempatkan pada obligasi atau sukuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan anak perusahaan BUMN yang dananya digunakan untuk pembiayaan infrastruktur.
Setahun kemudian, tepatnya pada 29 Agustus 2017, OJK menerbitkan POJK Nomor 56/POJK.05/2017 sebagai perubahan kedua atas POJK 1/2016. Dalam aturan ini, OJK memasukkan pasal 4A, yang memperluas pilihan instrumen investasi wajib bagi industri keuangan nonbank. Tak hanya pada obligasi dan sukuk, pelaku industri juga boleh menempatkan dananya pada efek beragun aset serta reksa dana penyertaan terbatas. Namun ketentuannya tetap sama: harus diterbitkan BUMN dan anak perusahaannya atau BUMN yang dananya untuk membiayai proyek infrastruktur.
Dalam keterangan pers saat menerbitkan aturan perbaikan ini, Ketua Dewan Komisioner OJK pengganti Muliaman, Wimboh Santoso, mengatakan perluasan pilihan instrumen investasi dilakukan untuk mendorong peran investor dalam pembangunan nasional. “Dan mengakomodasi dinamika dan harapan lembaga jasa keuangan nonbank serta mempertimbangkan pemenuhan batasan investasi.”
Tergiur Bunga Tinggi
Suheri mengatakan setiap dana pensiun memiliki target imbal hasil investasi yang disesuaikan dengan kebutuhan pembayaran manfaat dan liabilitas masing-masing. Target inilah yang kemudian menjadi dasar perumusan arahan investasi dana pensiun, termasuk strategi penempatan dana pada instrumen investasi yang mendukung tercapainya target imbal hasil yang diinginkan. “Investasi pada obligasi BUMN karya seperti Waskita ini menawarkan kupon yang relatif tinggi, bahkan jika dibandingkan dengan tren imbal hasil saat ini. Kisarannya di 7 persen,” ucap dia.
Berdasarkan data yang dihimpun Tempo, Waskita memang kerap menjanjikan bunga tinggi. Saat menawarkan Obligasi Berkelanjutan III Waskita Karya Tahap II Tahun 2018 Seri B (WSKT03BCN2) pada 26 Februari 2018, misalnya, perseroan menawarkan bunga 8,25 persen. Belakangan, pada Maret 2023, Waskita mengumumkan menunda pembayaran bunga dan pelunasan pokok pinjaman, dari yang seharusnya dilakukan pada 23 Februari 2023 menjadi pada 16 Juni 2023.
Hal yang sama terjadi pada Obligasi Berkelanjutan IV Waskita Karya Tahap I Tahun 2020 (WSKT04CN1) yang ditawarkan dengan bunga 10,75 persen. Surat utang bertenor tiga tahun ini seharusnya jatuh tempo pada 6 Agustus 2023. Tapi lagi-lagi Waskita mengajukan penundaan pembayaran bunga ke-12 obligasi tersebut. Penundaan inilah yang berujung pada perpanjangan masa suspensi saham WSKT pada 7 Agustus lalu.
Sumber Tempo yang mengetahui persoalan ini mengatakan dana pensiun BUMN, dari besar sampai kecil, memiliki eksposur obligasi Waskita. “Dana pensiun non-BUMN juga kena. Walaupun besar eksposurnya bisa berbeda-beda setiap dana pensiun, tidak ada satu pun yang lolos,” kata dia. Namun, berbeda dengan dana pensiun non-BUMN, peraturan cut loss investasi pada dana pensiun BUMN jauh lebih ketat karena beririsan dengan potensi kerugian negara di masa depan.
Upaya Waskita meminta pengertian dari para investor atas penundaan pengembalian investasi dan bunga pun kerap menemui jalan buntu. Dalam rapat umum pemegang obligasi (RUPO) terbaru yang berlangsung pada 22-23 November 2023, misalnya, kesepakatan tak tercapai karena para investor punya sikap berbeda.
Kala itu Waskita menyampaikan usulan persetujuan restrukturisasi kepada pemegang obligasi. Sumber Tempo mengatakan dalam RUPO itu ada tiga pilihan. Pertama, menerima dan menyetujui usulan Waskita soal restrukturisasi perpanjangan jatuh tempo selama 10 tahun dan suku bunga 3,5 persen dengan skema pembayaran pokok dibayarkan bertahap serta pembayaran bunga tunai dan ditangguhkan.
Pilihan kedua, menerima penjelasan Waskita serta memberikan kelonggaran waktu atas perbaikan dan kondisi kelalaian tidak dipenuhinya kewajiban pembayaran paling lambat sampai 5 Januari 2024. Adapun pilihan ketiga, pemegang obligasi tidak menerima penjelasan dan tak menyetujui usulan Waskita. Jadi Waskita diminta segera memenuhi kewajiban pembayaran seluruh jumlah terutang beserta denda dan waliamanat melakukan penagihan kepada emiten dengan jatuh tempo paling lambat 45 hari kerja.
Dalam RUPO itu, dari 1.215.250.000.000 suara yang hadir, sebanyak 385,5 miliar (31,97 persen) memilih opsi pertama. Kemudian opsi kedua dipilih 49,75 miliar (4,09 persen) dan opsi ketiga 777 miliar (63,94 persen). Tapi, karena ketentuan minimal kuorum adalah 75 persen, RUPO gagal mengambil keputusan. Adapun kegagalan mufakat ini bukan yang pertama kali terjadi.
Ketua Umum ADPI Ali Farmadi membenarkan bahwa masalah finansial menghambat pengembalian dana Waskita kepada investor obligasi, termasuk dapen. “Kondisi ini berisiko mengurangi rasio kecukupan dana untuk membayar hak penerima pensiun,” ujarnya. Meski belum memegang data yang rinci, Ali menyebutkan tak sedikit dapen skala besar dan kecil berinvestasi pada emiten konstruksi.
Sementara itu, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Asuransi, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Iwan Pasila berujar, Otoritas sampai saat ini masih menghimpun data serta informasi lebih lanjut mengenai risiko eksposur industri asuransi dan dana pensiun terhadap surat utang Waskita Karya. “Masih dicek datanya, masih disimulasikan,” ujarnya.
Dia mengatakan, dalam urusan investasi, Otoritas telah memberikan arahan kebijakan investasi yang komprehensif serta memperhitungkan durasi kewajiban dan likuiditas untuk memitigasi risiko investasi. “Jadi tidak bisa hanya melihat ekspektasi hasil investasi tanpa melihat aspek likuiditas dan durasi.”
Ihwal adanya imbauan OJK kepada industri keuangan nonbank untuk masuk berinvestasi ke obligasi infrastruktur pada 2016, Iwan mengatakan masih harus melakukan konfirmasi lebih lanjut. Dia mengimbuhkan, dalam pengelolaan investasi, tak jarang investor harus menghadapi aspek-aspek yang tidak bisa diprediksi. “Tentu ada dampak yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya dengan baik, seperti pandemi Covid-19 dan dampaknya pada kondisi perekonomian. Hal ini yang memang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan investasi,” ucapnya.
Investor Berisiko Makin Merugi
Proses restrukturisasi yang berlarut-larut berisiko kian merugikan investor. Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, mengatakan, bagi dana pensiun dan perusahaan asuransi, investasi obligasi diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan yang baik, mengingat kupon yang ditawarkan Waskita cukup tinggi. “Kerugian karena kasus gagal bayar ini tentu akan berdampak pada keberlanjutan pendanaan, baik dana pensiun maupun asuransi. Efek psikologisnya juga akan menurunkan kredibilitas obligasi yang diterbitkan BUMN lain.”
Adapun negosiasi dengan pemegang obligasi dan semua kreditor lain harus dirampungkan Waskita sesegera mungkin agar proses pemulihan kinerja perseroan dapat berjalan. “Alternatif lain termasuk solusi dari pemerintah dan Kementerian BUMN karena Waskita terlalu besar untuk dibiarkan jatuh, sehingga backup negara dan pemerintah sebagai pemilik pasti akan dilakukan,” kata Toto.
Dalam keterangan resmi terbaru, Waskita Karya menyampaikan saat ini perseroan tengah dalam tahap akhir proses persetujuan final atas usulan skema restrukturisasi kepada pemegang obligasi dan kreditor perbankan. Vice President Corporate Secretary Waskita Karya Ermy Puspa Yunita berujar, sampai saat ini mayoritas kreditor perbankan yang mewakili lebih dari 80 persen nilai utang outstanding telah menyetujui skema restrukturisasi yang diusulkan perseroan.
“Sebagai bagian dari proses restrukturisasi tersebut, perseroan juga terus melakukan diskusi intensif dengan seluruh pemegang obligasi terkait dengan skema restrukturisasi agar dapat segera disetujui melalui mekanisme RUPO,” ujar Ermy.
Dia memastikan rencana restrukturisasi itu sudah disampaikan kepada semua kreditor sejak awal 2023 hingga saat ini. Menurut Ermy, persetujuan atas restrukturisasi ini urgen untuk mengembalikan kemampuan kas perusahaan. “Hal ini juga dapat membantu perseroan menyelesaikan kewajiban kepada seluruh kreditor, baik perbankan, pemegang obligasi, maupun vendor.”
GHOIDA RAHMAH | YOHANES PASKALIS | CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo