Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JEMAAH masjid Al Ikhlas Bandung geger. Masjid yang terletak di Jalan Mochamad Toha itu tahu-tahu kosong melompong. Semua barang inventaris raib. Tercatat 40 kitab Quran, 7 sajadah, 6 karpet, 1 permadani, 2 pengeras suara, 1 tape recorder, 2 amplifier, 2 jam dinding, dan 1 mimbar hilang. Yang paling fantastis ini, 21/2 ton besi beton yang sedianya dipakai merenovasi Al Ikhlas turut amblas. Ini bukan maling kelas kakap lagi, tapi kelas paus. Semua barang itu siang hari tatkala salat Jumat, masih ada. Tapi Sabtu subuh sudah lenyap. "Kami baru tahu begitu mau salat subuh," kata Adjum Sudarsa, pengurus masjid Al Ikhlas. Peristiwa tersebut memang bukan di bulan Ramadan ini tapi Desember tahun lalu. Namun, kasus itu baru dilaporkan polisi awal April lalu. Mengapa begitu? Ternyata, barang-barang itu bukan digondol maling. Hanya sekadar pindah masjid saja. Jelasnya, ada persengketaan. "Antara ketua RW dan pengurus Al Ikhlas," tutur seorang penduduk yang tinggal tak jauh dari masjid itu. Barang-barang itu dipindahkan ke masjid baru, masjid Al Ikhlas. Sebentar, Al Ikhlas yang ini beda dengan Al Ikhlas yang tadi, meski tak begitu berjauhan. "Masjid Al Ikhlas lama itu sudah tak memungkinkan lagi dipakai. Jemaahnya selalu membludak. Padahal, jalan ke pintunya sempit. Apalagi di kiri dan kanan masjid diapit WC penduduk. 'Kan tidak sah buat dipakai salat," kata Atam Iskandar, ketua RW Astana Anyar yang disebut-sebut sebagai biang keladi kasus ini. Tapi ada sas-sus, ketua RW ini sengaja mau memindahkan masjid karena tempat itu dipakai untuk perluasan apotek yang letaknya persis di sebelah masjid. Sebagai penggantinya, disediakan kapling yang sekarang sudah pula berdiri sebuah masjid inilah Al Ikhlas yang baru. Sas-sus itu dibantah Atam. "Itu tidak benar. Masa, ketua RW mau mengambil keuntungan," katanya sengit. Di pihak lain, Adjum Sudarsa dan sebagian penduduk enggan melepaskan Al Ikhlas lama. Itu sebabnya, sejumlah barang yang pindah masjid itu dilaporkan Adjum sebagai kasus pencurian. Kasus ini disidangkan di bulan puasa ini, tapi tidak oleh Pengadilan Negeri, melainkan oleh Pengadilan Agama. Sudah tiga kali sidang berlangsung, belum juga ada kesepakatan. Drs. Soemantri Syah, Ketua Pengadilan Agama Bandung yang sekaligus bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim, menyarankan agar kasus ini diselesaikan secara musyawarah. "Malu, dong, umat Islam ini bila masjid saja jadi bahan sengketa. Apalagi di bulan puasa," katanya. Jadi diikhlaskan saja?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo