Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepintas ruangan seluas sekitar 28 meter persegi yang berada di belakang rumah utama itu mirip dapur di pedesaan. Di dalam bangunan berlantai tanah dan berdinding bata merah tanpa semen itu terdapat tungku dengan arang serta abu sisa pembakaran berserakan. Di sekitarnya tergeletak belasan palu dan catut, sekop kecil, beberapa batangan besi panjang dan pendek, serta linggis-linggis kecil. Ada juga dua pipa yang berfungsi sebagai pompa angin dan bak kecil sedalam kira-kira setengah meter berisi air. ”Ya, seperti inilah tempat kerja saya,” ujar Sungkowo Harum Brojo, seorang empu pembuat keris di Yogyakarta.
Bangunan sederhana di belakang rumah Sungkowo di Dusun Gatak, Desa Sumberagung, Moyudan, Sleman, itu adalah besalen—bengkel tempat sang empu membuat keris. Dari tempat sederhana itulah empu berusia 58 tahun ini telah menghasilkan puluhan keris pesanan dari berbagai kota di Indonesia dan luar negeri. Pemesannya, antara lain, datang dari Jakarta, Semarang, Solo, Yogyakarta, dan Makassar. Adapun pemesan luar negerinya ada yang dari Amerika, Jerman, Prancis, Belanda, Spanyol, Slovakia, Jepang, dan Venezuela. Para pemesan keris Sungkowo berasal dari pelbagai kalangan, mulai politikus, pejabat, pengusaha, jenderal, hingga duta besar.
Beberapa waktu lalu, misalnya, seorang bupati di Jawa Tengah datang menemuinya. Dia meminta dibuatkan sebilah keris dan ujung tombak. Tombaknya tiga pamor, pangkalnya beras wutah (simbol kemakmuran), ron kendhuru (kewibawaan), dan junjung drajat (biar derajatnya terangkat) di ujungnya. Adapun kerisnya, luk 7 berpamor sempono bungkem. ”Pamor pada keris itu agar sang Bupati tak didemo oleh masyarakatnya,” katanya.
Sungkowo memang membuat keris hanya berdasarkan pesanan. Berbeda dengan keris sebagai barang kerajinan yang diproduksi massal, keris Sungkowo dibuat satu per satu hingga jadi. Alat yang digunakan pun masih tradisional. Untuk membuat sebilah keris dibutuhkan waktu sekitar 40 hari. Karena itu, seorang pemesan tak bisa langsung mendapatkan kerisnya dalam waktu dekat. Saking banyaknya pesanan belakangan ini, setidaknya mereka harus menunggu 1-2 tahun untuk mendapat keris yang dipesannya.
Selain memakai peralatan lama, Sungkowo termasuk empu yang masih setia pada tata cara empu tradisional di masa lalu sebelum membuat keris. Sungkowo, misalnya, berpuasa pada hari-hari mulai membuat keris. Ia juga tak tidur sebelum tengah malam. Sang empu pun pantang berhubungan intim.
Tradisi lain yang ditaati Sungkowo adalah pantang membuat keris pada hari-hari khusus, misalnya Kamis Wage dan Rabu Wage. Menurut Sungkowo, bila hari pantangan itu dilanggar, ada saja kendala yang ditemuinya. Tungku tak menyala sempurna, besi sulit ditempa, tubuh terciprat api, hingga mendadak tak ada semangat kerja. Suatu kali, Sungkowo pernah lupa. Dia tetap bekerja menggarap keris meski saat itu hari pantangan. Keris setengah jadi yang dibuatnya mendadak patah jadi dua saat ditempa.
Lahir di Dusun Gatak pada 1 Agustus 1953, Sungkowo mulai terjun total membuat keris pada 1995. Keterampilannya membuat keris diwarisi dari ayah angkatnya, Ki Empu Djeno Harum Brojo, yang meninggal lima tahun lalu. Sungkowo adalah anak kandung Wignyo Sukoyo, kakak kandung Djeno. Kedua bersaudara itu adalah dua di antara empat anak Empu Supowinangun, pembuat keris yang cukup terkenal pada zamannya. Dari empat anak Supowinangun, hanya Yoso Pangarso dan Djeno yang meneruskan tradisi keluarga sebagai empu.
Sejak dulu, keluarga itu adalah keluarga pembuat keris. Jika dirunut lebih jauh, kakek buyut Sungkowo adalah Ki Empu Tumenggung Supodriyo, pembuat keris zaman Majapahit. ”Saya keturunan ke-17,” ujar Sungkowo menerangkan silsilah keluarganya.
Dari keterampilannya membuat keris, rezeki Sungkowo pun mengalir. Harga sebilah keris yang dibuat Sungkowo setidaknya mencapai Rp 40 juta. Harga itu bisa jadi lebih tinggi jika pemesan meminta warangka (sarung keris) dan genggaman keris terbuat dari bahan dan ukiran khusus.
Biasanya warangka dibuat dari kayu timoho. Coraknya unik dan terbentuk alami dari serat kayu. Harga kayu timoho seukuran dua kali genggaman tangan bisa mencapai Rp 3-5 juta.
Menurut Sungkowo, warangka itu biasa diperoleh dari perajin di Imogiri, Yogyakarta. Adapun genggamannya yang berbahan gading dengan ukiran khas Madura bisa mencapai harga Rp 5 juta. Harga sebilah keris bahkan bisa meningkat berlipat-lipat jika sang pemesan menginginkan kerisnya berlapis emas dan bertatahkan intan permata. ”Bisa jauh lebih mahal daripada harga kerisnya,” katanya.
Empu lain yang juga memegang teguh tradisi lama adalah Empu Kanjeng Raden Tumenggung Subandi Suponingrat dan Sukamdi. Hanya, kedua empu dari Solo, Jawa Tengah, itu berbeda dengan Sungkowo. Keduanya memiliki kepiawaian membuat keris dari belajar secara otodidaktik. Mereka tidak mewarisi bakat empu dari orang tua dan para leluhurnya.
Subandi Suponingrat mulai belajar membuat keris ketika berusia 25 tahun. Saat itu Akademi Seni tempatnya bekerja membutuhkan pengajar di bidang perkerisan. Padahal Solo sama sekali tidak memiliki seorang empu yang bisa diharapkan menjadi pengajar. Subandi menyanggupi. Ia kemudian menimba ilmu perkerisan dari seorang empu asal Yogyakarta, Yosopangarso. Selebihnya, dia mempelajari sendiri melalui keris karya para empu di masa lampau.
Di rumahnya di kawasan Palur, Karanganyar, Subandi kemudian mendirikan besalen. Tak hanya tekniknya yang tradisional, dia juga mempertahankan ritual pada saat memulai pembuatan keris. Seperti Sungkowo, dia berpuasa sebelum memulai pembuatan keris. Lalu dia menyiapkan sesaji berupa jajan pasar, pisang ayu, sirih ayu, serta bubur merah-putih, hitam, dan kuning.
Tradisi yang juga ditaati oleh Subandi adalah memilih hari yang tepat untuk membuat keris. Dia selalu menghindari Kamis Wage, sesuai dengan pesan gurunya. Jika keris itu dibuat atas pesanan seseorang, dia memulai pembuatan dengan menghitung weton atau hari lahir pemesan.
Untuk urusan bahan baku keris, seperti besi, baja, dan nikel, Subandi tak mengikuti cara tradisional para empu. Dia biasa membeli bahan itu dalam bentuk batangan produksi pabrik yang banyak dijual di pasar. Meski begitu, Subandi pernah mencoba cara tradisional dengan membuat bahan besi sendiri. Bijih besi diambil dari pesisir pantai selatan Jawa hingga Bali. Totalnya, dia mengambil bijih besi dari sepuluh lokasi.
Cara pengambilannya dilakukan dengan sederhana. Dia mendekatkan sebuah magnet besar ke pasir pantai. Bijih besi pun menempel, kemudian diambil dan disimpan. Dari hasil percobaannya, bijih besi dari Bali memiliki kualitas yang sangat bagus. Kandungan besinya lebih murni dibanding tempat lain. Warnanya yang hitam legam membuat keris terlihat sangat elok. Hanya, Subandi menyerah dengan eksperimennya itu. ”Kalau harus membuat besi sendiri, sangat tidak praktis, harus menyediakan tanur tinggi,” kata bapak empat anak itu.
Maka Subandi kemudian lebih memilih membeli besi produksi pabrik yang tersedia di pasar. Meski tak menyebutkan angka pasti, Subandi mengaku biasa menjual keris buatannya dengan harga puluhan juta rupiah.
Lain Subandi, lain pula Sukamdi. Dalam urusan bahan pembuat keris, Sukamdi justru menggunakan barang bekas sebagai bahan pembuat keris. Empu 63 tahun itu selalu menyempatkan diri berjalan-jalan di pusat penjualan besi bekas, yang berada di sebelah timur Kota Solo. Di lokasi itu, dia menemukan beraneka macam benda, kebanyakan berasal dari onderdil mobil. Bekas pegas, shock breaker, dan as roda menjadi bahan favoritnya. ”Penggunaan barang bekas tidak menurunkan kualitas keris yang dibuat,” ujarnya.
Sukamdi tertarik membuat keris awalnya dari bisnis benda pusaka kecil-kecilan, saat ia berusia 37 tahun. Karena tak paham dunia perkerisan, usahanya selalu rugi. Itu memaksanya belajar mendalami seluk-beluk keris. Ia mendatangi para pemerhati dan pembuat keris. Akhirnya, dia menemukan penanda keris yang berkualitas. ”Terletak pada condong leleh dan lungguh wilah,” katanya. Condong leleh merupakan sudut kemiringan sebuah keris. Adapun lungguh wilah adalah garis mendatar yang ada di bilah keris bagian bawah.
Ia kemudian membangun besalen kecil-kecilan di rumahnya. Sukamdi membuat keris dengan tema tertentu, disesuaikan dengan kondisi zaman. Tatkala masyarakat menggandrungi tanaman anturium, misalnya, Sukamdi membuat keris yang bentuknya meniru daun anturium, gelombang cinta. Dia membuatnya secara detail, lengkap dengan bentuk tulang-tulang serta lekuk-lekuk pinggir daunnya. Keris buatannya laku hingga puluhan juta rupiah.
Boleh dibilang, empu yang benar-benar setia menjaga tradisi sudah cukup langka. Jumlah yang minim itu kian berkurang lantaran salah satu empu tradisional, Paku Rodji, meninggal pada 4 Juni lalu. ”Bapak meninggal dunia pada Sabtu pagi sekitar pukul 08.30. Saat itu Bapak sedang ngikir (mengasah) keris di belakang rumah,” ujar anak ketiga Paku Rodji, Teguh Budi Santoso, di rumah almarhum di Dusun Brangkal, Desa Kedungpanji, Lembeyan, Magetan, Jawa Timur, Ahad dua pekan lalu.
Saat Tempo bertandang ke rumah Paku Rodji pada pertengahan Mei lalu, sekitar dua pekan sebelum dia meninggal, sang empu sederhana berusia 59 tahun itu tampak segar bugar. Ia begitu bergairah ketika berbicara tentang keris. Sembari mengisap rokok kretek, Rodji menuturkan awal mula ia terjun menekuni dunia perkerisan.
Rodji mewarisi bakat seorang empu dari ayahnya, Imam Panani. Berdasarkan catatan silsilah keluarga, Rodji diyakini sebagai keturunan empu zaman Majapahit akhir, Empu Supodriyo (Ki Supo). Empu zaman Majapahit diyakini turun-temurun hingga melahirkan keturunan yang tinggal di Magetan, Jawa Timur. Dalam dunia perkerisan, empu yang tinggal di Magetan disebut dengan istilah empu era Mageti. Rodji adalah empu Mageti keempat.
Sebelumnya, empu era Mageti pertama dipegang Ki Guno Sasmito Utomo, keturunan ke-13 dari Supodriyo. Ki Guno adalah pembuat keris yang jadi senjata semasa perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah pada abad ke-15. Sebagaimana tradisi empu, trah diturunkan melalui garis keturunan anak kandung. Setelah Ki Guno, trah empu era Mageti turun ke Imam Mustofa sebagai empu Mageti kedua. Dari Imam Mustofa, trah empu turun ke anaknya, Imam Panani (Imam Syuhadak) sebagai empu Mageti ketiga. Hingga akhirnya trah empu Mageti turun ke salah satu anak kandung Imam Panani, Paku Rodji, sebagai empu Mageti keempat.
Lahir di Magetan pada 1952, Rodji mulai membuat pusaka sejak 1974, setelah ayahnya, Imam Panani, meninggal. ”Waktu saya masih kelas dua aliyah (setingkat SMA), tiba-tiba Mbah Kiai (Muhammad Munawar Affandi) menyuruh saya pulang,” tuturnya. ”Kamu harus pulang, bapakmu sudah tidak ada. Sudah waktunya menggantikan bapakmu (sebagai empu),” kata Ki Rodji, menirukan perkataan kiainya.
Lalu, kepadanya ditunjukkan sebilah keris milik sang kiai. ”Coba lihat keris ini. Buatkan saya keris seperti ini,” ujar sang kiai. Rodji sempat miris mendapat tantangan itu. Namun ia punya keyakinan bisa membuat keris permintaan kiainya itu. ”Saya hanya pasrah pada Allah dan meminta restu Mbah Kiai,” ujarnya saat itu.
Padahal, menurut Rodji, sebelumnya ia tak pernah membantu sang ayah membuat pusaka. ”Saya hanya sempat melihat-lihat saat Bapak menempa. Saya tidak pernah ikut membuat pusaka atau benda lainnya,” kata Rodji sambil membersihkan bara api rokok yang akan diisap dengan jari telunjuknya.
Ternyata Rodji bisa membuat keris yang sangat mirip dengan yang dikehendaki kiainya. Sejak itu ia memulai perannya sebagai empu sekaligus pandai besi. ”Empu itu pasti memiliki keahlian sebagai pande (pandai besi). Sedangkan pande tidak memiliki keahlian seperti empu,” tutur empu beranak empat ini. Jenis pusaka dan senjata yang biasa dibuatnya antara lain keris, tombak, patrem (keris kecil), seking (badik), dan cincin.
Kualitas keris karya Ki Rodji sudah diakui luas. Karyanya diminati berbagai kalangan. Tak hanya dalam negeri, keluarga bangsawan dari luar negeri juga pernah berburu dan memesan keris buatannya. ”Salah satunya bangsawan dari Kerajaan Perak, Malaysia, yang mengutus seseorang ke sini untuk meminta dibuatkan pusaka,” ujarnya. Bangsawan dari berbagai kerajaan di Jawa dan luar Jawa juga pernah memesan pusaka ciptaannya, seperti Ngayogyakarta Hadiningrat dan Mangkunegaran (Surakarta).
Dalam membuat keris, Rodji memegang teguh tradisi para empu masa lampau. Seorang empu, misalnya, harus pandai menjaga kebersihan hati. ”Seperti salah satu prinsip orang Jawa, saya juga harus menjaga dari mo limo (lima M),” katanya. Lima M keburukan itu adalah main (berjudi), maling (mencuri), mendem (mabuk-mabukan), madat (mencandu narkoba), dan madon (main perempuan/berhubungan seks dengan wanita bukan istri sah).
Rodji juga menjalani laku tirakat atau berpuasa. Selain itu, ia memilih hari-hari khusus untuk memulai pekerjaannya membuat keris. Ia mengacu kalender Jawa versi perhitungan para pujangga Ponorogo. ”Menurut kalender itu, ada beberapa hari yang dianggap kurang baik (ringkel) dalam memulai sesuatu,” ujarnya.
Lalu, Rodji juga masih menjaga tata cara penyerahan (seserahan) keris ciptaannya. ”Setiap orang yang akan menerima keris karya saya wajib membaca dua kalimat syahadat. Meski nonmuslim, tetap wajib sebagai syarat. Pernah suatu ketika, seorang pelaut berkebangsaan Jerman yang juga pencinta keris Jawa, Dietrich Drescher, meminta keris karyanya. ”Ya, tetap saya tuntun membaca syahadat meski membacanya gratulan (kurang lancar),” katanya sambil tertawa.
Anang Zakaria (Yogyakarta), Ahmad Rafiq (Solo), Ishomuddin (Magetan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo