Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bangunan yang sama sekali tak layak huni itu dipercaya sebagai bekas rumah Eduard Douwes Dekker atau Multatuli, pengarang buku Max Havelaar. Novel yang terbit pada 1860 ini sempat mengguncang Eropa. Pokok-pokok pemikiran dalam buku ini mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah Hindia Belanda dan melahirkan politik etis, balas budi kepada rakyat Nusantara.
Rumah itu tampak lawas, kusam, dan mungkin lebih pantas disebut gudang ketimbang rumah bekas asisten residen Belanda yang menjabat selama tiga bulan. "Saya baru sekali ke sini. Enggak tahu bangunan apa itu," ujar lelaki yang mengaku bernama Rahmat dari Kuningan, Kamis pekan lalu. Bagian teras depan tergenang air dan bau pesing. Sampah botol minuman plastik dan kertas pembungkus makanan berserakan. Di bagian lain, selembar karpet plastik dan segulung kasur bekas teronggok begitu saja di ujung depan bangunan. Melongok ke dalam melalui kaca nako yang terlapisi debu tebal, terlihat tumpukan kardus berisi botol obat.
Pengunjung dan pegawai rumah sakit sama sekali tak ambil pusing dengan keberadaan rumah tersebut. Sekalipun ada plang bertulisan bangunan cagar budaya di bagian depan, tak terlihat bahwa mereka tertarik untuk membacanya. Justru warga asing yang menaruh perhatian serius terhadap rumah tersebut.
"Beberapa hari lalu ada bule datang, katanya dari Jerman. Ia memotret rumah itu," ujar Suryo, pegawai rumah sakit. Suryo mengaku tahu bahwa rumah tersebut termasuk cagar budaya. Dia juga tahu Eduard Douwes Dekker dari buku sejarah. "Sayang juga dibiarkan seperti itu," ujarnya.
Kerusakan dan pembiaran menjadi semacam gudang di rumah sakit ini tampaknya sudah menahun. Pada 2010, Tempo pernah mengunjungi rumah ini untuk mencari jejak Multatuli pada peringatan 150 tahun pengarang buku Max Havelaar tersebut. Rusak, sampah, dan bau pesing pun sudah terasa saat itu. Entah sejak kapan rumah ini dibiarkan begitu saja.
Pemerintah Kabupaten Lebak belum memberi perhatian terhadap bangunan cagar budaya ini. "Memang belum ada kebijakan soal itu. Kami baru menancapkan plang cagar budaya. Itu saja. Langkah kecil ini baru bersandar pada Undang-Undang Cagar Budaya," ujar Wawan Sukmara, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak, Rabu pekan lalu. Pemerintah Lebak, kata dia, belum memprioritaskan pemeliharaan rumah tersebut. Alasannya, banyak yang harus dibangun. Selain itu, pembiaran dilakukan karena bangunan tersebut sudah telanjur berada di kawasan rumah sakit. Tak hanya itu, masih terdapat kontroversi seberapa penting Douwes Dekker bagi masyarakat Lebak.
Namun pemerintah Lebak berniat membangun museum. "Ibu Bupati punya pemikiran membuat museum Multatuli. Ide ini bisa mengangkat Lebak," ujar Wawan. Anggaran pembangunan museum ini ditaksir Rp 9 miliar. "Uangnya dari APBD dan sudah ada Rp 4 miliar." Perihal pembangunan museum Multatuli ini sudah diketahui Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Serang Yoesoef Boedi Ariyanto. Ketika disinggung soal rumah bekas Dekker ini, Yoesoef mengaku belum memberi perhatian. "Insya Allah, saya akan ke sana. Akan saya koordinasikan dengan instansi terkait. Malu saya," ujarnya. Ia tak mengira kondisi rumah itu sebegitu parah.
Kondisi tak kalah memprihatinkan ada pada rumah di Jalan Warung Contong Timur 44, Cimahi, Jawa Barat. Tempat itu merupakan rumah persinggahan salah satu pahlawan nasional Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu Indonesia Raya.
Sedikit sulit menemukan rumah tersebut. Selain Jalan Warung Contong memiliki panjang 1 kilometer dan jalannya lurus tanpa kelokan, pemberian nomor rumah acak alias tidak beraturan. Rumah W.R. Soepratman tidak bernomor dan sudah berubah bentuk serta beralih fungsi menjadi toko. Tak ada yang menyangka bahwa tempat itu dulu rumah W.R. Soepratman.
Yulia, 61 tahun, cucu W.R. Soepratman yang menghuni rumah itu, mengatakan rumah tersebut awalnya memiliki gaya arsitektur khas Belanda. Tapi akibat keterbatasan ekonomi keluarga Yulia, setelah melalui kesepakatan keluarga besar, pada 2002 rumah itu disewakan kepada salah satu pengusaha retail untuk dijadikan minimarket. "Itu rumah Belanda, tapi akhirnya dibongkar habis," ujar Yulia pekan lalu. Hilang sudah nilai sejarah rumah tersebut. Bangunan lama dihancurkan dan disulap menjadi pertokoan. Sebelah kanan depan dijadikan tempat usaha fotokopi dan penjualan alat tulis. Adapun bagian sebelah kiri depan menjadi toko baju sekaligus tempat menjahit Yulia.
Yulia menilai Pemerintah Kota Cimahi abai melihat kondisi rumah yang sempat menjadi tempat tinggal W.R. Soepratman itu. Buktinya, kata Yulia, kalau memang benar pemerintah peduli terhadap rumah yang menyimpan nilai sejarah itu, rumah tersebut tidak akan sampai dihancurkan. "Kalau memang ada kepedulian dari pemerintah, tidak mungkin rumah ini sampai dikontrakan," ujarnya.
Kepala Kantor Arsip Perpustakaan dan Pengelolaan Data Elektronik Kota Cimahi Hardjono mengatakan pemerintah Kota Cimahi akan menemukan kesulitan seandainya rumah itu dijadikan bangunan cagar budaya. Sebab, rumah itu telah beralih fungsi. Menurut dia, ketika rumah beralih fungsi, nilai historisnya hilang dan diganti dengan nilai historis yang baru dan tentunya berbeda. Selain itu, Pemerintah Kota Cimahi tidak bisa memaksakan rumah tersebut dijadikan cagar budaya lantaran tanah beserta rumahnya milik perorangan. "Kami sebatas memberikan penawaran untuk membeli dan menjadikan cagar budaya. Itu pun harus ada penelitian lebih jauh," katanya.
Cerita bakal dilegonya rumah bersejarah dari tokoh kemerdekaan juga terjadi di Rengasdengklok, Jawa Barat. Di sana Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pernah disekap semalam oleh para pemuda pimpinan Sukarni menjelang Hari Proklamasi 1945. Rumah itu terletak di Dusun Kalijaya RT 1 RW 9 Nomor 41, Rengasdengklok Utara, Karawang.
Tak terlalu sulit untuk menemukan rumah tersebut. Hanya, tak ada petunjuk jalan yang jelas. Masyarakat setempat mengenal rumah itu dengan rumah sejarah dan menyebut gang tersebut dengan Gang Sejarah. "Oh, itu rumah sejarah. Masuk saja Gang Sejarah, rumahnya di situ," ujar seorang perempuan tengah baya ketika Tempo menanyakan alamat rumah tersebut. Sekitar 50 meter dari mulut gang bergapura, melewati kebun kosong, tampak sebuah rumah kayu tua bercat putih dengan pintu berkelir hijau muda. Rumah itu tak terlalu besar. Dua balai-balai serta sepasang kursi dan meja terlihat di teras yang berubin merah. Itulah rumah almarhum Djiaw Kie Siong yang dulu dipakai untuk menyekap Bung Karno dan Bung Hatta.
Memasuki ruang utama, mata akan langsung menangkap foto Djiaw Kie Sio berukuran besar. Ada pula gambar dan kristik Presiden Sukarno berukuran 1 x 1 meter di dinding. Di meja altar, terdapat foto Sukarno, Hatta, piagam, dan foto para tokoh yang mengunjungi rumah itu, antara lain Sukmawati Soekarnoputri, Rieke Diah Pitaloka, dan Presiden Joko Widodo.
Hari beranjak sore, seorang perempuan dan dua anaknya datang, masuk ke rumah itu melihat-lihat ruang demi ruang, lalu berfoto. Setelah itu, mereka pergi. "Ya begitu, ada saja yang datang. Lihat-lihat, foto, lalu pergi. Kebanyakan anak sekolah. Tapi orang umum juga banyak," ujar Iin—panggilan Djiaw Kwin Moy, salah satu cucu Djiaw Kie Siong—saat ditemui pada Kamis pekan lalu. Saat musim kampanye tiba, rumah ini sering disinggahi bakal calon. "Sudah ada juga calon bupati yang datang, tapi saya lupa siapa," ujar Iin.
Sebelum Lebaran lalu, BPCB Serang merenovasi bagian rumah bersejarah ini dengan biaya Rp 500 juta. "Semua bagian rumah diperbaiki apa yang perlu diperbaiki," ujar Yoesoef Boedi Ariyanto, Rabu pekan lalu. Perbaikan dinilai cukup penting karena aset ini termasuk prioritas dengan pertimbangan sejarah. Balai ini membawahkan empat wilayah pelestarian cagar budaya, yakni Banten, Jakarta, Jawa Barat, dan Lampung. Yoesoef mengatakan bangunan rumah bersejarah yang asli memang hanya separuh. Lokasi aslinya pun bukan di tempat sekarang, melainkan di pinggir Sungai Citarum. "Sudah dipindah karena memang di pinggir sungai dan terkena erosi," katanya.
Okih Suherman, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, mengatakan rumah tersebut mengandung nilai historis yang tinggi sehingga pemerintah daerah ingin menjadikannya sebagai aset bersejarah milik pemerintah. Selain itu, untuk menjawab keluhan keluarga ahli waris yang berencana menjual rumah tersebut. Meskipun demikian, hingga kini rumah tersebut masih dipelihara oleh keluarga.
BPCB Serang pernah menganggarkan dana untuk mengambil alih rumah tersebut, tapi tak terjadi kesepakatan harga dengan keluarga. Harga yang ditawarkan ahli waris di luar standar penilaian. "Sudah dianggarkan Rp 1 miliar, tapi keluarga minta lebih. Kalau bangunannya saja dihargai Rp 200 juta sudah bagus, tapi nilai historisnya itu," ujar Yoesoef.
Rumah gadang milik keluarga Tan Malaka masih berdiri walau terlihat semakin reot. Bangunan dapur dan kamar di bagian belakang sudah dirobohkan tahun lalu akibat lapuk. Atapnya seng bergonjong (runcing) lima dengan banyak jendela berkaca dan bingkai berukir. Panjangnya sekitar 12 meter dengan lebar kurang-lebih 8 meter.
Fondasinya semen. Dindingnya terbuat dari kayu. Selain dari kayu, dinding bagian luar samping dan belakang rumah dilapisi anyaman bambu. Gunanya melindungi dinding dari tampiasan air hujan. Rumah gadang Tan Malaka termasuk modern karena atapnya menggunakan seng dan berjendela kaca. Tangganya dari semen, dengan tinggi undakan satu meter. Lantai rumah juga dari kayu. Rumah kelahiran Tan Malaka ini terletak di Nagari Pandan Gadang, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, berjarak 157 kilometer dari Padang. Seruas Jalan Tan Malaka sepanjang 48 kilometer membentang dari Payakumbuh dan melewati rumah Tan Malaka di Pandan Gadang.
Nagari Pandan Gadang, seperti banyak pedesaan di Ranah Minang, adalah nagari yang dilingkupi perbukitan hijau permai. Terletak di lembah di kaki bukit dengan sawah yang berundak-undak dan puluhan pohon kelapa di pinggirnya. Rumah Tan Malaka hanya sekitar 100 meter menuruni jalan setapak dari semen jalan raya itu.
Rumah ini terletak di tepi sawah dan diapit puluhan pohon kelapa yang tinggi, terpencil dari rumah lain karena tanah kebun dan sawah yang luas di sekitarnya juga di seberang jalan masih milik keluarga besar keturunan keluarga Tan Malaka dari pihak ibu. Suasana begitu tenang. Lembah itu sangat sunyi. Di depan rumah terdapat 14 kolam ikan yang dikelola sejak dulu.
"Rumah gadang ini adalah rumah gadang kami, kaum atau suku kami, suku Koto Simabua. Dulu dibangun entah kapan. Ibu Tan Malaka, Sinah, juga lahir dan dibesarkan di rumah ini. Begitu pula Jamiah, saudara ibu Tan Malaka yang juga nenek ibu saya," kata Anni Zarni, 69 tahun, kerabat Tan Malaka.
Pengangkatan gelar adat Tan Malaka, sebelum Tan Malaka ke Belanda, juga dilakukan di rumah gadang tersebut. "Tan Malaka itu gelar adat. Sebenarnya Datuak Tan Malako, tapi oleh Tan Malaka diindonesiakan menjadi Tan Malaka," ucap Anni. Ia mengatakan, menurut cerita ibunya, rumah gadang Tan Malaka dirombak besar-besaran pada 1936 dan atapnya diganti seng.
Pada 21 Februari 2008, rumah gadang Tan Malaka berubah menjadi Museum dan Pustaka Tan Malaka. Ini atas inisiatif keluarga besar Tan Malaka dan didorong oleh sejarawan Belanda, Harry A. Poeze, penulis buku Tan Malaka. Di sana dipajang foto-foto Tan Malaka serta sejumlah buku karyanya, seperti Madilog dan Dari Penjara ke Penjara.
Menurut Anni, pernah suatu kali ditemukan kain gendongan untuk menggendong Tan Malaka saat bayi. Kain itu tersimpan rapi di rumah gadang. Tapi, karena rumah ini sudah lama ditinggalkan, kain-kain itu rusak dan lapuk, dan akhirnya dibakar. Begitu pula buku-buku karya Tan Malaka, termasuk Madilog dan Dari Penjara ke Penjara, dibakar. "Saat itu saya masih di bangku sekolah dasar. Di halaman rumah kami, Bapak membakar buku-buku itu karena takut. Saat itu sedang terjadi pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, yang salah satu basis perjuangannya di Pandan Gadang ini," kata Anni.
Pada 1963, Tan Malaka diberi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah Sukarno. Anni datang mewakili keluarga, menghadiri acara di Gedung Tri Arga Bukittinggi. Acara itu juga dihadiri tiga menteri. Salah satunya Sukarni. Saat itu Sukarni menjanjikan rumah kelahiran Tan Malaka akan dipugar dan anak-cucu ahli warisnya akan diberi beasiswa. Tapi, hingga pemerintah Sukarno jatuh, janji itu tak pernah terwujud.
"House Ismail Marzuki No. 36". Begitu bunyi plang kecil berwarna putih di depan pagar rumah bercat putih itu. Papan yang mulai berkarat itu satu-satunya tanda bahwa rumah di Kampung Bali X nomor 36 ini dulu milik komponis besar Ismail Marzuki. "Plang itu ayah saya yang bikin. Untuk mengenang ini adalah rumah salah satu tokoh besar," ujar Rikvandi Tovan Gustino, 27 tahun, cucu pemilik rumah tersebut, Hajjah Syamsiar, yang namanya dicantumkan di bagian bawah plang.
Rumah seluas 196 meter persegi ini telah dua kali berpindah tangan, dari Ismail Marzuki ke pemilik kedua bernama Jusmir Sagaf dan terakhir kepada keluarga Hajjah Syamsiar sekitar 1987. "Sembilan puluh persen rumah sudah diganti. Jadi sudah bukan bangunan asli," ujarnya.
Lantai pelataran rumah bagian depan telah dipasangi ubin, langit-langit pun telah diganti. Perubahan yang paling jelas adalah fungsi sebagian bangunan yang telah digunakan sebagai kos-kosan. Selain tiga kamar asli, dibangun empat kamar tambahan—enam kamar untuk disewakan dan satu kamar di bangunan asli digunakan Riki sebagai tempat tinggal. "Ada lorong yang dibongkar untuk dijadikan kamar," ujarnya.
Rupanya, karena terletak di jantung Jakarta—hanya sepuluh menit berjalan kaki dari pusat belanja Sarinah—rumah kos-kosan ini cukup diminati. Di sekitar Kampung Bali juga banyak bangunan yang telah dibongkar. Riki menyebutkan kawasan itu memang diincar pengembang karena letaknya yang strategis. "Kalau ada kabar rumah mau dijual, cepat sekali lakunya." Riki mengatakan rumahnya sering disambangi media yang hendak memberitakan kondisi rumah ini, tapi tidak begitu dengan pemerintah. "Sampai saat ini belum pernah ada kunjungan atau bantuan dari pemerintah ke rumah ini," ujarnya.
Rachmi Aziah, putri angkat Ismail Marzuki, menyebutkan rumah yang juga menjadi tempat kerja sang komponis ini dijual sekitar 1959, tak berselang lama setelah Ismail meninggal pada 1958. Rachmi dan istri Ismail, Eulis Zuraidah, kemudian pindah ke Bandung, lalu ke Sawangan, Depok, Jawa Barat. "Dulu dijual untuk biaya makan dan untuk saya sekolah karena kami tidak mendapat uang pensiun dari RRI," ujar Rachmi, yang saat itu berusia delapan tahun.
Firman Atmakusuma, Dian Yuliastuti, Hisyam Luthfiana, Ratnaning Asih, Aminudin (Bandung), Febrianti (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo