Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Ravio Patra dilepaskan oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya setelah diperiksa selama 33 jam, kemarin. Kuasa hukum Ravio, Alghiffari Aqsa, mengatakan status Ravio kerap berubah selama pemeriksaan. Bahkan pegiat isu keterbukaan informasi pemerintah itu sempat berstatus tersangka sebelum diperbolehkan pulang sebagai saksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alghiffari mengatakan terjadi perdebatan antara tim kuasa hukum dan penyelidik ihwal peretasan telepon seluler Ravio. Ia menjelaskan, kepolisian berkeras akun WhatsApp Ravio tidak mungkin diretas. "Polisi sempat menyiapkan surat penahanan," kata dia saat dihubungi, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Alghiffari, tim pengacara sempat kesulitan menemukan kliennya lantaran Kepolisian Daerah awalnya menyatakan tidak ada penangkapan terhadap Ravio. Namun, pada Kamis sekitar pukul 14.00, muncul titik terang. Ia juga mengecam tindakan kepolisian yang menangkap Ravio tanpa surat pemanggilan. "Ini pola pembungkaman orang kritis. Bagian dari teror kepada aktivis."
Kuasa hukum lain, Ade Wahyudin, mengatakan mereka bersama jejaring kelompok masyarakat sipil meminta bantuan sejumlah lembaga, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. "Harapannya, untuk mendesak agar kepolisian transparan," ujar Ade.
Ravio ditangkap kepolisian pada Rabu lalu. Ia dituduh menyebarkan seruan untuk melakukan penjarahan di sejumlah titik. Namun peneliti kebijakan publik itu mengaku ponselnya diretas sebelum pesan tersebut terkirim. Sebelum peretasan itu, Ravio mengkritik pemerintah perihal penanganan Covid-19 dan staf khusus presiden ihwal konflik kepentingan.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, menyarankan agar Ravio melaporkan peretasan tersebut ke polisi. Setelah penangkapan, dia melanjutkan, teman-teman pendamping kembali menghubunginya lantaran sulit menemukan Ravio.
Choirul kemudian menghubungi seorang pejabat di Polda Metro Jaya dan meminta polisi membuka akses kepada para pendamping hukum tersebut. "Kami juga meminta supaya Ravio tidak ditahan," kata dia.
Menurut Choirul, Ravio yang terbiasa menulis secara ilmiah kemungkinan besar sulit untuk menulis dengan bahasa poster, seperti tulisan yang diduga dibuat peretas. "Itu analisis sederhana," ujarnya. "Paling penting untuk diungkap, siapa yang melakukan peretasan ini?"
Komisioner Komnas HAM lainnya, Beka Ulung Hapsara, mengatakan mereka juga menghubungi seorang deputi di Kantor Staf Presiden dan staf khusus Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Namun tidak ada permintaan soal pembebasan Ravio. Menurut dia, komunikasi itu sebatas permintaan supaya kasus Ravio dipantau dan proses hukumnya berjalan adil.
Beka menyatakan kejadian seperti ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara negara. "Ravio mengkritik menggunakan data. Tidak sepantasnya kritik dibalas dengan proses hukum," ia mengungkapkan. DIKO OKTARA
Dari Tersangka Menjadi Saksi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo