Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BPK menemukan penyaluran bansos sembako senilai Rp 88,03 miliar yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Sebanyak 14.253 penerima terindikasi merupakan aparatur sipil negara.
Kementerian Sosial menyatakan telah memperbarui data satu bulan sekali.
JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyingkap kekeliruan yang masih terjadi pada proses penetapan dan penyaluran bantuan sosial. Salah satu temuan utamanya adalah pada bantuan sosial Program Sembako yang dilaksanakan setiap bulan dengan besaran bantuan sebesar Rp 200 ribu per bulan untuk setiap keluarga penerima manfaat (KPM). Penyaluran bantuan ini dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero), bank-bank milik negara, dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI).
Temuan itu dituangkan pada Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Belanja Bantuan Sosial Penanganan Covid-19 Lanjutan Tahun 2022 s.d. Triwulan III pada Kementerian Sosial dan Instansi Terkait di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.
Dalam laporan yang dirilis pada Desember 2022 itu antara lain disebutkan terdapat penetapan dan penyaluran Program Sembako senilai Rp 88,03 miliar yang tidak sesuai dengan ketentuan. Adapun secara nasional, jumlah bansos Program Sembako yang sudah disalurkan hingga triwulan III 2022 senilai Rp 32,78 triliun dari anggaran Rp 45,17 triliun.
“Berdasarkan pemeriksaan terhadap proses penetapan KPM dengan melakukan pemadanan data dengan data kepegawaian pada Badan Kepegawaian Negara (BKN) diketahui terdapat 14.253 KPM terindikasi merupakan aparatur sipil negara (ASN) atau nilai sembako sebesar Rp 22,47 miliar,” tulis laporan tersebut, sebagaimana dikutip pada Ahad, 9 Juli 2023.
Berdasarkan uji petik yang dilakukan BPK di 20 wilayah dan proses konfirmasi yang dilakukan pada Badan Kepegawaian Daerah (BKD), wilayah dengan ASN penerima bantuan terbanyak adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebanyak 92 KPM, diikuti Pemerintah Provinsi Jawa Tengah 61 KPM, dan Pemerintah Kota Medan 32 KPM. “Selain itu, diketahui juga terdapat tiga ASN yang sudah pensiun dan masih menerima bansos Program Sembako pada 2022.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga: Hujan Bantuan di Tahun Pemilihan
Memiliki Pendapatan di Atas Upah Minimum
Keluarga penerima manfaat (KPM) menunjukkan telur bantuan sosial, di halaman Monumen Perjuangan Rakyat di Bandung, Jawa Barat, 10 Mei 2023. TEMPO/Prima Mulia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya itu, kesemrawutan data penerima bantuan sosial juga tampak dari adanya temuan 30.837 KPM Program Sembako yang terindikasi merupakan tenaga kerja dengan upah di atas upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kabupaten/kota (UMK), dan tersalur sebesar Rp 52,71 miliar. “Temuan itu diperoleh berdasarkan pemadanan data KPM dengan data BPJS Ketenagakerjaan,” tulis BPK.
Lembaga auditor negara ini berikutnya juga menemukan adanya penetapan 94 KPM Program Sembako yang terindikasi meninggal dengan nilai yang telah tersalurkan sebesar Rp 91 juta, berdasarkan pemadanan data dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Terakhir, ada pula temuan di mana sebanyak 8.451 KPM Program Sembako yang memiliki jabatan/usaha terdaftar di database Sistem Administrasi Hukum Umum (AHU), yaitu senilai Rp 12,74 miliar.
Baca juga: Tersebab Bansos Salah Sasaran
BPK menjelaskan, temuan-temuan yang mengindikasikan penyaluran bantuan sosial tidak tepat sasaran itu disebabkan oleh dua hal utama. Pertama, Kementerian Sosial disebut tidak memiliki prosedur operasional standar yang mengatur mekanisme umpan balik data penyaluran antara Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial dan Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin di wilayah I, II, III, dan sebaliknya.
“Kedua, pejabat pembuat komitmen (PPK) bansos Program Sembalo pada Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin Wilayah I, II, III, dan Direktorat Pemberdayaan Kelompok Rentan kurang cermat dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan.”
Penetapan penerima bansos yang masih banyak kekeliruan ini tak terlepas dari salah satu kelemahan padu padan dan integrasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial dengan data internal pemerintahan lainnya, seperti BKN, AHU, dan Himpunan Bank-bank Negara. Tim pendataan ditengarai tidak melakukan pengolahan data penerima bansos dengan minimnya proses verifikasi dan validasi kelayakan atas data KPM Program Sembako.
Pembaruan Data Saban Bulan
Petugas memotret keluarga penerima manfaat saat pemberian bantuan sosial bahan makanan di halaman Monumen Perjuangan Rakyat di Bandung, Jawa Barat, 10 Mei 2023. TEMPO/Prima Mulia
Staf Khusus Menteri Bidang Komunikasi dan Media Massa Kementerian Sosial, Don Rozano Sigit Prakoeswa, mengungkapkan, Kementerian Sosial selama ini telah berupaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas penyajian data penerima bansos. “Validasi dan verifikasi sudah dilakukan berkala, dari sebelumnya setahun dua kali menjadi setiap bulan,” katanya. Ihwal temuan BPK tersebut, Kementerian Sosial turut memastikan upaya tindak lanjut yang direkomendasikan.
Langkah perbaikan itu antara lain melakukan kerja sama dengan data penyanding DTKS, seperti dengan BKN, BPJS Ketenagakerjaan, serta AHU Kementerian Hukum dan HAM. Namun, Don mengakui bahwa proses pemutakhiran data dan kerja sama itu masih belum rampung sampai hari ini. "Karena namanya birokrasi kan butuh waktu,” ucap Don.
Sementara itu, ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan bahwa temuan-temuan lembaga auditor negara merupakan temuan rutin tahunan yang berpotensi terus terulang selama permasalahan perihal efektivitas penyaluran bansos tidak diselesaikan dari hulu, yaitu dari titik penentuan dan penetapan data KPM. “Data yang masih tidak update karena berbagai hal, utamanya adalah survei yang dilakukan untuk melakukan pembaruan ini sudah relatif lama,” ucapnya.
Menurut Yusuf, pemerintah daerah penting untuk ikut dilibatkan, khususnya dalam upaya pembaruan dan validasi data, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kota dan kabupaten. “Tapi hal ini juga harus disertai dengan keaktifan dari pemerintah daerah terkait dalam mendukung proses pembaruan data pemerintah pusat,” kata dia.
VINDRY FLORENTIN | GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo