Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Demi Petani dan Kopi Asli

Gerakan perdagangan adil membantu petani kopi mendapatkan penghasilan lebih sekaligus memproduksi biji kopi berkualitas tinggi.

1 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang tersisa dari secangkir kopi di kedai-kedai kopi di luar negeri? Umumnya cita rasa dan asam kopi yang melekat di lidah. Bagi Muhammad Agam Agbari, 29 tahun, bukan hanya itu, tapi juga rasa gemas. ”Beberapa kali selalu lihat kopi-kopi Indonesia jadi menu spesial today,” kata Agam, yang sering melakukan perjalanan ke luar negeri.

Rasa gemas muncul setelah melihat bagaimana apresiasi kopi Indonesia di luar begitu tinggi. Sekembali ke Jakarta, dia justru tak menemukan menu spesial kopi asli. ”Asing di negeri sendiri,” katanya. Latar belakang itulah, terutama, yang mendorongnya membuka Anomali Coffee bersama teman sekolah menengah atasnya, Irvan Helmi. Kedai kopi di Jakarta yang berslogan ”Kopi Asli Indonesia” ini bertujuan mengangkat kopi-kopi dari tanah sendiri.

Kesan serupa dicatat Surip Mawardi, peneliti dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia atau Indonesia ­Coffee and Cocoa Research Institute, Jember, Jawa Timur. Dalam sebuah forum internasional tentang kopi di Amerika Serikat beberapa tahun lalu yang didatanginya, kopi Jawa ditetapkan sebagai maskot, coffee of the year. ”Bangga dan gemas,” katanya.

Dalam catatan Surip, kopi-kopi Indonesia selalu masuk daftar 10 besar kopi terbaik dunia. Tak mengherankan jika banyak orang luar negeri yang terkesan. Kopi Jawa alias Java Coffee, misalnya, sampai menjadi nama bahasa pemrograman komputer (Java) yang dikembangkan Sun Microsystems. Orang Amerika sering memadankan kata ­coffee dengan Java, atau biji kopi sebagai Java bean. ”Padahal itu kopi Jawa,” kata Yusianto, peneliti Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.

Sekitar 90 persen kopi Indonesia masuk daftar kopi premium alias kopi specialty. Standarnya mengikuti kriteria Specialty Coffee Association of America, umumnya dari sisi aroma, baik sebelum maupun sesudah diseduh dengan air panas, sampai saat dicecap bagaimana keasaman (acidity) dan kekentalannya (body). Kualitas itu umumnya diberikan kopi-kopi berjenis arabika yang berkafein lebih rendah dibanding jenis robusta.

Kopi-kopi premium itu tumbuh dari Aceh sampai Papua. Mulai Aceh Tengah, misalnya, ada kopi Gayo—merek internasionalnya Mountain Coffee. Ke selatan, ke daerah Sumatera Utara, dikenal kopi Lintong, Mandheling, Siborong-Borong, dan Sidikalang. ”Salah satu karakter khasnya, punya cita rasa kompleks,” Yusianto, ahli kopi yang terbiasa memberi edukasi tentang kopi Indonesia kepada orang asing, menjelaskan.

Masing-masing kopi Indonesia punya keunikan sesuai dengan karakter daerahnya. Kopi specialty lain dari Bengkulu, misalnya, punya aroma khas cokelat, beda dengan kopi Kintamani, Bali, yang beraroma jeruk atau lemon. Keunikan bergantung pada alam, juga bagaimana pemrosesannya. Di Nusa Tenggara Timur, yang menghasilkan kopi Flores Bajawa, sedikit air dan sinar berlimpah membuat gula yang ada pada permukaan kulit atau buah kopi meresap ke dalam. ”Jadi ada rasa karameli atau madu,” kata Yusianto. Demikian juga kopi Kalosi Toraja atau Wamena dengan keasaman enak.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember tidak berhenti pada riset mencari varietas-varietas unggulan baru. Lembaga yang didirikan pemerintah kolonial Belanda pada 1911—sepuluh tahun lebih tua dari Kota Jember—ini gencar memberdayakan petani-petani kopi. ”Kalau petani berdaya,” kata Surip, ”otomatis kopi-kopinya bagus.”

Untuk itu, belakangan, Pusat Penelitian intensif mempertemukan petani-petani kopi berbagai daerah penghasil kopi unggulan dengan eksportir-eksportir kopi atau pengusaha kedai kopi dalam negeri. Tujuannya memangkas rantai tata niaga kopi, sehingga petani bisa optimal mendapatkan keuntungan, pun dengan pembeli. ”Intinya, kami jadi mediasi, tanpa ada biayanya,” kata Surip.

Setelah sukses dengan petani-petani kopi Kintamani, Bali, pola serupa diterapkan di daerah lain, seperti Bondowoso, Jawa Timur, yang akhirnya berhasil melakukan ekspor perdana tahun lalu. Pengembangan juga dilakukan di daerah-daerah baru, seperti di lereng Gunung Sumbing-Sindoro, Jawa Tengah.

Pola memberdayakan petani itu sudah dipraktekkan Anomali Coffee demi mencukupi kebutuhan kopi untuk tiga kedainya di Jakarta. ”Bukan untuk mencari untung banyak, tapi lebih pada motif sosial mendukung petani-petani yang di barisan depan kopi Indonesia,” kata Agam Agbari. Anomali langsung bertransaksi dengan petani-petani kopi dari daerah kopi specialty yang dijualnya, seperti dari Aceh, Flores, Jawa Timur, dan Wamena.

Berdiri pada 2007, Anomali awalnya seperti kedai kopi pada umumnya: mencari biji kopi di pasaran untuk kemudian diolah di kedainya. Dalam kesempatan bertemu langsung dan melihat kebun kopi di lapangan, Agam mengaku tersentak. ”Di balik secangkir kopi lokal yang mendunia ini ada cerita perjuangan hidup, keringat, bahkan nyawa petani,” Agam mengisahkan.

Sejak itulah Anomali melakukan pola pembelian langsung. ”Pembelian langsung, belum fair trade,” Agam merendah. Jadilah kerja sama itu dengan petani rekanan. Dari beberapa daerah rata-rata tiga sampai lima petani, bahkan ada yang hanya satu petani.

Pembelian langsung tidak menjamin keuntungan berlebih. Standar harga bukan berdasarkan tawar-menawar, melainkan merujuk patokan bursa komoditas di New York. Kadang harga beli dari petani bisa lebih tinggi. Menurut Agam, pihaknya tidak terlalu ketat menghadapi penawaran harga dari petani. ”Mereka hidupnya tidak macam-macam, cukup hidup saja dan anak bisa sekolah sudah bersyukur,” katanya. Kadang harga lebih tinggi dari bursa untuk kasus kopi yang mengikuti pesanan satu kualifikasi khusus.

Anomali memang tidak sekadar membeli kopi. Ada kerja sama peningkatan kualitas kopi bersama petani, juga pengembangan kapasitas dan jejaring petani. ”Kami berikan referensi atau kadang uji coba bersama-sama mencari proses pengolahan yang menghasilkan kopi terbaik,” kata Agam. Para petani pun dikenalkan dengan rekanan Anomali, baik sesama pengusaha kedai maupun eksportir. ”Misal petani mendapat harga lebih baik, tidak apa-apa menjual selain kepada kami,” katanya.

Mencoba berdagang dengan lebih adil, begitulah pakem bisnisnya. ”Petani-petani di hutan tidak tahu harga di luar berapa. Ini dimanfaatkan pedagang yang tidak etis,” kata Prasetyo Hadi, peneliti dari Lembaga Penelitian Pendidikan Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Setahun terakhir, Prasetyo dan teman-teman mengembangkan Koffie Goenoeng Fair Trade. Semangatnya menjaga kopi-kopi Indonesia, memberikan hak konsumen agar dapat menikmatinya, dan memberdayakan petani-petani kopi. ”Tujuan kecilnya agar kita tahu enaknya kopi sendiri,” kata Prasetyo.

Proyek pertama Koffie Goenoeng dimulai tahun lalu di Manggarai, Flores. Modalnya Rp 15 juta, hasil patungan beberapa orang. ”Belum tahu apa-apa, pokoknya yang penting beli kopinya dulu dengan harga benar,” kata Prasetyo. Ratusan kilogram kopi hasil pembelian itu kemudian diolah sendiri (home ­roasting) dan dijual melalui jaringan pertemanan.

Dalam perkembangan sekarang, gerakan Koffie Goenoeng mendapat sambutan positif dari pembeli dan petani. Dari sisi pembeli mulai muncul yang menawarkan dana dengan semangat menjalankan fair trade. Petani-petani pun berani menitipkan kopinya untuk dijual kembali.

Seperti halnya Anomali, gerakan Koffie Goenoeng mengimbangi pembelian kopi itu dengan edukasi kepada para petani, mulai penanaman yang benar, pemanenan, penyimpanan, sampai pengolahannya. ”Harus petik yang matang, agar tidak mengganggu proses alamiah tanaman,” Prasetyo mencontohkan.

Prinsip alami ini pulalah yang menjadi pegangan Anomali. Ada cerita tentang kopi luwak—kopi hasil fermentasi alami luwak—yang terkenal enak hingga pernah dibahas khusus dalam ­Oprah Winfrey Show. Agam mengisahkan, satu saat ada petani rekanannya yang mencoba menangkarkan luwak, untuk menggenjot produksi kopi luwak. Agam mengancam menghentikan kontrak jika proses itu dipaksakan. ”Kopi asli Indonesia bernilai kalau memang alami sesuai dengan aslinya, tidak direkayasa.”

Harun Mahbub, Mahbub Djunaidy (Jember)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus