Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga bulan belakangan ini, Desa Dalo dan Desa Golo Nderu, sekitar 20 km dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, mencuat jadi bahan obrolan di warung-warung di seluruh Kabupaten Manggarai. Sumbernya adalah peristiwa akhir bulan Juli lalu, ketika warga kedua desa itu terlibat konflik fisik untuk memperebutkan tanah adat. Empat jiwa melayang dalam perkelahian massal itu. Dan baru akhir November ini, kasus yang sensitif itu akan disidangkan oleh PN Ruteng. Memang tak mudah menangani kasus-kasus tanah adat di Kabupaten Manggarai. Itu karena satuan tanah adat atau lingko, yang diperoleh lewat upacara adat, merupakan wilayah hukum adat dari sekelompok orang yang seketurunan. Lingko tak hanya sekadar lahan untuk mencari nafkah, tapi juga manifestasi dari daerah kekuasaan pemimpin keluarga setempat. Jadi, ketika perebutan lingko diselesaikan lewat hukum perdata yang formal -- yang jelas tidak menempatkan adat sebagai pertimbangan utama -- selalu ada pihak yang tidak puas. Peristiwa Desa Dalo dan Desa Golo Nderu sendiri sebenarnya bukanlah kasus sengketa tanah adat pertama yang diwarnai dengan perkelahian massal. Sebelumnya, tahun 1990, terjadi keributan antara Desa Coal dan Desa Sama, yang membawa tiga korban jiwa. Lalu ada lagi perang tanding Desa Dimpong-Rembong melawan orang Gawut, dengan korban tiga orang tewas. Masih pada tahun yang sama, satu orang meninggal ketika terjadi perkelahian warga Desa Taga dengan Desa Mena, dan warga Desa Kale dengan Desa Ndajang yang membunuh seorang hansip, sedangkan kasus antara Desa Ancor dan Desa Reuh tidak membawa korban. Semua perebutan tanah adat itu sudah masuk pengadilan dan mendapat keputusan hakim. Tapi, pihak yang kalah tak selalu menerima putusan pengadilan dan memilih jalan kekerasan. Padahal, sekali panji perang dikibarkan, dendam tak mudah dipadamkan. Seperti kasus Dimpong-Rembong melawan Gawut, mestinya sudah selesai dengan dihukumnya lima orang pelaku pembunuhan. Apalagi di hadapan hakim, para warga yang bersengketa sudah sepakat berdamai. Bahkan kesepakatan damai antara warga yang sebagian besar beragama Katolik itu disaksikan oleh seorang pastor. Namun, di luar ruang pengadilan emosi marak kembali. Sebelum upacara perdamaian dengan pemotongan kerbau digelar, orang- orang Gawut membakar Desa Dimpong yang kemudian dibalas kembali oleh orang Dimpong. Upacara perdamaian secara adat tinggal rencana saja. Sengketa tanah tampaknya memang mewarnai kepemimpinan Bupati Manggarai Gaspar Parang Ehok, yang masa jabatannya akan habis bulan April 1994. Sampai saat ini saja, di PN Ruteng masih tersimpan 12 perkara yang sudah mendapat keputusan pengadilan tapi belum dieksekusi. Ke-12 putusan pengadilan itu mengandung potensi konflik fisik. Biasanya setelah eksekusi dilaksanakan barulah konflik jadi marak total. Padahal masih ada 12 perkara lain yang belum diputuskan, yang masuk ke PN Ruteng selama tahun 1992 dan 1993. Banyak suara yang menyesalkan pendekatan yuridis formal dalam menangani sengketa tanah di Kabupaten Manggarai itu. ''Waktu saya jadi bupati dulu, tidak pernah ada masalah tanah,'' kata Frans Sales Lega, bekas Bupati Manggarai. Kuncinya, tambah Lega, adalah pendekatan adat yaitu dengan mendatangi penduduk dan membawa kate manu lele tua atau seekor ayam putih dan seguci tuak Manggarai. Menurut adat Manggarai, jika seorang ingin meminta tanah pada seorang gelarang atau semacam pemimpin wilayah, orang itu tinggal menghadap gelarang tersebut dengan membawa syarat ayam putih tadi. Setelah melewati upacara singkat itu, gelarang biasanya akan bermurah hati sambil menunjuk tanah tertentu yang akan diserahkan. Seusai upacara, tanah tadi langsung bisa digarap. Itulah pendekatan yang ditempuh Frans Sales Lega ketika dia jadi Bupati Manggarai. Hasilnya, selama masa kepemimpinannya, diperkirakan ribuan hektare tanah adat milik penduduk diserahkan kepada Pemda Manggarai dengan sukarela. Itu sebabnya, Lega yakin kalau saja Gaspar Parang Ehok mendekati pihak yang mempersengketakan lingko itu secara adat, perang tanding tidak akan terjadi. ''Jangan sedikit-sedikit pendekatan hukum, pengadilan, undang-undang. Rakyat Manggarai itu tidak kenal hukum, yang mereka kenal adat,'' katanya dengan nada tinggi. Gaspar Parang Ehok sendiri hanya melepas tawa ringan. ''Kalau perkelahian itu dianggap kegagalan saya dan ada orang lain yang lebih mampu, silakan. Saya akan pergi dari sini,'' katanya. ''Tapi, kalau Anda pikir, saya ini pamong Manggarai, maka senangnya rakyat juga senangnya saya, susahnya rakyat juga susah saya. Saya ingin berdiri pada mereka yang menang maupun yang kalah,'' katanya tenang. Gaspar memang tak mau ikut ribut karena memang ada suara-suara bahwa keramaian sengketa tanah sengaja ditiupkan menjelang pemilihan bupati mendatang. Bagi Gaspar, sengketa tanah tak perlu diributkan terus, tapi segera diselesaikan. Dalam kasus terakhir antara Desa Dalo dan Golo Nderu itu, misalnya, cepat-cepat ia tawarkan transmigrasi lokal kepada 49 keluarga Desa Golo Nderu yang kehilangan tanah berupa dua lingko yang jadi sengketa. ''Asal mereka mau saja, saya usahakan dananya,'' kata Gaspar. Dia juga sudah menawarkan kerbau untuk upacara perdamaian secara adat. Tapi, dia tak yakin upacara pemberian kate manu lele tua akan menyelesaikan masalah sengketa tanah. Lagi pula, rebutan tanah Desa Dalo dan Golo Nderu tidak muncul di masa pemerintahan Gaspar, tapi sudah berkembang sejak tahun 1940. Menurut Benediktus Beduk, 65 tahun, ketua adat Desa Golo Nderu, pada tahun 1938 Raja Bagung dari Desa Laci membuat pembagian lingko untuk Desa Dalo dan Desa Lao -- yang sekarang jadi Desa Golo Nderu. Orang Lao mendapat lima lingko, dan orang Dalo mendapat enam lingko. Tapi versi orang Dalo lain lagi. Menurut Domi Ndego, 60 tahun, ayah salah seorang korban yang meninggal akibat perkelahian memperebutkan lingko, orang-orang Desa Lao mengambil lima lingko yang mestinya merupakan milik orang Dalo. Dan pada tahun 1942, pemerintah swapraja memang mengembalikan kelima lingko yang jadi sengketa kepada orang Dalo. Lingko sengketa itu adalah lingko Hembet, lingko Lanteng Mese, lingko Kenda, lingko Pilus, dan lingko Mulu. Namun, kenyataannya, orang-orang Lao tetap saja bertani di lima lingko itu karena yakin bahwa kelima lingko merupakan hak mereka. Sementara itu, orang Dalo tidak mau menerima keyakinan itu begitu saja dan menyerah dan terus menuntut dilaksanakannya putusan pemerintahan swaparaja. Waktu itu pemerintahan yang sah menurut adat Manggarai adalah pemerintah swaparaja. Walau kemudian orang Dalo berulang-ulang mengajukan kembali kasus itu ke pengadilan sekalipun, baru pada tahun 1966 sengketa tanah itu diputuskan oleh PN Ruteng. Namun, berdasarkan putusan PN Ruteng itu, dari lima lingko yang diperebutkan, hanya dua lingko yang diserahkan kepada orang Desa Dalo, yakni lingko Hembet dan lingko Lanteng. Tiga lingko lainnya tetap jadi milik orang Lao atau orang Golo Nderu. Keputusan menyerahkan dua lingko itu, sebenarnya, tak semata- mata menggunakan pendekatan hukum formal semata, tapi juga sudah mempertimbangkan adat istiadat. Menurut adat orang Manggarai, sungai atau gunung adalah batas pemisah wilayah sebuah desa. Dan di kawasan lima lingko sengketa itu terdapat Sungai Way Kampas. Jika menggunakan Sungai Way Kampas sebagai pembatas, lingko Hembet dan Lanteng akan masuk ke dalam wilayah Desa Dalo. Tiga lingko sisanya, yang berada di seberang sungai, masuk ke wilayah Desa Lao. Bagi orang Dalo, putusan itu sudah cukup memuaskan. ''Tak apa- apalah, kami dikasih dua, orang Lao dikasih tiga, saya rasa cukup adil,'' kata Domi Ndego ketika mendengar keputusan PN Ruteng tahun 1966 itu. Sayangnya, orang Lao yang justru tidak mau kehilangan lahan pertanian sebanyak dua lingko. Dan mereka naik banding. Usaha naik banding itu kandas karena pada tahun 1967 Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Timur menguatkan putusan PN Ruteng, yang artinya dua lingko harus diserahkan pada orang Dalo. Namun, orang Lao, sambil tetap tinggal dan mengolah padi maupun ubi kayu di lingko Hembet dan Lanteng, maju lagi ke Mahkamah Agung yang pada tahun 1990 kembali menguatkan putusan sebelumnya. Tiga tahun kemudian, MA memerintahkan eksekusi atas dua lingko yang luasnya mencapai 10 ha itu. Waktu perintah eksekusi turun, Juni 1993, orang Lao minta penundaan karena padi dan ubi kayu yang sudah mereka tanam sedang memasuki masa panen. Penundaan itu dikabulkan Ketua PN Ruteng, Dt. Rizal Sanit Bandaro Sati, S.H. Setelah waktu untuk panen dianggap selesai, walau kabarnya banyak pohon ubi kayu yang tidak disentuh oleh orang Desa Golo Nderu, pelaksanaan eksekusi disiapkan lagi. Sampai akhirnya, pada tanggal 22 Juli 1993 tim eksekusi memasang patok di kedua lingko sengketa. Orang-orang Golo Nderu yang masih tinggal di kedua lingko, yang jumlahnya 49 keluarga, segera diperintahkan keluar. Tak ada masalah besar yang timbul ketika eksekusi, yang langsung dipimpin Dt. Rizal Sanit Dato Bandaro Sati, S.H. Hari itu, ketika patok eksekusi sudah dipajang dan penduduk sudah meninggalkan lingko, eksekusi dianggap selesai tuntas. Apalagi polisi yang belakangan mengawasi kedua lingko tidak menemukan tanda-tanda perlawanan dari orang Golo Nderu. Namun, itu tak berarti orang Golo Nderu meninggalkan kedua lingko dengan sukarela. ''Kalau tanah itu kami serahkan, apa yang kami garap? Bagaimana kami bisa hidup?'' tanya Benediktus, yang terpaksa ikut pindah karena eksekusi itu. Itu sebabnya, sebelum eksekusi berlangsung orang Golo Nderu sudah mengajukan peninjauan kembali ke MA. Dan dalam pikiran Benediktus, permohonan peninjauan kembali otomatis akan menunda eksekusi. Dengan keyakinan itu, gagasan transmigrasi lokal yang ditawarkan Bupati Gaspar Parang Ehok tak mereka gubris. Lagi pula, bagi Benediktus, transmigrasi sudah tak mungkin lagi. ''Kami ini sudah tua, kenapa disuruh membuka tanah baru lagi?'' katanya. Maka, waktu eksekusi berlangsung, Benediktus tak mau menanda-tangani berita acara eksekusi, walaupun ia menurut saja disuruh meninggalkan rumah. Sehari setelah eksekusi, orang Golo Nderu berduyun-duyun datang kembali ke lingko Hembet dan Lanteng. Kedatangan -- atau menurut versi mereka merupakan kepulangan -- malah diramaikan tabuhan gong dan ikat kepala. Setibanya di kedua lingko yang sudah jadi milik Desa Dalo, orang Golo Nderu segera mencabuti patok-patok eksekusi yang sudah ditanam. Alasannya, banyak patok eksekusi tidak sesuai pada tempatnya. Tapi, tampaknya, alasan yang sesungguhnya adalah penolakan terhadap putusan pengadilan. Rupanya, orang Dalo juga tidak mau menyerah begitu saja dan berusaha mengembalikan patok-patok eksekusi. Pada tanggal 28 Juli 1993 pagi, sekitar 30 orang pria dari Desa Dalo mendatangi kedua lingko untuk membenahi patok yang telah dihancurkan oleh orang Golo Nderu. Serunya, mereka datang bersenjatakan tombak, parang, batu, dan senjata tajam lainnya. ''Kami bersiap-siap, bukan karena mau perang. Hanya untuk berjaga-jaga,'' kata Domi Ndego memberi alasan. Soalnya, menurut Domi Ndego, sejak hari eksekusi, setiap malam orang Golo Nderu meneror orang Dalo dengan melempar batu ke rumah-rumah penduduk, merusakkan tanaman dan sebagainya. Apalagi jika mengingat bahwa perkelahian bukan hal baru antara orang Golo Nderu dan orang Lao, mereka menganggap perlu untuk membawa senjata sebagai persiapan membela diri. Memang, pada tahun 1939 dan 1966, warga kedua desa itu pernah terlibat bentrok fisik yang membawa satu korban jiwa. Karena khawatir akan teror orang Golo Nderu, beberapa orang Dalo tetap tinggal di kampung. Itu ternyata kekhawatiran yang beralasan karena pukul 09.00 pagi, seorang warga dari Desa Dalo yang bertugas menjaga kampung datang tergopoh-gopoh menyampaikan kabar buruk pada kelompok orang Dalo yang saat itu masih bertugas mengembalikan patok eksekusi. Rupanya, ketika sebagian besar pria meninggalkan Desa Dalo, orang-orang Golo Nderu datang menyerbu. Dalam serbuan yang mendapat perlawanan dari orang Dalo, satu orang Dalo meninggal dan empat lainnya luka. Yang meninggal adalah Hubertus Ehok, 38 tahun, pemain caci -- sebuah pertandingan saling cambuk antara dua orang lelaki -- yang cukup tersohor di Ruteng. Bapak empat anak ini sebenarnya dipersiapkan menggantikan posisi Domi Ndego sebagai tua-golo atau pemimpin masyarakat di Golo Nderu. ''Dia yang paling paham masalah-masalah adat kami,'' keluh Domi Ndego, yang sampai sekarang masih menyesalkan kematian anaknya. Melihat kampungnya diserang, orang Dalo segera mendidih darahnya. Hari itu juga mereka balas menyerbu Desa Golo Nderu. Kali ini jatuh korban jiwa Anton Bongkok, 58 tahun, Hilarius Ngampung, 50 tahun, dan Primus Katut, 50 tahun. Mereka tergeletak di depan rumah ''gendang'' atau rumah adat Manggarai dengan luka di sekujur tubuh. Yang paling parah adalah Anton Bongkok. Bokongnya bonyok, paha kanannya hampir putus, betis kanannya penuh sabetan, sementara di punggung ditemukan beberapa bekas sayatan parang. Wajahnya kehitaman dihantam batu. Menurut Benediktus, orang-orang Dalo yang menyerbu Desa Golo Nderu pada mulanya juga akan membakar rumah adat. Tapi, wanita- wanita Golo Nderu menghalang-halangi niat itu -- yang jika sempat terjadi akan membuat suasana makin keruh -- dengan berbaris di depan rumah adat mereka. Rupanya, di balik kemarahannya, orang Dalo masih memegang teguh pantangan menyerang kaum wanita. Sejauh ini, polisi sudah berhasil memeriksa empat pelaku utama dari Desa Dalo. ''Keempat orang itu sudah mengaku telah membunuh korban,'' kata Letkol I Nengah Suwenda S., Kapolres Manggarai. Selain pelaku utama, 11 saksi yang dicurigai terlibat juga bakal diseret polisi. Semua saksi itu sampai saat ini membantah keterlibatan dalam peristiwa terbunuhnya tiga orang Desa Golo Nderu. Di antara 11 nama saksi itu tersebut terdapat nama Domi Ndego, ayah korban Hubertus Ehok, dan Hermanus Barut, seorang pemuka masyarakat di Dalo. Tapi, Domi Ndego tidak menerima tindakan yang menyeretnya sebagai saksi yang terlibat. Dia kesal karena tidak ada penahanan atas orang Golo Nderu, yang justru menyulut keributan dan membunuh Hubertus Ehok. ''Kenapa tidak ada yang ditahan?'' tanyanya kesal. ''Mereka menyerang desa kami. Kalau kami tidak membalas, kami ini binatang,'' tambahnya. Walau sidang belum dimulai, Domi Ndego dan warga desa Dalo lainnya sudah siap untuk tidak menerima putusan pengadilan. ''Kami tidak terima kalau yang membunuh orang Golo Nderu dihukum. Kami akan naik banding, kalau perlu terus sampai ke kasasi,'' ujarnya. Itu soal biasa bagi Ketua PN Ruteng, Rizal Sanit Dato Bandaro Sati, S.H. ''Naik banding? Silakan, kita hormati. Itu hak mereka. Kalau memang tidak bersalah, mereka tidak akan dihukum, kok,'' katanya. Sayang, masalahnya sudah bukan sekadar bersalah atau tidak lagi, tapi menyangkut dendam keluarga yang tak mudah pupus. Liston P. Siregar (Jakarta) dan Putu Wirata (Ruteng)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo