Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara: Kita Terlalu Bergantung pada Dolar

Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat turut menekan Bank Indonesia.

9 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat turut menekan Bank Indonesia. Ketika rupiah mulai merangsek ke level 13.900 per dolar AS pertengahan bulan lalu, bank sentral berupaya mengklaim upaya mereka mengintervensi pasar telah dapat menahan kedigdayaan dolar. Nyatanya, pekan ini rupiah tersungkur di atas level 14.000-pertama kalinya sejak Desember 2015.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ditemui Ghoida Rahmah dari Tempo di Yogyakarta kemarin pagi, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara, menjelaskan akar persoalan yang dihadapi rupiah. Di Jakarta, sore harinya, Mirza menyatakan Bank Indonesia tak akan menutup kemungkinan menaikkan suku bunga acuan seperti dilakukan sejumlah negara tetangga. Berikut ini petikan wawancaranya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengapa rupiah ringkih menghadapi dolar AS?

Ini diawali dengan Amerika Serikat sebagai penyedia likuiditas dolar di dunia. Perdagangan dan investasi kita masih didominasi oleh kurs mereka. Suka tidak suka, situasinya masih seperti itu. Kami sudah berusaha lakukan diversifikasi, de-ngan local currency settlement, kerja sama dengan Thailand dan Malaysia. Tapi ini bicara jangka panjang. Tidak mudah mengubah perilaku dunia usaha yang sudah terbiasa menggunakan dolar untuk ekspor-impor.

Bukankah ini karena The Federal Reserves berencana menaikkan suku bunga mereka?

AS sudah mulai menaikkan suku bunga ke arah yang normal, sejak tren suku bunga rendah mereka di 2015. Saat ini bukan suku bunga normal mereka, karena yang normal itu berada sedikit di atas inflasi. Kalau inflasi AS sebesar 2 persen, mungkin kenaikannya menuju 3 persen, dari posisi saat ini 1,75 persen. Tahun ini kami prediksi dinaikkan tiga kali, tapi ada kemungkinan juga jadi empat kali.

Lalu apa yang harus dilakukan Indonesia?

Sumber pembiayaan dalam negeri kita itu tidak cukup. Jadi, untuk membiayai perekonomian, kita butuh dana dari luar negeri. Kita butuh impor, utang, dan bayar dividen semuanya dalam bentuk valas. Nah, valas datangnya dari mana? Ya dari ekspor, pariwisata, dan dari tenaga kerja di luar negeri. Maka utamanya yang harus didorong pemerintah adalah me-ngembangkan ekspor dan pariwisata. We are on the right track.

Apa cukup begitu?

Kita lihat saja. Negara yang ketahanan kursnya kuat adalah negara yang neraca ekspor-impornya surplus. Kita kan sekarang masih defisit sekitar 1,7 persen dari PDB. Tidak apa-apa, kami coba kendalikan dan dorong di bawah 3 persen. Negara yang neracanya surplus, kursnya di saat seperti ini justru terapresiasi, seperti Malaysia, Singapura, Jepang, dan Cina.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus