Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Desa yang kehilangan pria

Profil desa rejodadi, gresik, jawa timur. hampir semua laki-laki di desa tersebut bekerja di malaysia. (sel)

7 April 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cintaku jauh di Malaysia Kapan pulang, ia bawa radio kaset, bawa kalung, bawa jam tangan ia bayar semua utang dan aku berdandan Desa-desa melenguh sepi Tiada lelaki, tiada hansip Tiada riuh anak mengaji (Telantar perahu di pantai Gresik Para nelayan sudah menghilang) Cintaku jauh di Malaysia Kapan pulang, ia bawa bahan bangunan bawa listrik bawa pengeras suara Ia pulang naik Garuda BEGITU melihat pengunjung datang menenteng kamera, anak-anak berhamburan ke luar rumah. Menyusul para wanita, tua muda, termasuk ibu-ibu yang menggendong bayi. Tapi tak tampak pria dewasa. Dengan wajah ceria, anak-anak itu berteriak "Hidup Malaysia!". Berulang kali. Hidup Malaysia? Di sini, di Kampung Rejodadi, Desa Campurejo, Kecamatan Panceng, Gresik, Jawa Timur, ribuan kilometer dari pinggir terdekat Malaysia7 Tidak ada tamu Malaysia yang datang. Nasir, pembantu Kepala Desa Campurejo, menjelaskan, "Malaysia di sini memang populer. Mulai kira-kira tiga empat tahun yang lalu. Habis, semua ini memang rezeki dari sana." Ia merentangkan tangannya, menunjuk sekelilingnya: Di kiri kanan, sepanjang jalan, berjajar-jajar rumah tembok dengan kaca nako yang tampaknya belum lama dibangun. Bau semen dan kapur mengapung di udara, bercampur bau amis ikan. Tercium juga bau laut. Di beberapa rumah yang masih terbuat dari babu, terlihat batu bata dan pasir tertumpuk di depan atau samping rumah. Tumpukan itu rasanya seperti sebuah janji bahwa rumah bambu dan gedek akan segera berganti dengan bangunan loji. Suara lagu dangdut memancar dari sana sini. Dan menyebarlah bau kemakmuran desa. Apalagi bila orang melongok ke dalam beberapa rumah. Di hampir semua rumah terpasang pesawat televisi yang memakai tenaga aki. Juga tape recorder, dengan pengeras suaranya yang berdentam-dentam. Di dinding tergantung potret Presiden Soeharto dan Wapres Umar Wirahadikusumah. Dan di mana-mana terlihat wajah cerah. Semua ini rezeki dari Malaysia? Nasir mengangguk. Lalu berkisah, mirip sebuah dongeng, tentang suatu mukjizat. Tentang bagaimana suatu kampung miskin dalam tempo singkat berubah dadi rejo (menjadi makmur). Syahdan beberapa tahun yang lampau, Rejodadi, yang masih bernama Mojosir, dikenal paling miskin di Kabupaten Gresik. Hampir semua rumah terbuat dari gedek, dan banyak yang beratapkan rumbia. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai nelayan atau buruh ladang garam. Banyak yang harus mengambil upahan di kampung lain. Laut ternyata tak begitu bersahabat. "Rata-rata nelayan di sini hanya memperoleh sekitar seribu rupiah sehari," kata Muslich, carik Campurejo. Memang lumayan bila para nelayan memakai gillnet. "Mereka bisa pulang tiap hari. Terkadang empat orang bisa mendapat 75 kilo, atau kalau untung malah sampai 100 kilo," tutur Nasir. Harga sekilo ikan di Campurejo Rp 450. Lain halnya jika memakai jaring purse seine. "Selain harus ke daerah lepas pantai, juga setelah beberapa minggu baru bisa pulang. Padahal sering cuma mendapat 100 sampai 150 kilo. Berarti, kerja beberapa minggu itu cuma mendapat Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu. Itu pun harus dibagi sepuluh orang, karena untuk memakai purse seine paling tidak diperlukan tenaga sepuluh orang." Itu masih cerita Nasir. Pada musim barat (angin besar), cuaca buruk - dan para nelayan tidak berani melaut. Paceklik itu, menurut Nasir, membuat mereka menjual apa saja untuk menyambung hidup: piring, gelas, kain, sarung, apa saja. Pada tahun 1981/1982 Campurejo mendapat kredit Bimas Nelayan sebesar Rp 427 juta, berupa perahu motor dan peralatan menangkap ikan. Menurut Muslich, setelah itu pendapatan para nelayan memang agak naik. Berapa? "Ya, paling banyak Rp 1.200 sehari. Habis bagaimana, mereka tidak bisa mendapatkan ikan lebih banyak lagi." Malah kini para nelayan itu kewalahan mengembalikan kredit tadi. Cicilan yang telah disetor hingga kini baru Rp 16 juta. Arkian, di tengah derita itu, suatu hari muncullah Sahuri. Dia ini pemuda Campurejo. Pendidikannya baik: lulusan Pendidikan Guru Agama (PGA) Muhammadiyah 1975. Ceritanya, ia baru kembali dari Malaysia. Karena sulit memperoleh pekerjaan, tahun 1977 Sahuri nekat ikut seorang kenalannya yang berasal dari Bawean, ke Singapura. Dan karena di Singapura tidak ada kerja, ia pindah ke Malaysia. Bagaimana di sana? "Di sana saya bekerja sebagai kuli batu di sebuah bangunan," kisahnya. Sahuri mengaku, di Malaysia baru merasakan nikmatnya bekerja keras dengan imbalan yang halal. "Pokoknya kalau mau bekerja keras dan jujur, hasilnya lumayan," katanya. Dua tahun di Malaysia, sewaktu pulang ia membawa uang sekitar tiga juta rupiah. "Saya membangun rumah dan kawin. Kini anak saya sudah dua." Keberhasilan Sahuri, 35 tahun kini, membuat banyak pemuda Campurejo tergiur. Waktu ia mau kembali ke Malaysia banyak yang mau ikut. Maka mulailah karier baru alumnus PGA ini - sebagai pengawal dan penyalur tenaga kerja ke Malaysia. Ia berkeliling kampung, mendaftar orang-orang. Untuk itu ia mengutip biaya Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu tiap calon. "Uang itu untuk biaya administrasi, termasuk pengurusan paspor, visa, tiket, dan biaya makan selama mereka belum mendapat kerja." Kini ia berstatus penyalur tenaga resmi dari sebuah perusahaan. "Sejak 1979 sudah ribuan orang saya kirim ke Malaysia," katanya. Maka pada tahun 1979 itu pula bermula suatu eksodus. Berbondong-bondong pria Campurejo meninggalkan desa, mengikuti kafilah pencari rezeki menuju Malaysia, tanah harapan. Semula izin keluar sulit didapat. "Dulu, tahun 1980, saya larang orang sini pergi ke luar negeri. Tapi saya didemonstrasi. Katanya, kalau begitu sampeyan yang menanggung belanja keluarga kami! Wah, repot - apa ya mungkin," kata Carik Muslich. "Sekarang, biar ke mana pun mereka pergi saya izinkan. Asalkan secara resmi, dan kira-kira tidak akan telantar." Campurejo pun berubah. Desa dengan luas 365 hektar itu - hanya 67 hektar berupa sawah - dan terdiri dari tiga kampung (Rejodadi, Sidorejo, dan Karang Tumpuk) mulai kehilangan para prianya. Menurut statistik, jumlah penduduk di sini 5.265 orang, terdiri dari 2.624 lelaki dan 2.641 perempuan. Sampai akhir 1983 lebih dari seribu pria desa ini tercatat bekerja di Malaysia. "Pertengahan Februari yang lalu berangkat lagi 57 orang," ujar Pak Carik, sambil melihat catatannya di buku agenda. Yang paling berubah Rejodadi. Kampung ini resminya dihuni 325 jiwa yang terdiri dari 80 keluarga. Tapi sekitar 150 pria, 75 di antaranya kepala keluarga, kini di rantau. Di kampung ini sekarang tinggal hanya lima laki-laki. "Malah Pak Modin juga ikut ke Malaysia," kata Kasmiun, 65, salah seorang pria yang tertinggal. Kaburnya modin, pejabat desa yang mengurus perkawinan dan kematian, sebenarnya cukup merepotkan. "Kalau ada yang mati atau kawin, terpaksa kami mencari modin di Campurejo," ujar Kasmiun. Tapi tampaknya Kasmiun tak berkeberatan modinnya ikut merantau. "Ya, biar. Wong di sana bekerja, dan hasilnya lumayan. Daripada di sini." Buat Kasmiun, orang yang berani meninggalkan desanya untuk berjuang mencari nafkah di luar negeri patut dihargai. Namanya "berani mengubah nasib". Ia sendiri, karena merasa sudah terlalu tua, terpaksa tinggal di kampung. Tapi dua orang anak lelakinya juga di Malaysia. Dan ia bangga. "Lihat rumah saya sekarang. Ini semua berkat kiriman dari Malaysia!" Menurut ceritanya, dulu ia dan kedua anaknya menangkap ikan. Hasilnya cuma sekitar Rp 900 sehari. "Apa cukup untuk makan sekeluarga?... Nelayan itu sengsara. Bekerja menyabung nyawa. Lebih baik ke Malaysia," begitu kesimpulannya. Lebih baik ke Malaysia. Semboyan ini tampaknya merasuki hampir semua pria Rejodadi. Bahkan seorang bocah berumur 14 tahun ikut pula bekerja di sana. Sebagai apa? Inilah cerita Ali Mahmud, 30, yang bulan lalu pulang ke kampung. "Saya di sana bekerja sebagai buruh bangunan. Upahnya 28 ringgit sehari, yah sekitar Rp 9.000. Kalau di sini paling banyak 'kan cuma tiga ribu. Itu pun kalau ada pekerjaan." Lalu, sudah makmurkah hidupnya kini? Ali Mahmud agak tersipu. "Uang saya ludes untuk beli tiket pesawat. Habis bagaimana lagi, istri saya kangen terus. Dalam satu tahun ini sudah tiga kali saya pulang," katanya. Katanya lagi, dengan kalem, "Tapi saya ya masih bisa membangun rumah semacam ini." Dan rumah itu, dari tembok, lumayan bagus. Ada televisi hitam putih 14 inci di ruang dalam. Dan, tentu saja, juga tape recorder dengan pengeras suaranya yang berdentam-dentam itu. Tentu saja tidak semua pria Campurejo punya istri seperti Mbakyu Ali Mahmud, yang sering rindu suami. Sebagian besar suami itu bisa jarang pulang, bekerja keras dan menabung, serta mengirimkan hasil jerih payah ke kampung halaman, anak-anak dan masa depan. Uang kiriman dititipkan kepada kurir atau koordinator yang semula mengatur keberangkatan mereka. Salah satu kurir pembawa uang itu adalah Muassan, 32, yang bulan lalu ditemui Choirul Anam dari TEMPO di Campurejo. "Tiga bulan sekali saya pulang naik Garuda," katanya. Muassan ini lulusan madrasah ibtidaiyah. Sekarang pakaiannya cukup perlente: celana jin, dengan kaus lengan panjang bertuliskan Malaysia. "Di sana saya bekerja di bangunan tingkat dua puluh lima. Upahnya 30 ringgit sehari. Setiap bulan saya bisa menabung Rp 300 ribu bersih." Para pria Campurejo, katanya, umumnya bekerja di kawasan Kuala Lumpur, Selangor, Batu Pahat, dan Johor semuanya di Semenanjung. Sebagian besar menjadi tukang kayu atau tukang batu. Ada juga yang di perkebunan kelapa sawit. Menurut Muassan, hak buruh di sana diperhitungkan benar. Bekerja lembur pada hari libur, dari pukul delapan pagi sampai delapan pagi lagi, dihitung kerja lima hari. Kalau hanya sampai pukul delapan malam dihitung tiga hari. Bukan cuma duit titipan untuk keluarga yang dibawa pulang Muassan. Bulan lalu, misalnya, ia juga membawa uang sumbangan warga Campurejo di Malaysia yang dikirimkan untuk membangun langgar kampung. Jumlahnya Rp 500 ribu. "Sebagian besar dana pembangunan masjid, langgar dan sekolah di sini memang berasal dari kiriman mereka yang di Malaysia," kata Gunawan, salah seorang pembantu Muslich. Dua bulan lalu bahkan datang kiriman Rp 1,5 juta dari warga Rejodadi, dengan pesan khusus agar dipakai membeli diesel pembangkit listrik. Maka sebuah mesin diesel Kubota 18 TK (tenaga kuda), lengkap dengan kabel dan lampu neonnya, dibeli. Dan listrik pun masuk Rejodadi. Setiap rumah mendapat jatah 10 watt. Tiang listrik dari bambu kini berjajar sepanjang jalan kampung dengan lampu neonnya. "Malam hari sekarang terang. Orang sekarang juga giat berjamaah subuh. Karena terang," tutur Muksim, pamong Kampung Rejodadi . Para wanita Rejodadi ternyata pasrah ditinggal suami mereka. Halimah, 26, sudah dua tahun hidup bagaikan janda. "Ya biar pergi. Daripada di sini terus melarat," katanya, di beranda rumahnya yang terbuat dari tembok. Tidakkah mereka khawatir suami akan tergoda wanita seberang sana? "Soal godaan, biasa. Namanya saja wonglanang (lelaki). Yang penting kiriman duit tidak kurang. Kalau cuma seratus ribu sebulan, bojo (suami) patut dicurigai," kata Ny. Miaun. Suaminya, Matderi, yang sudah tiga tahun belum sekali pun pulang, biasa mengiriminya Rp 300 ribu setiap dua bulan. "Malah enak ditinggal suami," tukas Maisaroh, yang sudah dua tahun sendirian. "Tiap pagi sekarang saya tidak kemrungsung (perasaan tergesa-gesa) menyediakan makan untuk pakne arek-arek (bapak anak-anak)." Sekarang dia dan anaknya makan seadanya. "Ada suami di rumah malah repot. Harus masak ini, harus masak itu." Toh kehidupan tanpa pria ternyata cukup merepotkan. Misalnya kalau ada kematian. "Untuk mengangkat jenazah terpaksa kami ngebon tenaga muda yang kuat dari desa tetangga," kata Miatun. Bukan cuma buat mengangkat jenazah pelayat dan pengiring ke kubur juga harus dipinjam dari desa tetangga. Bahkan juga untuk perkawinan. Hasan, misalnya, yang bulan lalu pulang dari Malaysia untuk menikah, harus mencari tenaga pria pinjaman. "Masak pengantin pria tidak dikawal," kata Hasan sembari tertawa. Soal lainnya: keamanan kampung. Tiadanya laki-laki mendorong diputuskannya pembentukan hansip wanita di Rejodadi. Lima cewek Rejodadi - Yustia Ningsih, 20, Alfiah, 21, Muntaya, 22, Sunami, 20, dan Namiatun, 23 - lantas berpakaian dinas, bertindak sebagai hansip yang juga bertugas mengawasi kebersihan kampung. "Habis orang lakinya tidak ada. Siapa lagi kalau tidak kami?," kata Yustia, sang komandan. Namun hansip wanita kenyataannya tidak berjaga hingga pagi. "Kami berjaga hanya sampai pukul 12 malam, dua kali seminggu," kata Yustia lagi. Lima pria, yang tersisa di kampung itu, tetap ditugasi. Merekalah yang meneruskan penjagaan sampai pagi, dibantu beberapa anak sekolah. Mereka memperoleh imbalan Rp 500 dari tiap kepala keluarga yang seharusnya mendapat giliran ronda. Ada alasan lain mengapa hansip wanita dibentuk. "Soalnya, Campurejo sekarang kemasukan begenggek (pelacur). Katanya ada lima belas yang beroperasi di dekat rumah garam. Saya dan kawan-kawan diminta menyergap begenggek itu. Kalau tertangkap, mereka akan kami gunduli!" ujar Yustia pada Saiff Bakham dari TEMPO. Karena dilalui kendaraan umum, Campurejo tergolong ramai. Banyak warung yang buka sampai tengah malam. Pasar, yang hanya buka pada hari pasaran Pon dan Legi, juga tak sepi. Sekalipun banyak pria dirantau, masih cukup pula yang tinggal. Mereka umumnya pedagang, hingga tidak tergiur pesona Malaysia. Mungkin itu yang menyebabkan WTS masih bisa beroperasi di situ. Lagi pula, siapa tahu, rezeki dari Malaysia yang membuat makmur daerah itu mungkin juga ikut terciprat ke dunia hitam. Campurejo sendiri sebetulnya juga terkena dampak berkurangnya pria Rejodadi. Dulu, misalnya, di desa ini terdapat sekitar 200 perahu dengan buruh nelayan dari kampung lain. Kini tinggal sekitar pagi, para nelayan ini berjalan sepanjang pantai melewati Rejodadi, menuju Campurejo, untuk pergi ke laut menjemput ikan yang tertangkap di bagan semalam. "Dulu di sini memang terkadang ada maling. Tapi sekarang keadaan sudah aman," kata Yustia. Ia menduga, keamanan tercapai sejak munculnya apa yang disebut "petrus". Salah satu pria, yang kepergiannya menimbulkan akibat sosial yang luas di Rejodadi, adalah Modin Sampenan. Amaniyah, 27, istri Pak Modin, mengakui itu. Dari kiriman uang suaminya yang bekerja di Malaysia ia menyatakan bisa membeli bermacam barang dan perhiasan. "Tapi saya kasihan pada puluhan anak yang biasa mengaji di masjid. Sekarang mereka tidak lagi mengaji. Tidak ada yang mengajar. Dulu suami saya yang mengajar." Anak-anak itu, katanya, kini belajar mengaji pada ibu mereka masing-masing. "Tapi belum pasti mereka nanti bisa mengaji," ujarnya. Komandan Hansip, Yustia yang tadi, berpendapat serupa. "Saya khawatir mengenai pendidikan agama anak-anak di sini," katanya. "Dulu mereka rajin ke masjid. Sekarang tidak. Bahkan anak-anak di sini umumnya dipersiapkan untuk ikut bekerja di Malaysia." Pada malam hari, anak-anak Rejodadi kelihatannya memang terus melekat di depan televisi. Pada siang hari mereka tampak lebih sering tiduran di beranda, kalau tidak bermain di jalan-jalan. Karena itu, Amaniyah bertekad meminta suaminya kembali ke kampung. Lewat surat ia mendesak. "Saya paksa dia pulang. Biar dia bekerja di kampung sajalah. Nasib anak-anak di sini lebih penting," kata nyonya modin ini, yang selama 17 bulan ditinggal suaminya menerima kiriman Rp 750 ribu. Dan, alhamdulillah, pertengahan Maret lalu Pak Modin Sampenan, 35, betul-betul pulang - sekalian membawa hasil tabungannya di Malaysia. Jumlahnya Rp 1,5 juta. Juga membawa jam tembok ("Saya beli di Singapura seharga 23 dolar"), yang langsung dipasangnya di dinding rumahnya, tidak jauh dari jam tembok lain yang sudah duluan tergantung. "Uang yang saya bawa ini untuk membayar utang. Sisanya untuk memperbaiki rumah dan buat makan," tuturnya. Tidak mau balik lagi ke Malaysia? Eh, ternyata, Sampenan masih memikirkannya. Ia menunjukkan paspornya yang masih lama masa berlakunya - dan tangannya gemetar tatkala membuka paspor yang dibungkus kain itu. Seperti para tetangganya yang gemar memakai kaus oblong bila balik dari Malaysia, Sampenan juga begitu. Kausnya bertuliskan Kualalumpur. Di meja tamunya ada majalah Thai. "Itu pemberian di pesawat," katanya. Rumahnya sudah terbuat dari tembok. Ada potret Pak Harto dan Umar Wirahadikusumah di dinding. Juga gambar Rhoma Irama sedang mengaji. Berikut ini cerita Sampenan tentang pekerjaannya di Malaysia. "Saya sakit tiga hari gara-gara melihat orang kejatuhan lift." Dia bekerja di proyek bangunan tingkat 30. Suatu hari, kabel lift pengangkut barang putus dan menimpa seorang pekerja. "Kepalanya remuk. Darah dan otaknya muncrat. Saya langsung sakit, tidak doyan makan. Rasanya lemas terus, Mas." Begitu tiba di Malaysia dulu, Sampenan dipekerjakan di bagian bangunan besi. Karena ia tidak berpengalaman, kerjanya salah terus. "Saya dimaki-maki mandor Cina. Di sana mandornya pasti Cina. Mereka juga mengajak saya main judi, tapi saya tidak mau. Jelek-jelek 'kan saya ini modin!" Belum jelas bagaimana keputusan Sampenan: kembali ke Malaysia dengan pesona rezeki, atau tinggal di kampung dengan tanggung jawab dakwah. Jika ia mau di rumah, bisa dipastikan tiap malam suara anak-anak mengaji bersama akan bergema kembali di kampung yang sepi ini, bersama sayup-sayup deburan ombak. Suara anak mengaji memang bisa membuat rindu. Setidaknya bagi Malik, yang bulan lalu pulang ke Rejodadi setelah 3,5 tahun. "Kalau baru setahun terus pulang, berarti tekor," katanya. Biaya yang dikeluarkannya dulu, untuk bisa berangkat ke Malaysia, sekitar Rp 500 ribu. Kalau nasib baik, setahun kerja bisa menabung Rp 2 juta. "Jadi, kalau cuma bisa menabung satu juta, berarti tekor," ujarnya lagi. Apalagi buat Malik, bekerja di Malaysia tidak selalu berarti rezeki dan jaminan masa depan. Karena memburu duit, mereka harus bekerja lembur terus dan kurang beristirahat. "Sembahyang saja hampir tidak sempat!" katanya. Hidup di sana, katanya, membuat orang selalu ndangak (melihat ke atas), karena ingin cepat kaya. "Saya gelisah, tidak tenteram, meskipun selalu mengantungi duit." Kemudian keluar pengakuannya. "Saya rindu suara anak-anak mengaji. Saya rindu suara azan dari masjid. Di Malaysia suara azan yang saya dengar hanya dari radio dan televisi." Ya, siapa yang bisa menahan rindu akan suara yang bisa membuat tenteram? Suara masa kecil yang telah merasuk menjadi satu dengan kalbu? Suara kampung, suara tetangga, suara anak, suara keluarga, yang mungkin tak bisa ditukar hanya dengan duit di kantung, yang harus diperoleh dengan badan berpeluh di negeri orang. Debur ombak, bau amis laut, rasa asin di bibir bila angin laut bertiup. Dan di sela-selanya, terdengar suara anak-anak mengaji. Muslich, carik desa itu, kembali menebar pandangannya ke jalan utama Rejodadi. Kepada anak-anak yang bermain layang-layang. Kepada ibu-ibu yang pada mencari kutu, yang sepi, yang menunggu. Kepada sebuah kampung yang hilang kepriaannya. Ia lama tidak bicara apa-apa. Sebetulnya, di kepalanya ada dilema.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus