Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penolakan atas pengungsi Rohingya disuarakan sebagian warga Aceh, termasuk mahasiswa.
Di media sosial, kabar bohong tentang pengungsi Rohingya terus berdengung.
Aparat keamanan diduga menggalang gerakan penolakan terhadap pengungsi yang terbuang dari Myanmar itu.
KEDATANGAN rombongan Emily Bojovic disambut isak tangis para perempuan pengungsi Rohingya di gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA) di Banda Aceh, Aceh. Kamis siang itu, 28 Desember lalu. Emily yang juga Senior Protection Officer Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) berkunjung setelah pada malam sebelumnya sejumlah orang yang mengatasnamakan mahasiswa menggeruduk dan mengangkut paksa para imigran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Azharul Husna, Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, yang turut dalam pertemuan itu mengatakan fisik para pengungsi tampak baik-baik saja. "Tapi kasatmata mereka ketakutan akibat pengusiran paksa. Mereka memohon pertolongan," kata Azharul kepada Tempo, Jumat, 29 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan orang yang tergabung dalam kelompok BEM Nusantara mendatangi gedung BMA, Banda Aceh, pada Rabu lalu. Ruang bagian bawah gedung di seberang kantor Gubernur Aceh tersebut sudah dua pekan lebih menjadi tempat penampungan sementara bagi 137 pengungsi Rohingya. Massa datang dengan satu tujuan: memindahkan para pengungsi ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Aceh. Mereka menuntut kantor Imigrasi, di bawah naungan Kemenkumham, segera mengusir pengungsi Rohingya dari Aceh.
Dalam pemindahan itu, yang rekaman gambarnya tersebar luas, kelompok massa melakukan pemaksaan. Sebagian di antara mereka menarik para pengungsi yang menolak dipindahkan. Sebagian lainnya melemparkan botol air ke arah para imigran. Para pengungsi akhirnya diangkut paksa menggunakan truk ke kantor Kemenkumham Aceh yang berjarak sekitar 500 meter dari gedung BMA. Namun pada Kamis dinihari, sekitar 03.00 WIB, kelompok massa mengembalikan para pengungsi ke gedung BMA.
Mahasiswa bersama polisi membantu menaikkan sejumlah imigran kelompok etnis Rohingya ke truk saat berlangsung pemindahan paksa di penampungan sementara gedung Balai Meuseuraya Aceh (BMA), Banda Aceh, Aceh, 27 Desember 2023. ANTARA/Ampelsa
Azharul mengecam pengusiran paksa itu. Di antara para pengungsi itu terdapat 68 anak-anak. "Tidak ada luka fisik, tapi mereka trauma," ujarnya.
Dia juga menyayangkan sikap pemerintah pusat yang tak kunjung turun tangan. Padahal, kata dia, pemerintah sempat berjanji segera memindahkan para pengungsi ke lokasi aman, seperti gedung PMI Aceh dan gedung Yayasan Aceh. Lokasi penampungan sementara di Gedung BMA selama ini bukan saja tidak aman, tapi juga tak layak. “Tempat ini di basement, sempit, dan tidak ada alas untuk tidur,” kata Azharul.
Menurut dia, kondisi memprihatinkan juga dialami sekitar 1.600 pengungsi Rohingya lainnya yang kini tersebar di enam lokasi. Kondisi ini bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Diteken Presiden Joko Widodo pada 31 Desember 2016, peraturan tersebut menyatakan tempat penampungan pengungsi harus didukung kondisi keamanan yang memadai, dekat dengan fasilitas pelayanan kesehatan dan ibadah, serta tersedia kebutuhan dasar lainnya.
Kecaman juga dilontarkan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan serangan pada Rabu lalu itu membuat pengungsi yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak semakin menderita. Dia mengingatkan bahwa kelompok etnis Rohingya selama ini telah mengalami diskriminasi berlapis karena tak memiliki kewarganegaraan, terus mengalami persekusi di Myanmar, serta menghadapi kekerasan dan bencana kemiskinan di Bangladesh—tempat pengungsian sebelumnya. "Penolakan dan serangan semacam ini bertentangan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan," katanya.
Menurut Andy, persoalan pengungsi Rohingya memang membutuhkan penanganan di tingkat hulu melalui kerja sama lintas negara. Namun, sementara menunggu proses dan waktu penanganan yang tak mudah itu, sikap mengusir pengungsi bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. "Mengembalikan pengungsi berarti membiarkan mereka kembali menghadapi ancaman persekusi dan terkatung-katung di laut dengan risiko kematian," ujarnya.
Imigran Rohingya kembali ke perahu setelah menerima air dan makanan setelah diizinkan mendarat sementara oleh warga di pantai Ulee Madon, Aceh Utara, Indonesia, 16 November 2023. REUTERS/Stringer
Dugaan Narasi Kebencian dan Massa Bayaran
Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, warga di sebagian wilayah pesisir Aceh menolak pengungsi Rohingya yang datang bergelombang dalam beberapa bulan terakhir. Namun aksi pengusiran paksa oleh kelompok massa pada Rabu lalu, yang dikecam oleh banyak kalangan, terjadi di tengah meningkatnya narasi yang seakan-akan hendak membenarkan resistansi terhadap para imigran. Media sosial beberapa waktu terakhir diramaikan dengan narasi kebencian terhadap kelompok etnis Rohingya. Sebagian di antaranya mengamplifikasi pernyataan sejumlah pejabat publik bahwa para imigran yang datang tak sepenuhnya adalah pengungsi, melainkan bagian dari praktik sindikat tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Azharul mencermati eratnya hubungan antara penyebaran informasi menyesatkan di media sosial dan tindakan anarkistis menolak pengungsi Rohingya. Kontras, kata dia, sempat mewawancarai sejumlah orang yang turut dalam demonstrasi menuntut pengusiran pengungsi Rohingya pada Rabu lalu. Sebagian peserta aksi menyatakan bahwa para pengungsi ingin meminta tanah di Indonesia dan bersikap arogan lantaran tak puas dengan bantuan yang telah diberikan selama ini. Sebagian massa lainnya bahkan menyamakan pengungsi Rohingya dengan zionis Israel, yang semula disambut baik oleh warga Palestina kemudian menjajah.
"Mereka menelan mentah-mentah informasi menyesatkan di media sosial," kata Azharul.
Dia menduga penyebaran narasi kebencian ini dilakukan sengaja, terorganisasi, dan sistematis. Narasi itu juga semakin banyak bermunculan di media massa dalam memberitakan pengungsi Rohingya. Kabar bohong, kata dia, kemudian disebarkan secara masif oleh akun-akun anonimus di media sosial. “Mustahil ini dilakukan satu-dua orang. Ada yang sengaja menciptakan situasi ini,” kata Azharul.
Imigran Rohingya histeris dipindah paksa dari penampungan sementara gedung Balai Meuseuraya Aceh (BMA), Banda Aceh, Aceh, 27 Desember 2023. ANTARA/Ampelsa
Komnas Perempuan juga menyoroti indikasi serupa. Andy Yentriyani menilai peristiwa serangan dan pemindahan paksa terhadap pengungsi Rohingya patut diduga berkaitan dengan politisasi isu, provokasi melalui media sosial, perilaku massa terhadap disinformasi, dan daya aparat keamanan dalam menangani kekerasan. "Aspek-aspek ini perlu diurai untuk mencegah peristiwa serupa berulang," katanya.
Seorang sumber Tempo di Jakarta mengamini dugaan adanya mobilisasi dalam gelombang penolakan yang semakin masif terhadap pengungsi Rohingya akhir-akhir ini. Dia, yang namanya cukup dikenal dalam jaringan masyarakat Aceh, mengaku sempat dihubungi oleh koleganya yang seorang aparatur keamanan negara di Aceh pada dua pekan lalu. Kenalannya itu mengabarkan ingin menggalang massa untuk meramaikan isu Rohingya. "Namun saat itu tidak jelas detailnya," kata dia.
Upaya menggalang massa itu mulai terang sepekan lalu ketika sumber Tempo bertemu dengan sejumlah mahasiswa asal Aceh yang kuliah di Jakarta. Kelompok mahasiswa itu, kata dia, menyatakan sempat juga dihubungi oleh aparatur keamanan di Aceh. Mereka diminta menggelar aksi mahasiswa menolak pengungsi Rohingya pada pekan ini. "Orderan angkanya (untuk menggelar demonstrasi) Rp 100-200 juta," kata sumber Tempo.
Dia hakulyakin pengusiran paksa pada Rabu lalu itu berhubungan dengan penggalangan massa ini. Pasalnya, dalam pertemuan itu, mahasiswa asal Aceh di Jakarta sudah menyebutkan bahwa komunikasi mereka berlanjut ke seorang mahasiswa di Aceh bernama Warija Arismunandar, koordinator massa dalam aksi pengusiran paksa di gedung BMA.
Koordinator aksi BEM Nusantara, Warija Arismunandar, saat menggelar aksi menolak Rohingya di kantor DPR Aceh, Banda Aceh, Rabu, 27 Desember 2023. HABAACEH.COM/Julinar Nora Novianti
Beberapa tahun terakhir, nama Warija Arismunandar bermunculan di pemberitaan media sebagai koordinator sejumlah unjuk rasa dengan jubah organisasi berbeda-beda, seperti Aliansi Pemuda Peduli Aceh (APPA) serta Koalisi Pemuda dan Mahasiswa Aceh (KPMA). Terakhir kali, pada 6 September 2022, Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis Warija dengan hukuman 2 tahun penjara karena terbukti bersalah dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotik. Sebelumnya, pada akhir Maret tahun lalu, polisi menangkap pria kelahiran 1998 ini di Desa Jeunglingke, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, dengan barang bukti sabu seberat 0,31 gram.
Dalam pengusiran paksa pengungsi pada Rabu lalu, Warija dan sebagian massa aksi mengenakan jas hijau almamater Perguruan Tinggi Al Washliyah Banda Aceh. Sebagian massa aksi juga membawa bendera Pemerintah Mahasiswa (Pema) Perguruan Tinggi Al Washliyah Banda Aceh.
Namun Presiden Pema Perguruan Tinggi Al Washliyah Banda Aceh Mohd. Azis membantah lembaganya terlibat dalam aksi memboyong paksa pengungsi Rohingya. "Kami atas nama mahasiswa Al Washliyah Banda Aceh mengutuk keras tindakan individu mahasiswa yang ikut aksi mengatasnamakan Pema Perguruan Tinggi Al Washliyah Banda Aceh," kata Azis, Kamis lalu.
Kepada Tempo, kemarin, Warija membantah aksinya pada Rabu lalu sebagai pesanan aparatur keamanan dengan balasan uang. “Itu fitnah,” ujarnya. Dia mengklaim unjuk rasa itu murni didasari keresahan masyarakat yang menolak pengungsi Rohingya. Baginya, pengungsi Rohingya sudah bertindak kurang ajar karena pernah membuang air besar di tambak udang masyarakat, meminta tempat tinggal yang layak, dan melakukan mogok makan.
Warija khawatir pengungsi Rohingya akan melakukan perlawanan sehingga menjadi seperti Israel. “Apalagi pemerintah bilang di balik pengungsi ini ada oknum yang melakukan TPPO,” ujarnya. Kendati demikian, Warija membantah aksi pada Rabu lalu berlangsung anarkis. Menurut dia, tindakan kekerasan yang tersebar luas di media merupakan ulah provokator. "Kami tidak anarkistis. Namun ada indikasi di luar kendali kami."
Dia membenarkan saat ini juga menjadi Koordinator Barisan Muda Hadi Surya (BMHS). Hadi Surya adalah Ketua Gerindra Aceh Selatan yang kembali menjadi calon Dewan Perwakilan Rakyat Aceh periode 2024-2029 dari daerah pemilihan Aceh 9. Namun Warija menyatakan aksinya menolak pengungsi Rohingya tak berhubungan dengan kepentingan politik kelompok tertentu. Soal kasus hukumnya, Warija menyatakan pengalaman masa lalu itu telah ia sesali. "Saya sudah bebas," kata dia.
Sejumlah imigran etnis Rohingya beristirahat setelah terdampar di Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, 14 November 2023. ANTARA/Joni Saputra
Penanganan Pengungsi Minim Solusi
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan Indonesia tak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Karena itu, Indonesia hanya bisa memberikan bantuan kemanusiaan. Pemberian bantuan itu dilakukan oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan berkoordinasi dengan UNHCR. Sebab, kata dia, UNHCR memiliki kewajiban menangani pengungsi itu. “Pak Menkopolhukam terus berkoordinasi dengan UNHCR,” kata Siti kepada Tempo, kemarin.
Siti memastikan pemerintah terus berjuang untuk menyelesaikan masalah Rohingya. Di tingkat ASEAN, misalnya, Indonesia mendorong penyelesaian konflik di Myanmar yang menjadi akar masalah timbulnya pengungsi kelompok etnis Rohingya. “Kita terus mendorong, tapi belum kunjung selesai,” kata dia.
Di sisi lain, Siti mengatakan, masalah pengungsi Rohingya juga berhubungan dengan dugaan TPPO. Kejahatan ini, kata dia, muncul karena kelonggaran dan kebaikan masyarakat yang sebelumnya menerima pengungsi Rohingya. Hal itu dimanfaatkan oknum untuk melawan tindakan hukum. “Kejahatan ini melibatkan warga lokal,” ujarnya.
Menurut Siti, semua permasalahan tersebut menjadi pertimbangan pemerintah untuk melakukan pembenahan, di antaranya dengan lebih selektif menerima pengungsi Rohingya ataupun pengungsi lainnya. “UNHCR juga harus melakukan verifikasi, mana yang warga Rohingya atau bukan,” kata dia.
Setelah pengusiran paksa pengungsi Rohingya pada 27 Desember lalu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menyatakan pemerintah akan memindahkan 137 pengungsi Rohingya dari gedung BMA ke gedung PMI Aceh dan gedung Yayasan Aceh. "Pengungsi Rohingya itu ditempatkan di satu tempat yang aman," kata Mahfud, Kamis lalu.
Gelombang Pengungsi Rohingya
Adapun penjabat Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, menyatakan forum koordinasi pimpinan daerah Aceh akan segera berembuk membahas permintaan pemerintah pusat. Mereka sepakat memindahkan para pengungsi Rohingya itu ke gedung PMI Aceh dan gedung Yayasan Aceh. Namun, menurut dia, rencana tersebut urung dilakukan karena masyarakat masih menolak. “Muncul demonstrasi penolakan rakyat,” ujar Marzuki kepada Tempo, kemarin.
Marzuki mengatakan pemerintah provinsi sebetulnya tidak memiliki kewenangan untuk menunjuk lokasi pengungsian. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016, kewenangan itu berada di tangan pemerintah kabupaten/kota setempat. Untuk itu, dia memastikan akan berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota guna menyediakan tempat.
Menurut dia, sejauh ini, pemerintah daerah sudah melakukan empat kali upaya relokasi, yakni di Camp Pramuka di Seulawah, UPTD Beujroh Meukarya di Desa Ladong, Lapangan Speak Bola Opak Aceh Tamiang, dan lahan kosong di Kabupaten Gayo Lues. Namun, kata Marzuki, masyarakat di lokasi tersebut menolak. “Sehingga pengungsi tidak bisa dipindahkan,” ujarnya.
Karena banyaknya penolakan itu, Marzuki mengambil kesimpulan, seluruh masyarakat Aceh menolak pengungsi Rohingya. Marzuki khawatir, bila para pengungsi tetap berada di Aceh, ancaman kekerasan akan terus terjadi. “Kami tidak mengherankan karena kasus pengungsi Rohingya di Aceh sudah terjadi sejak 2016 dan sampai sekarang tidak pernah ada solusi konkret, khususnya dari UNHCR,” ujarnya. “Dalam hal ini, UNHCR dan IOM harus lebih jelas lagi."
Petugas United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) mendata pengungsi Rohingya di penampungan sementara di gedung SKB Bireuen, Aceh, 16 Oktober 2023. ANTARA/Rahmad
Rohingya Tanggung Jawab Bersama
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Diaspora Global Aceh (DGA) Mustafa Abubakar mengatakan lembaganya telah bertemu dengan perwakilan UNHCR dan IOM Indonesia di Jakarta, Kamis kemarin. Pertemuan itu menghasilkan sejumlah kesepakatan, di antaranya pemerintah Indonesia dan UNHCR-IOM bertanggung jawab terhadap penanganan pengungsi Rohingya di Aceh. “Keduanya bertanggung jawab sesuai dengan Perpres Nomor 125,” ujar Mustafa, kemarin.
Pemerintah Indonesia juga harus bertanggung jawab memastikan penyelamatan dan penurunan penumpang kapal-kapal pengangkut pengungsi yang mengalami kesulitan serta mengidentifikasi lokasi-lokasi penampungan sementara. Sedangkan, PBB melalui UNHCR dan IOM, akan memastikan kebutuhan dasar pengungsi ini terpenuhi. “PBB (UNHCR dan IOM) menggunakan sumber daya dan pendanaan mereka sendiri dalam respons ini,” kata Mustafa.
Adapun Senior Communications Assistant UNHCR Muhammad Yanuar Farhanditya dan Public Information Officer UNHCR Indonesia Mitra Salima belum merespons permintaan wawancara Tempo mengenai hal ini.
Direktur Pusat Studi ASEAN Universitas Gadjah Mada (UGM) Dafri Agussalim mengatakan Indonesia sebagai warga dunia punya kewajiban memiliki simpati dan empati terhadap isu kemanusiaan. Kewajiban itu sudah tercantum dalam konstitusi dan Pancasila. Indonesia memang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi. Namun, dia mengingatkan, Indonesia adalah negara yang meratifikasi berbagai kovenan dan konvensi hak asasi manusia, termasuk yang berkaitan dengan isu pengungsi. “Dengan meratifikasi berbagai konvensi dan kovenan HAM internasional itu, berarti Indonesia telah sepakat dan bersedia memikul tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan HAM,” ujar Dafri kepada Tempo, kemarin.
Dia berharap pemerintah pusat dan daerah segera memindahkan pengungsi Rohingya ke tempat penampungan sementara yang aman untuk menghindari gesekan dengan masyarakat lokal. Setelah itu, pemerintah bisa melakukan identifikasi. Mereka yang bukan pengungsi bisa dikembalikan ke negara asalnya. “Sedangkan pengungsi ditampung sementara untuk dicarikan negara tujuan akhir,” kata Dafri.
Karena itu, menurut Dafri, pemerintah pusat perlu melakukan diplomasi internasional untuk mencarikan tempat pengungsian sebagai tujuan akhir. Diplomasi juga diperlukan untuk mendapatkan dana bantuan yang bisa menutup kebutuhan para pengungsi Rohingya selama di Indonesia. “Indonesia harus menggalang dana dari negara lain atau juga dari filantropi lain. Bahkan kalau bisa dari perusahaan multinasional,” ujarnya. Semua itu, kata Dafri, juga perlu melibatkan masyarakat setempat yang juga berhak mendapatkan insentif. "Ini perlu untuk mencegah konflik."
HENDRIK YAPUTRA | SUSENO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo