Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Roller Coaster Angka Efikasi

Laporan sementara hasil uji klinis vaksin Sinovac hanya berisi data 33 persen partisipan. Dianggap belum transparan karena tidak dibuka ke publik.

16 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jumlah penerima vaksin Sinovac dalam uji klinis tahap ketiga dianggap masih minim.

  • Laporan sementara hasil uji klinis hanya terkait dengan 540 subyek penerima vaksin.

  • Pemerintah menyiapkan narasi untuk membangun kepercayaan publik.

BERTEBAL 20 halaman, laporan sementara uji klinis fase ketiga vaksin Sinovac diserahkan tim riset Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, kepada PT Bio Farma pada Kamis malam, 7 Januari lalu. Diserahkan oleh manajer tim riset Universitas Padjadjaran, Eddy Fadlyana, laporan yang diteruskan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan itu menjadi dasar penentuan terbitnya penerbitan emergency use authorization (EUA) atau izin penggunaan darurat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua tim riset Kusnandi Rusmil mengatakan laporan interim itu berisi data yang diperoleh dari hasil pemantauan sukarelawan selama tiga bulan setelah disuntik vaksin kedua. Sejak uji klinis digelar pada 11 Agustus 2020, tim riset memvaksin 1.620 orang untuk suntikan pertama. Sedangkan pada suntikan kedua, tercatat 1.603 sukarelawan dan 17 orang tak hadir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu data yang tertuang dalam laporan tersebut adalah tingkat efikasi atau kemanjuran vaksin untuk mencegah virus corona. “Tingkat efikasi dari interim report itu 65,3 persen,” kata Kusnandi kepada Tempo pada Kamis, 14 Januari lalu. Angka itu sudah melewati batas rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 50 persen, untuk bisa digunakan dalam kondisi darurat.

Sebelum izin penggunaan darurat keluar pada Senin, 11 Januari lalu, BPOM bersama Komite Nasional Penilai Obat, Indonesian Technical Advisory Group on Immunization, dan Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia menguji laporan sementara uji klinis fase ketiga itu. Anggota Komnas Penilai Obat dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jarir At Thabari, memberi catatan terhadap laporan itu, yakni jumlah 1.600-an penerima vaksin dianggap masih minim. “Subyek yang diteliti tidak banyak,” ujar Jarir kepada Tempo.

Di Brasil dan Turki, jumlah sukarelawan yang terlibat dalam uji klinis tahap ketiga jauh lebih besar. Tercatat sekitar 13.000 orang disuntik vaksin Sinovac di Brasil dan 7.000 orang di Turki. Menurut Jarir, angka relawan yang kecil di Indonesia dipengaruhi biaya uji klinis yang besar.

Walaupun penerima vaksinasi kedua berjumlah 1.603 orang, tak semua subyek masuk laporan interim. Ketua Pusat Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia Iris Rengganis mengatakan subyek yang dianalisis dalam laporan sementara itu hanya 540 orang atau sekitar 33 persen. Nantinya angka efikasi itu masih bisa berubah. “Penelitian masih akan berlanjut sampai April hingga seluruh sampel masuk laporan akhir,” kata Iris.

Meski demikian, Iris dan Jarir menilai jumlah 540 orang itu sudah bisa digunakan untuk mengambil keputusan dalam situasi darurat. Keduanya pun menilai penelitian terhadap sampel itu sudah sesuai dengan prosedur. “Kalau menunggu lagi, berapa banyak penambahan kasus positif dan yang meninggal?” ucap Jarir. 

 

Seorang pelajar yang menjadi sukarelawan vaksin Sinovac mengisi berkas kesehatan harian peserta uji klinis di Bandung, November 2020. TEMPO/Prima Mulia

Jika dibandingkan dengan laporan sementara uji klinis vaksin lain, jumlah sampel di Indonesia terbilang kecil. Pfizer, misalnya, dalam laporan interim menyebutkan jumlah sampel yang diambil sudah lebih dari 50 persen, yakni 37 ribu dari total 44 ribu partisipan.

Dalam New England Journal of Medicine, jurnal medis yang diterbitkan Massachusetts Medical Society, Director Office of Vaccines Research & Review di Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat, Marion Gruber, serta Deputy Director FDA Philip R. Krause menyatakan setidaknya dibutuhkan pemantauan data dua bulan dan jumlah sampel separuh dari penerima vaksin dalam uji klinis. Data yang minim disebut tak bisa mengukur keamanan vaksin. Padahal itu sangat terkait dengan kepercayaan publik terhadap vaksin.

Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio juga menyatakan sebaiknya jumlah sampel dalam laporan sementara separuh dari penerima vaksin. Menurut dia, angka yang terlalu sedikit dapat mempengaruhi tingkat keyakinan terhadap kerja vaksin. Tapi, Amin menegaskan, angka 50 persen itu bukanlah suatu keharusan. “Hanya patokan, kira-kira setengah jalan,” tuturnya.

Mengaku tak tahu detail laporan interim, Amin meyakini keputusan diterbitkannya izin penggunaan darurat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan diambil tak sembarangan karena melalui pertimbangan berbagai ahli. Direktur Registrasi Obat BPOM Lucia Rizka Andalusia pun memastikan penerbitan izin darurat sudah melewati prosedur yang tepat. Apalagi laporan penelitian diaudit oleh berbagai ahli. “Kami pastikan aman dan uji klinis sesuai dengan prosedur,” katanya.

Meski begitu, sejumlah kalangan meminta pemerintah transparan dalam menyajikan data uji klinis. Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman, mengatakan semestinya pemerintah tak khawatir membuka laporan sementara itu. Menurut dia, transparansi laporan itu justru akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat untuk mau divaksin. Mengaku sudah mengetahui detail laporan itu, Dicky pun menilainya sesuai dengan prosedur.

Dicky mengungkapkan tim riset Universitas Padjadjaran menetapkan target kejadian ikutan pasca-imunisasi sebanyak 50 kasus terinfeksi. Dalam laporan uji klinis, jumlah itu sudah mencapai 50 persen dari target yang ditetapkan, yakni 25 kasus terinfeksi. “Itu sudah cukup karena penelitian masih berlanjut untuk sampai 50 kasus,” ujarnya. Iris Rengganis pun membenarkan target itu.

Kandidat PhD bidang medical science di Kobe University, Jepang, Adam Prabata, mengatakan munculnya kepercayaan publik terhadap produsen vaksin lain, Pfizer, adalah keterbukaan soal protokol uji klinis sebelum hasil penelitian keluar. “Sehingga publik bisa menilai hasil penelitian sementara tersebut,” kata Adam.

Baik Dicky maupun Adam meminta pemerintah tak hanya membuka data, tapi juga memperbaiki narasi ke publik soal arti efikasi. Apalagi angka efikasi di Turki dan Brasil berbeda. Di Turki, efikasi vaksin Sinovac mencapai 91,25 persen. Sedangkan di Brasil, efikasi yang semula 78 persen turun menjadi 50,4 persen setelah laporan sementara memasukkan sampel dari kalangan orang tanpa gejala.

Perbedaan angka efikasi itu mengundang sejumlah pertanyaan di berbagai kalangan. Iris Rengganis mengakui di kalangan tenaga kesehatan masih banyak yang bertanya-tanya soal efikasi. Bahkan sejumlah tenaga kesehatan menyatakan ogah divaksin. Padahal, menurut Iris, efikasi 65,3 persen dalam kondisi darurat sudah baik karena bisa memproteksi 65,3 persen dari jumlah populasi masyarakat Indonesia dari virus corona.

Pembahasan narasi ke publik mengenai efikasi sempat dibahas dalam rapat pleno sehari sebelum terbitnya izin penggunaan darurat. Jarir At Thabari dan Iris Rengganis mengatakan tim telah menyusun narasi agar publik lebih bisa mempercayai keamanan vaksin dan bersedia divaksin. “Di lapangan, petugas kesehatan saja masih bingung, apalagi awam,” kata Iris. 

DEVY ERNIS, RAYMUNDUS RIKANG, HUSSEIN ABRI, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Devy Ernis

Devy Ernis

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, kini staf redaksi di Desk Nasional majalah Tempo. Memimpin proyek edisi khusus perempuan berjudul "Momen Eureka! Perempuan Penemu" yang meraih penghargaan Piala Presiden 2019 dan bagian dari tim penulis artikel "Hanya Api Semata Api" yang memenangi Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Alumni Sastra Indonesia Universitas Padjajaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus