Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang pelobi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai pendukung Abdurrahman Wahid, sempat sesumbar bahwa pihaknya telah mengantongi 279 suara (atau lebih dari separuh kursi DPR yang berjumlah 474) mendukung Presiden, alias menolak laporan pansus.
Meski perhitungan itu tampak terlalu optimistis, mereka memang patut berharap. Hampir bulat 51 suara sudah mereka pegang, yakni dari anggota Fraksi PKB sendiri. Di luar itu, semula mereka berharap bisa menarik sebagian besar (jika bukan seluruhnya) anggota PDI-P, TNI/Polri, dan partai-partai kecil nasionalis non-Islam. Mereka tidak berharap akan bisa menarik suara dari Poros Tengahgabungan Fraksi Reformasi dan Partai Persatuan Pembangunanserta partai Islam kecil seperti Daulat Umat dan Partai Bulan Bintang, yang memang telah lama cenderung menentang Presiden.
Jika PKB bisa memikat separuh saja suara Golkar, tak sulit bagi mereka membentuk kekuatan mayoritas di parlemen untuk membela Presiden. Poros Tengah tak kan berkutik melawan bahkan sebagian saja suara gabungan PDI-P dan Golkar.
Namun, mereka salah perhitungan. PDI-P, Golkar, dan bahkan TNI lepas dari genggaman. Lebih sial lagi, pemungutan suara tidak dilakukan secara tertutup seperti diusulkannya kepada pemimpin sidang Soetardjo Soerjogoeritno dari PDI-P. Mereka akhirnya memilih walk out alias meninggalkan sidang.
Dalam pemungutan terbuka, setiap anggota akan cenderung bulat menerima kebijakan fraksi. Pada kenyataannya, mereka memang bulat mendukung fraksinya menerima laporan pansus (lihat tabel).
Apa sebenarnya yang terjadi pada tiap-tiap partai sebelum dan setelah palu memorandum diketuk? Berikut cerita beberapa di antaranya.
Golongan Karya
Sikap Golkar terhadap hasil Pansus Skandal Bulog dan Sumbangan Sultan Brunei sebenarnya sudah bulat sejak Kamis sore. Mereka menerima hasil pansus. Tapi, dua rapat tetap digelar Kamis malam di kantor pusat Golkar di Slipi, Jakarta. Rapat pertama yang dipimpin Ketua Fraksi Golkar Syamsul Ma'arif membahas alasan formal partai menerima hasil pansus. Rapat yang kedua membahas tindak lanjut yang akan diambil Golkar dari skandal ini: memberi peringatan "biasa" kepada Presiden atau mendukung memorandum yang bisa mengantarkan Abdurrahman ke Sidang Istimewa MPR. Rapat ini dipimpin Akbar Tandjung.
Uniknya, rapat kedua sengaja dimulai agak larut malam. "Kami menunggu kabar dari Pecenongan," kata salah seorang pengurus Golkar. Maksudnya, Golkar ingin menyesuaikan keputusan mereka dengan keputusan PDI-P, yang juga sedang rapat di kantor partai itu di kawasan Pecenongan, Jakarta Pusat.
Meski hampir bulat, rapat kedua tetap berlangsung alot. Malam itu ada dua pendapat yang berkembang. Pertama, yang menginginkan Golkar hanya memberi peringatan "biasa", tanpa konsekuensi memorandum. Kelompok ini disokong di antaranya oleh Burhan Magenda. Kelompok kedua berpendapat Abdurrahman diberi peringatan keras berupa memorandum. "Kami, terutama dari luar Jawa, menginginkan memorandum," kata Anwar Arifin, salah seorang penyokong kelompok ini. Karena barisan kedua lebih besar, rapat akhirnya menerima permintaan memorandum.
Rapat lalu membentuk Tim Perumus, yang bertugas menyusun konsep sikap Golkar. Tim ini beranggotakan semua anggota Pansus Bulog ditambah tiga anggota tambahan, yakni Ferry Mursyidan Baldan, Agung Ginanjar, dan Ibrahim Ambong. Mereka bekerja hingga pukul dua dini hari.
Mestinya, pekerjaan sudah ringan. Tapi pengurus Golkar ternyata mencium gelagat buruk. Mereka mendengar Presiden Abdurrahman mengundang Akbar datang ke Istana pada pukul 9 malam. Dicurigai, undangan ini merupakan upaya Presiden untuk melemahkan sikap Golkar. Maka, strategi pengamanan pun disiapkan. "Sejak sore hari, Pak Akbar Tandjung kita jaga agar tidak keluar dari Slipi," kata Rully Chaerul Azwar, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar. Walhasil, Akbar tidak datang ke Istana.
Di sidang paripurna, Golkar bersuara lantang. Mereka menganggap Presiden secara langsung atau tidak langsung berperan dalam pencairan dan penggunaan dana Yanatera Bulog serta telah melakukan kebohongan publik dalam kasus bantuan Sultan Brunei Darussalam. Presiden dituduh telah melanggar Ketetapan MPR No. XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, selain juga dianggap telah melanggar sumpah jabatan. Dalam voting penentuan sikap, 108 anggota Golkar berdiri sebagai tanda menerima keputusan pansus yang menyatakan Presiden bersalah.
Selesai? Belum. Meski sepintas terlihat solid, ternyata ada saja anggota Golkar yang bersuara lain. Dalam sesi voting, politisi Golkar Haryadi Ahmad terlihat ngeloyor meninggalkan ruangan. Anggota DPR dari daerah pemilihan Lampung itu menolak memberikan suara. Menurut seorang pengurus Golkar, Haryadi sejak awal memang kerap berbeda pendapat. Ketika dalam sidang tahunan MPR Agustus 2000 lalu mayoritas politisi Golkar meminta pertanggungjawaban Abdurrahman, Haryadi adalah orang yang berkeras meminta pertanggungjawaban Ketua MPR Amien Rais.
Haryadi sendiri ketika dipergoki TEMPO meninggalkan ruang sidang kelihatan kikuk. "Gue sakit perut. Lihat nih muka gue pucat," katanya sambil menekan perutnya. Ia membantah jika disebut pro-Abdurrahman. "Golkar itu solid. Lagi pula, apa sih artinya satu suara saya."
PDI Perjuangan
Telah banyak diketahui bahwa pada beberapa partai seperti PDI-P atau Golkar, Abdurrahman punya penyokong. PDI-P, misalnya, sudah lama terbelah dua: kelompok garis keras, yang menginginkan Abdurrahman jatuh, dan kelompok moderat, yang menginginkan dwitunggal Abdurrahman-Megawati dipertahankan hingga 2004. Kelompok kedua ini dimotori oleh Taufik Kiemas. Tapi, ketika voting DPR pekan lalu, Taufik tak muncul. Anggota PDI-P yang juga kemenakan Abdurrahman, Saifullah Yusuf, juga tak hadir.
Namun, seperti Golkar, perdebatan dalam PDI-P beberapa hari menjelang sidang paripurna DPR sebenarnya sudah mengerucut. Mereka tidak lagi mempersoalkan menerima atau menolak hasil pansus, tapi membahas vonis apa yang harus diberikan kepada Presiden Abdurrahman. Di sini kubu Banteng terbelah dua. Mereka yang berada di garis keras menginginkan PDI-P langsung meminta sidang istimewa bagi Abdurrahman. Kelompok ini disokong oleh Sophan Sopian dan Kwik Kian Gie. Kelompok kedua ingin menempuh jalur normal. Artinya, Abdurrahman diberi peringatan memorandum sebelum digelar sidang istimewa. Kelompok ini didukung oleh para jawara PDI-P yang bekerja di pansus, di antaranya adalah Didik Supriyanto.
Para pertemuan Selasa sore, kedua kelompok belum berhasil mencapai kata sepakat. Baru pada pertemuan keesokan harinya, dalam rapat yang dipimpin langsung oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Sukarnoputri, partai memilih jalur moderat. "Dengan cara ini pun Gus Dur sudah mendapat tekanan politik yang kuat," kata Mega seperti ditirukan seorang anggota PDI-P yang hadir.
Selebihnya adalah wibawa dan otoritas Mega. Sejauh ini putri Bung Karno memang terbukti bisa menyelesaikan perbedaan pendapat dalam partai itu. Faktor Taufik Kiemas, yang disebut-sebut akan mempertahankan Abdurrahman, menurut beberapa sumber PDI-P ternyata tak terbukti, meskipun dalam sidang paripurna Taufik tak tampak.
Partai Kebangkitan Bangsa
Partai ini sejak awal menanggung derita dalam kasus Bulog dan Brunei. Mereka harus membela Presiden dengan cuma memiliki 11 persen suara di parlemen. Dalam Pansus Bulog, PKB cuma punya lima orang wakil dari 50 orang anggota pansus yang ada. Walhasil, PKB memang tak bergigi.
Dalam sidang paripurna DPR, Kamis pekan lalu, PKB nyata-nyata gagal meyakinkan sidang bahwa Abdurrahman tak bersalah. Bahkan pada detik-detik terakhir sebelum keputusan voting diambil, perjuangan keras politisi PKB untuk meminta sidang memberi waktu lobi sebelum voting dianggap sepi.
Permintaan PKB untuk melakukan voting tertutupsetelah permintaan lobi tak diterimapun tak didengar. Baru saja Arifin Junaidi mematikan mikrofon setelah permintaan itu, ketua sidang Soetardjo Soerjogoeritno langsung angkat suara, "Ya, voting terbuka kita mulai." Karena geram, Arifin berusaha memprotes Soetardjo dengan cara mendekat ke kursi ketua sidang. Tapi tetap saja suaranya dianggap angin. PKB akhirnya walk out sebelum sidang berakhir.
Mengapa PKB ngotot dengan voting tertutup? Menurut Arifin, fraksinya yakin sebetulnya bisa memenangi pertarungan dan menggaet suara mayoritas anggota dewan. Dengan lobi dan politik uang? Arifin membantah tuduhan itu. "Tidak mungkin kami membeli mereka. Kamu kok menganggap remeh wakil rakyat, sih," katanya.
Setelah sore kelabu itu, sejumlah anggota PKB lalu menemui Presiden Abdurrahman di Istana. Mereka yang hadir adalah Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil, ketua fraksi Taufikurrahman Saleh, Ali Maskur Musa, dan Sekretaris Dewan Syuro PKB Arifin Junaidi.
Menurut sumber PKB, Abdurrahman tak banyak bicara. "Baik. Saya setuju," kata Presiden menanggapi walk-out PKB. Abdurrahman memang tidak bisa berharap banyak. "Sudahlah, lobi apa pun tidak mungkin berhasil. Mereka tidak adil. Mereka memang mau menjatuhkan saya," kata Presiden seperti ditirukan seorang politisi PKB yang hadir di Istana.
Arif Zulkifli, Tomi Lebang, Adi Prasetya, Dwi Arjanto
Fraksi | Jumlah Kursi | Menerima | Menolak | PDI-P | 153 | 133 | - | Golkar | 120 | 108 | - | PPP | 58 | 50 | - | PKB | 51 | - | - | Reformasi | 41 | 4 | - | TNI/Polri | 38 | 38 | - | PBB | 13 | 12 | - | KKI | 2 | 2 | - | PDU | 9 | 9 | - | DKB | 4 | - | 4 | Non-Fraksi | - | 1 | - | Total | 474 | 393 | 4 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo