Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Jakarta, Dilarang Membangun

Penciutan areal pertanian di Jakarta, karena ditelan oleh pembangunan gedung-gedung. Ada anjuran agar meningkatkan penghasilan petani, dengan intensifikasi.

27 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMDA DKI rupanya tak dapat berbuat banyak menghadapi penciutan areal pertanian yang terus saja ditelan pembangunan gedung-gedung. Berbagai larangan membangun di wilayah-wilayah tertentu, misalnya di Condet, tak banyak menolong -- paling-paling sekedar memperlambat makin sempitnya areal pertanian itu. Malahan sumber TEMPO di Pemda DKI memandang berbagai surat keputusan (SK) tentang pelarangan itu sebagai "SK semu". Sebab, katanya, "siapa yang dapat menghalangi bila misalnya petani Condet ingin membangun rumah di tanahnya sendiri"? Apalagi karena sebagian petani di Jakarta masih memiliki kebiasaan menjual tanahnya sedikit- edikit -- untuk naik haji atau sekedar mengawinkan anaknya. Namun Gubenur DKI, Tjokropranolo, menyebut petani Mian Cubling di Kelurahan Cipayung, Pasar Rebo, sebagai contoh petani Jakarta yang sukses (lihat box). Untuk mencegah agar para petani tidak menjual tanahnya, menurur Gubernur Tjokropranolo, adalah dengan meningkatkan penghasilan mereka. "Mereka menjual tanah tentu dengan alasan penghasilan kurang," kata Tjokro, "karena itu hasil pertanian mereka perlu ditingkatkan." Ucapan Gubernur DKI itu sejalan dengan rencana Kepala Dinas Pertanian DKI, Ir. Rini Soeroyo, yang baru dilantik awal bulan lalu. "Yaitu dengan intensifikasi," turur Ir. Rini, anak kedua bekas Gubernur DKI dr. Soemarno. Maksudnya, "dengan tanaman atau pohon itu juga, petani dapat memetik hasil lebih banyak." Untuk itu, menurut Rini, instansinya akan melanjutkan program penyuluhan tentang pemakaian pupuk, cara merawat tanaman dan penggunaan bibit unggul. Tanpa intensifikasi, sesuai dengan hasil survei Agro Ekonomi 1975/1976, pada tahun 1984 nanti baik sayur-mayur mau pun buah-buahan untuk Jakarta, 100% harus didatangkan dari luar. Dan pada tahun itu juga diperkirakan Jakarta hanya mampu menghasilkan beras sekitar 0,9% dari kebutuhan warganya -- sekarang kurang dari 2%. Dalam beberapa tahun belakangan ini saja, setiap tahun Jakarta membutuhkan hampir 100.000 ton buah-buahan dan sekitar 300.000 ton sayur-mayur. Sedang kemampuan para petaninya setahun hanya 59.000 ton buah-buahan dan 90.000 ton sayur-mayur. Penciutan areal pertanian di DKI rata-rata 8,13% setahun. Pada 1970 areal pertanian masih tercatat 35.000 ha lebih -- lebih setengahnya tanah darat, sisanya sawah. Tapi pada 1977 tinggal sekitar 28.000 ha dan pada 1979 nengkerut lagi, sehingga hanya tinggal sekitar 25.000 ha atau 40,1% dari luas seluruh wilayah DKI. Karena itu hasil sayur maupun buah-buahan di Jakarta juga diharapkan dari non-petani. Yaitu dengan menanam kedua jenis tanaman itu di halaman runah. Untuk itu menurut Kepala Dinas Pertanian DKI, bibit-bibit disediakan instansinya secara cuma-cuma melalui kebun-kebun percontohan, seperti di Ragunan dan Ciganjur, Jakarta Selatan. Dengan memanfaatkan halaman itu, disamping "untuk menambah gizi keluara, juga membantu Dinas Pertamanan nntuk menghijaukan Jakarta." Sebab, tambah Ir. Rini yang sebelumnya adalah Wakil Kepala Dinas Pertamanan DKI, kedua instansi itu sama-sama bertugas menghijaukan Jakarta. Bedanya, Dinas Pertanian dengan tanaman produksi, sedang Dinas Pertamanan dengan tanaman hias maupun tanaman pelindung. Hari-hari sekitar pelantikan Ir. Rini sebagai Kepala Dinas Pertanian DKI, di Jakarta masih hangat berira serangan ulat di perkebunan jambu klutuk di Tanjung Barat, Pasar Minggu. Ia tampak masih kecewa setelah meninjau perkebunan iru. "Ulatnya sendiri dapat dikatakan sudah musnah," tuturnya, "tapi kerusakan akibat serangan ulat itu tak dapat segera dipulihkan." Untuk mencegah agar kejadian itu tak terulang, Dinas Pertanian DKI telah menyemprotkan pestisida Nogos (berkadar 2 cc/liter) pada radius 500 meter di sekeliling perkebunan tadi. Penyemprotan itu sendiri tidak akan mencemarkan lingkungan, sebab dalam waktu empat hingga tujuh hari pestisida itu akan larut dengan sendirinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus