Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERISTIWA itu terjadi sepuluh tahun lalu, tapi semuanya masih tetap basah dalam ingatan. Kami berempat: Aan Rusdianto, Mugiyanto, Petrus Bima Anugerah, dan saya adalah anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Baru sepuluh hari kami bertempat tinggal di rumah susun Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur itu. Tak seorang tetangga pun tahu bahwa kami anggota gerakan antikediktatoran.
Saat itu, Maret 1998, politik Indonesia sedang panas. Di tengah aksi protes mahasiswa, Sidang Umum MPR kembali mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI. Di kampus, gerakan menentang rezim Orde Baru kian marak. Setiap hari, kemarahan membara di sekujur negeri. Kota-kota dibungkus selebaran, spanduk, dan poster. Indonesia pun terbelah: pro atau anti-Soeharto.
Sejak dituding sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 (tapi tak pernah terbukti di pengadilan), SMID dan semua organisasi yang berafiliasi ke Partai Rakyat Demokratik (PRD) dinyatakan oleh pemerinah sebagai organisasi terlarang. Sejak itu, hidup kami terpaksa berubah. Kami diburu aparat keamanan Orde Baru. Maka, tak ada jalan lain kecuali bergerak gaya bawah tanah. Nama asli berganti alias. Setiap kali berpindah rumah, harus menyaru sebagai pedagang buku atau lainnya.
Tapi petualangan bawah tanah itu berhenti pada 13 Maret 1998. Malam itu, sekitar pukul tujuh, saya baru saja pulang dari Universitas Indonesia, Depok. Ada rapat mahasiswa sore itu di sana. Aan, mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang sudah berada di rumah. Setelah mandi, saya menjerang air. Mugiyanto berjanji pulang satu jam lagi, dan dia akan membeli makan malam. Sementara, Bima Petrus berpesan pulang agak larut.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Begitu Aan membuka pintu, empat lelaki kekar merangsek masuk. Mereka menyergap dan memiting tangan Aan. Saya kaget. Sekelebat saya melongok ke arah jendela. Kami berada di lantai dua, dan di bawah sana sejumlah ”tamu tak diundang” sudah menunggu. Mereka memakai seibo (penutup wajah dari wol), tapi digulung sebatas tempurung kepala. Wajah mereka masih terlihat jelas. ”Mau mencari siapa?” tanya saya. ”Tak usah tanya, ikut saja,” bentak seorang lelaki. Setelah mencengkeram Aan, dua lainnya mengapit saya. Kami digiring menuruni tangga. Saya agak meronta, tapi dengan cepat seseorang mencabut pistol. Sekejap, kesadaran saya bicara: saya diculik! Dan dua mobil Kijang sudah menunggu di bawah.
Di dalam mobil, mata saya ditutup kain hitam. Lalu mereka menyelubungi kepala saya dengan seibo itu. Saya juga merasa mereka melakukan hal yang sama pada Aan. Dompet saya diperiksa. Sial, mereka mendapat KTP saya dengan nama asli. ”Wah, benar, dia Nezar, Sekjen SMID!” teriak salah satu dari mereka.
Di mobil, mereka semua bungkam. Kaca tertutup rapat. Lagu house music diputar berdebam-debam. Lalu kendaraan itu melesat kencang, dan berhenti sejam kemudian. Tak jelas di daerah mana. Terdengar suara handy talkie mencicit, ”Merpati, merpati.” Agaknya itu semacam kode mereka. Rupanya, mereka meminta pintu pagar dibuka.
Mata kami masih tertutup rapat saat digiring masuk ke ruangan itu. Pendingin udara terasa menusuk tulang. Terdengar suara-suara orang, mungkin lebih dari 10 orang. Saya didudukkan di kursi. Lalu, mendadak satu pukulan melesak di perut. Setelah itu, menyusul bertubi-tubi tendangan. Satu terjangan keras mendarat di badan, sampai kursi lipat itu patah. Bibir terasa hangat dan asin. Darah mengucur.
Setelah itu, saya dibaringkan ke velbed. Tangan kiri diborgol dan kaki diikat kabel. Mereka bertanya di mana Andi Arief, Ketua Umum SMID. Karena tak puas dengan jawaban, alat setrum mulai beraksi. Dengan garang, listrik pun merontokkan tulang dan sendi. ”Kalian bikin rapat dengan Megawati dan Amien Rais, kan? Mau menggulingkan Soeharto kan?” tanya suara itu dengan garang.
Absurd. Saat itu, kami mendukung Mega-Amien melawan kediktatoran. Tapi belum pernah ada rapat bersama dua tokoh itu. Saya tak banyak menjawab. Mereka mengamuk. Satu mesin setrum diseret mendekati saya. Lalu, kepala saya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada.
”Allahu akbar!” saya berteriak. Tapi mulut saya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada membuat napas saya putus. Tersengal-sengal. Saya sudah setengah tak sadar, tapi masih bisa mendengar suara teguran dari seorang kepada para penyiksa itu, agar jangan menyetrum wilayah dada. Saya merasa sangat lelah. Lalu terlelap.
ENTAH pukul berapa, tiba-tiba saya mendengar suara alarm memekakkan telinga. Saya tersentak. Terdengar suara Aan meraung-raung. Ini mungkin kuil penyiksaan sejati, tempat ritus kekerasan berlaku tiap menit. Alarm dibunyikan tiap kali, bersama tongkat listrik yang suara setrumannya seperti lecutan cambuk. Saya juga mendengar jeritan Mugiyanto. Rupanya, dia ”dijemput” sejam setelah kami ditangkap. Hati saya berdebar mendengar dia dihajar bertubi-tubi. Sekali lagi, mereka ingin tahu apa betul kami terlibat konspirasi rencana penggulingan Soeharto.
Selama dua hari tiga malam, kami disekap di tempat itu. Penyiksaan berlangsung dengan sangat metodis. Dari suara alarm yang mengganggu, pukulan, dan teror mental. Pernah, setelah beberapa jam tenang, mendadak kami dikejutkan tongkat listrik. Mungkin itu tengah malam atau pagi hari. Tak jelas, karena mata tertutup, dan orientasi waktu hilang. Selintas saya berpikir bahwa penculik ini dari satuan profesional. Mereka bilang, pernah bertugas di Aceh dan Papua segala.
Klik. Suara pistol yang dikokang yang ditempekan ke pelipis saya.
”Sudah siap mati?” bisik si penculik. Saat itu mungkin matahari sudah terbenam. Saya diam.
”Sana, berdoa!”
Kerongkongan saya tercekat. Ajal terasa begitu dekat. Tak seorang keluarga pun tahu bahwa hidup saya berakhir di sini. Saya pasrah. Saya berdoa agar jalan kematian ini tak begitu menyakitkan. Tapi ”eksekusi” itu batal. Hanya ada ancaman bahwa mereka akan memantau kami di mana saja.
Akhirnya kami dibawa ke suatu tempat. Terjadi serah-terima antara si penculik dan lembaga lain. Belakangan, diketahui lembaga itu Polda Metro Jaya. Di sana kami bertiga dimasukkan ke sel isolasi. Satu sel untuk tiap orang dengan lampu lima belas watt, tanpa matahari dan senam pagi.
Hari pertama di sel, trauma itu begitu membekas. Saya takut melihat pintu angin di sel itu. Saya cemas, kalau si penculik masih berada di luar, dan bisa menembak dari lubang angin itu. Ternyata semua kawan merasakan hal sama. Sepekan kemudian, Andi Arief (kini Komisaris PT Pos Indonesia) diculik di Lampung. Setelah disekap di tempat ”X”, dia terdampar juga di Polda Metro Jaya.
Sampai hari ini, peritiwa itu menjadi mimpi buruk bagi kami, terutama mengenang sejumlah kawan yang hilang dan tak pernah pulang. Mereka adalah Herman Hendrawan, Bima Petrus, Suyat, dan Wiji Thukul.
Setelah reformasi pada 1998, satu regu Kopassus yang disebut Tim Mawar sudah dihukum untuk kejahatan penculikan ini. Adapun Dewan Kehormatan Perwira memberhentikan bekas Danjen Kopassus Letnan Jenderal Prabowo sebagai perwira tinggi TNI. Prabowo mengaku hanya mengambil sembilan orang. Semuanya hidup, dan sudah dibebaskan.
Pada 1999, majalah ini mewawancarai Sumitro Djojohadikusumo, ekonom dan ayah kandung Prabowo. Dia mengatakan penculikan dilakukan Prabowo atas perintah para atasannya. Siapa? ”Ada tiga: Hartono, Feisal Tanjung, dan Pak Harto,” ujar Sumitro. Lalu kini apakah kami, rakyat Indonesia, harus memaafkan Soeharto?
Doa saya untuk kawan-kawan yang belum (atau tidak) kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo