Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERKELILING di Kuala Lumpur bagaikan menyusuri lembah dan
bukit-bukit. Kota ini memang mendekam di sebuah lembah bernama
Lembah Kelang, dikelilingi jejeran bukit berketinggian sekitar
1500 - 1700 kaki di atas permukaan laut. Tapi kesegaran mata
dan kenyamanan perasaan itu bukan cuma karena alam memberi
berkah pemandangan indah dan hawa alamiah. Atau karena bas
(sebutan orang sana buat bis) yang disediakan Musi/Tina Travel
berekon (AC dalam lidah Melayu jadi ekon). Namun tampaknya
karena tumpukan bangunan flat dan gedung pencakar langit
bagaikan makin hendak mempertinggi bukit-bukit itu, berimbang
dengan gundukan pepohonan kecil dan besar yang rimbun nyaman. Di
kawasan Jalan Pekeliling (di mana juga gedung KBRI berada)
misalnya, banyak terlihat deretan pohon besar dan rimbun di
daratan cukup luas tak ubahnya di Kebun Raya Bogor Mungkin itu
sisa-sisa semasa kawasan yang kini jadi ibu kota Malaysia masih
belantara. Tapi yang sampai kini masih tetap dibina dan
dipelihara Pemerintah Kota KL.
Tapi gedung-gedung pencakar langit itu sendiri, banyak yang
merupakan buah tangan nan elok. Tak cuma berbentuk kotak-kotak
beton. Apalagi bangunan-bangunan megah yang bergaya timur
meskipun arsitektur gaya Inggeris atau Eropa Barat masih
membekas. Hingga meskipun pencakar-pencakar langit itu dibangun
mencuat ke langit tak mengganggu keindahan kota. Tentu saja
harus dikecualikan flat-flat dan beberapa bangunan di kawasan
penduduk Cina yang tak begitu mempedulikan keindahan arsitektur.
Beban kota besar mungkin belum jadi masalah bagi Kuala Lumpur.
Tapi yang pasti luas kawasan kota yang cuma 94 mil persegi
dengan penduduk hampir 1 juta itu tak mungkin diperluas lagi.
Kuala Lumpur dibangun tahun 1895 di tahun-tahun 1903, 1912,
1934, 1950, 1957 dan 1974 diadakan pemekaran Sekitar 40, luas
tanah di KL dimiliki Kerajaan Negeri (Selangor). Sedang 60%
sisanya dikuasai tuan-tuan tanah atau tanah-tanah simpanan.
Hingga seperti juga dihadapi kota-kota besar dunia yang sedang
berkembang KL yang sejak 1 Pebruari 1972 resmi sebagai
Bandaraya, tentu saja tak mudah mengelakkan beban masalah
perkotaan. Yang dalam rumusan Dato' Bandar (semacam walikota
bagi KL) dan pentadbir (pejabat teras) anggota Organisasi
Pentadbiran Bandaraya (semacam Dewan Kota), " suatu rencana
yang akan dipraktekkan melihatkan usaha-usaha yang
mengenyampingkan keadaan yang lama. Dan mewujudkan keadaan baru
melibatkan anggaran yang besar". Meski begitu sebagai kota yang
sejak 1880 sudah jadi Ibu Negeri Selangor dan di tahun 1948 jadi
ibukota Persekutuan Tanah Melayu dan kini Ibukota Kerajaan
Malaysia KL menurut Dato' Bandarnya, "telah berubah dengan
pesatnya dalam alitu sepuluh tahun belakangan ini" Sementara
itu KL bergelut dengan jumlah pertambahan penduduk yang 7%
setahun (3% tiap tahun seluruh Malaysia). Karena kelahiran atau
urbanisasi.
Tak berarti para Pentadbir Bandaraya tak dicekam kecemasan.
"Tanggungjawab kami besar tanpa had (batas) " kata Pemangku
Dato' Bandar Enchik Zainol Mahmood di depan para wartawan
Jakarta yang berkunjung ke KL akhir tahun lalu dari
masalah-masalah besar seperti perumahan, lalu-lintas dan banjir,
dengan rendah hati Enchik Zainol menyatakan belum ada masalah
yang sukses dengan baik padahal dalam masalah lalu-lintas
misalnya, KL, seperti diakui Dubes RI di sana Moh. Hasan, "lebih
baik". Ini agaknya erat hubungannya dengan disiplin warga kota,
yang dalam hal pemakaian topi penyelamat (safety helm) saja
misalnya tak ada ribut-ribut. Meskipun kaum wanita yang
membonceng harus mengangkangkan kaki. Dan yang meruwetkan,
menurut Enchik Zainol, "banyak kereta privat (mobil pribadi -
Red.) masuk ke kota --sekitar 1 juta - tapi bukan bertujuan ke
pusat kota". Hingga pemecahannya harus membuat ringroad dan area
road pricing, yakni daerah bagi pemilik mobil yang kosong Sedang
fly-over yang masih jadi impian Jakarta, di KL sudah lama ada
antara lain dari Petaling Jaya - KL dan KL Ipoh.
Tapi barangkali yang paling menarik dan menonjol ialah pemecahan
masalah perumahan rakyat Pemerintah Malaysia menyebunya rumah
pangsa. Bermula tahun 1958 dengan anggaran MS 18 juta satu blok
rumah pangsa bertingkat 9 terdiri 220 unit masing-masing 2
kamar dilengkapi 12 toko di tingkat bawah dibangunan kompleks
perumahan murah di Jalan Shaw/Loke Yew. Meski semula
dimaksudkan untuk menampung korban kebakaran besar di Lorong
Gombak yang padat, akhirnya jadi kebijaksanaan Pemerintah yang
utama. Hal ini sesuai dengan Dasar Ekonomi Baru(DEB) yang
dicetuskan almarhum PM Tun Razak tahun 1972 setelah kerusuhan
1969. DEB ini bertujuan memberantas kemiskinan dan meningkatkan
tingkat sosial kaum Melayu. Sekitar 13.700 unit rumah pangsa
dengan anggran M$ 103.100.00 masuk pelita III Malaysia. Di
antaranya untuk tahun 1977 Dewan Bandaraya menyediakan M$
28.521.100 untuk membangun 7.868 unit. Rumah-rumah ini bisa
disewa $ 35/bulan (2 kamar) atau diangsur $ 35 sebulan selama 15
tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo