Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Pasar Pagi, Tanpa Tawar-menawar

Sejumlah kios di pasar pagi, Jakarta disegel PD Pasar Jaya, karena pemilik kios tidak mau memperpanjang kontrak baru mereka harus meninggalkan tempat tanpa ganti rugi dan membayar uang kontrak. (kt)

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAWASAN Pasar Pagi, Jakarta Kota, selalu hingar bingar itu, Senin pagi 20 September tampak makin hiruk pikuk. Meskipun mereka tak berjualan. Karena para pedagang grosir yang menempati bangunan memanjang di seberang kompleks Pasar Pagi bertingkat empat itu, ramai berkerumun dan menggerutu di luar kios mereka. Sejak Minggu petang, 597 kios yang mendekam di bekas rel-rel dan halte trem itu sudah disegel PD Pasar Jaya. Keresahan menyelimuti sekitar 1500 pedagang dan kuli-kuli angkut yang biasa menghiruk-pikuki pusat perdagangan pecinan itu. Dan persoalannya selain menambah kesibukan Gubernur DKI Tjokropranolo dan Dirut PD Pasar Jaya Wirjadi SH, juga merepotkan Lembaga Bantuan Hukum. Sebab bisa diduga peristiwa itu melahirkan rupa-rupa akibat. "Diperkirakan 1500 tenaga kerja dengan tanggungan keluarga 5000 orang, menerima akibat penyegelan tersebut," tutur Adnan Buyung Nasution SH, Ketua LBH DKI yang langsung ditunjuk para pedagang membereskan perkara itu. Menurut Buyung selain mengakibatkan lumpuhnya penyaluran hasil-hasil produksi yang biasa lewat Pasar Pagi dan pengaruhnya di bidang keuangan juga dikhawatirkan menurunnya keamanan di kawasan tersebut. Yang terakhir ini dipandangnya sebagai lebih negatif ketimbang akibat lainnya. "Sebaiknya para pedagang diperbolehkan melakukan kegiatannya kembali. Agar akibat dan aspek negatif tidak kian parah," ucap Buyung seperti dikutip berbagai koran dua hari kemudian. 3 Tahun Saja Ceritanya bermula lebih sepuluh tahun lalu. Waktu itu sekitar tahun 1967, seorang kontraktor yang sudah mendapat izin Pemda DKI, selesai membangun 597 kios di kawasan yang kemudian populer sebagai Los Atom dan Los Mini itu. Dengan menyetor Rp 200 ribu per kios para pedagang yang kebanyakan pedagang grosir barang kosmetik dan hiasan (seperti arloji, vulpen itu) bisa menempati kios-kios tersebut. Tentu saja memakai perjanjian. Dan perjanjian bertanggal 26 Oktober 1967 antara para pedagang dan Pemda DKI (PD Pasar Jaya) yang diwakili Suhadi, Dirut Pasar Jaya (waktu itu) menyebut antara lain "masa sepuluh tahun" sebagai jangka waktu kontrak pinjam pakai. Ini berarti akhir 1977 lalu jangka waktu itu lewat sudah. Tentu saja para pedagang perlu memperpanjangnya. Melalui wakil mereka yaitu Mong Kian Boen, Lie Siao Fong dan Ling Eang Kiu, para pedagang mengajukan perpanjangan. Surat permohonan bertanggal 24 Pebruari 1978 itu ditujukan kepada Dirut PD Pasar Jaya. Pihak PD Pasar Jaya mengabulkan. Untuk selama 3 tahun lagi, dengan perjanjian kontrak pinjam pakai (KPP) baru. Perjanjian ini antara lain mencantumkan syarat, "setelah habis KPP tiga tahun, mereka harus meninggalkan tempat tersebut tanpa ganti rugi apa pun."Mereka juga wajib membayar uang kontrak Rp 900 ribu, yang boleh dicicil selama 6 bulan mulai Agustus 1978. Tapi sampai awal September, tak seorang pun yang sudi meneken kontrak baru dan membayar uang kontrak. Rupanya para pedagang merasa keberatan terhadap syarat-syarat baru yang tercantum di sana. Tapi mereka diam. Hingga memaksa Gubernur Tjokropranolo memerintahkan Pasar Jaya mengambil tindakan administratif berupa penyegelan, pengalihan dan lainnya. Perintah ini keluar awal September. Berdasarkan itu penyegelan dilaksanakan 19 September tadi. "Kurang bijaksana," komentar Adnan Buyung SH. "Lebih menunjukkan aspek kekerasan." Tapi "itu dilakukan setelah diberi peringatan 3 kali 24 jam, agar pedagang memenuhi peraturan yang sudah diedarkan. Tapi tak digubris," tukas Wirjadi SH Dirut PD Pasar Jaya yang baru. Maksud Wirjadi tentunya pemenuhan iuran yang Rp 900 ribu itu. Menurut seorang pedagang disana bukan soal iuran. Tapi pasal peraturan yang menyebutkan "jangka waktu tiga tahun" dan "harus meninggalkan tempat tanpa ganti rugi apapun." Kata seorang pedagang lainnya, "kan jadi sia-sia itu uang Rp 900 ribu." "Kalau mau digusur musti jelas ke mana kita orang musti pindah," ucap seorang encek yang duduk termangu di atas peti bekas di antara kerumunan engkoh-engkoh lainnya. "Keberatan mereka wajar saja," jawab Wirjadi kepada Bambang Bujono dari TEMPO. "Tapi tak ada ketentuan yan menyebutkan Pasar Jaya harus menjamin atau menampung para pedagang itu." Menurutnya, masalah itu bukan urusannya, tapi Pemda DKI yang harus memikirkannya. Sedang tentang batas waktu tiga tahun karena rencana induk DKI akan menjadikan kawasan itu sebagai "kota inti". Yakni kawasan kota Jakarta lama yang akan dipugar untuk obyek turisme. Ini misalnya sudah dimulai dengan pemugaran bekas markas Kodim dan bekas kantor Walikota Jakarta Barat yang kini dijadikan museum dan Balai Seni Rupa. Konon bagian kota lainnya yang kini berupa gudang dan kantor, akan berangsur-angsur dipindahkan antara lain ke kawasan Pulo Gadung. Kenapa kok kios-kios itu yang lebih dulu di"garap"? "Kan masa kontraknya sudah selesai. Dan Pemda punya rencana lain," tukas B. Harahap, jubir Pemda DKI. Tapi sementara rencana belum dilaksanakan, katanya, ada permintaan perpanjangan. Permintaan itu disetujui dengan syarat baru. "Tak bisa tawar menawar. Kalau mau diperpanjang ini syaratnya," kata Harahap. Akan dikemanakan para pedagang itu? "Pemda selalu secara moril bertanggung jawab dan menaruh perhatian terhadap nasib warganya. Ini kewajiban gubernur," ujar arahap tanpa memperjelas jawabanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus