Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Perkembangan uji klinis tahap ketiga kandidat vaksin Covid-19 buatan BioNTech dan Pfizer Inc mendapat sambutan hangat di sejumlah negara. Pemerintah Selandia Baru akan membeli 1,5 juta dosis vaksin tersebut dengan pengiriman paling cepat pada kuartal pertama 2021. Sedangkan Amerika Serikat memiliki kontrak senilai US$ 1,95 miliar untuk 100 juta dosis vaksin, yang akan didistribusikan akhir tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun lain halnya dengan negara berkembang di Asia. Ketua Gugus Tugas Sains dan Teknologi Pakistan Atta Ur Rahman menyatakan vaksin ini tidak cocok untuk digunakan di negara berkembang. “Infrastruktur rantai dingin untuk membawa vaksin dari bandara ke seluruh wilayah tidak ada di negara berkembang," kata dia, seperti dikutip VOA News, kemarin. Pakistan, kata Atta, akan kesulitan mendistribusikannya karena rata-rata suhu musim panas di sejumlah daerah mencapai 40-50 derajat Celsius.
Sekretaris Kesehatan Filipina Francisco Duque menyatakan negaranya tak memiliki fasilitas penyimpanan ultra-dingin untuk vaksin tersebut. "Teknologi yang digunakan Pfizer juga masih baru. Kami tidak berpengalaman, jadi risikonya bisa tinggi," katanya. Meski begitu, pemerintah Filipina masih menunggu perkembangan lanjutan dari vaksin ini.
BioNTech dan Pfizer melaporkan bahwa kemanjuran vaksin mereka mencapai lebih dari 90 persen pada masa awal uji coba tahap ketiga. Sebanyak 43.500 relawan yang menerima vaksin mengalami efek samping, seperti sakit kepala, demam, dan nyeri otot, layaknya imunisasi pada umumnya, tapi tidak membahayakan.
Sekretaris Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan vaksin Pfizer menjadi salah satu yang paling menjanjikan untuk diproduksi massal. Namun vaksin yang dikembangkan dengan teknologi messenger ribonucleic acid (RNA) ini membutuhkan penyimpanan khusus dengan suhu di bawah -70 derajat Celsius. Syarat ini menjadi tantangan imunisasi bagi negara-negara di Asia dan Afrika yang memiliki suhu tinggi serta infrastruktur yang belum memadai.
Pemerintah Korea Selatan masih menunggu hasil uji klinis BioNTech dan Pfizer. Pejabat di Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan, Kwon Jun-wook, menyatakan mereka berencana meninjau rantai pasok vaksin secara menyeluruh setelah prosesnya selesai. Berdasarkan studi pada 2018, hanya seperempat dari 2.200 klinik swasta di negara tersebut memiliki lemari es medis.
Di Jepang, kesiapan distribusi vaksin masih menjadi pertanyaan meski telah meneken kesepakatan 120 juta dosis vaksin dari BioNTech dan Pfizer. Manajer Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit Internasional St Luke Tokyo, Fumie Sakamoto, menyatakan fasilitas penyimpanan vaksin akan menjadi tantangan utama. "Rumah sakit di Jepang biasanya tidak memiliki freezer ultra-dingin. Tapi saya pikir ini saatnya kita mulai memikirkan logistik untuk vaksin," katanya.
Pemerintah Indonesia menyatakan belum mempertimbangkan membeli vaksin dari Pfizer. Kesepakatan pengadaan vaksin justru dijalin dengan perusahaan Cina, Sinovac.
Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, menyatakan pemerintah perlu menguji secara tuntas jika berencana membeli vaksin Pfizer. Meski telah diklaim memiliki kemanjuran 90 persen, data keamanan vaksin belum diketahui. Selain itu, pemerintah perlu memastikan pengujian dilakukan pada populasi yang sama dengan penduduk Indonesia.
VINDRY FLORENTIN
4
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo