Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah 78 hari menginap di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani, Fadil, bukan nama sebenarnya, akhirnya bisa pulang ke rumahnya di Jakarta Pusat. Dua hari menjelang Idul Adha, dia bisa berkumpul lagi dengan keluarganya. Tapi, hingga kini, Fadil belum bisa melupakan pengalaman buruk saat dia menjadi korban kekerasan aparat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fadil ditangkap polisi di sekitar gedung Badan Pengawas Pemilu, Jakarta Pusat, pada Rabu malam, 22 Mei 2019. Siswa sekolah menengah kejuruan itu dituduh terlibat dalam kerusuhan di sekitar kantor Bawaslu sejak sehari sebelumnya. "Saya cuma diajak ke Rusun Kebon Kacang. Katanya di sana ada kerusuhan melawan polisi," ujar Fadil, 16 tahun, saat ditemui Tempo di rumahnya pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerusuhan melanda sebagian Jakarta pada 21 dan 22 Mei 2019, di tengah unjuk rasa massa pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Pengunjuk rasa memprotes hasil pemilihan presiden 2019 yang dimenangi pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Fadil bercerita, kala itu dia tiba di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, menjelang tengah malam, Suasana di jalanan bak medan perang. Bunyi petasan dan tembakan gas air mata bersahutan. Fadil larut di tengah huru-hara. Ia turut mengambil batu yang disediakan pria bertopi di tengah-tengah massa.
Belum sempat melempar batu, Fadil melihat massa kocar-kacir dikejar polisi. Ia pun berlindung di depan gedung di belakang kantor Bawaslu. Nahas, sekelompok polisi berseragam hitam-hitam melihat Fadil yang bersembunyi. Mereka lalu menyeret bocah itu ke arah gedung Bawaslu. Sepanjang jalan, Fadil merasakan tonjokan, tendangan, dan sabetan tongkat rotan. "Saya dikeroyok bergantian. Hanya satu polisi yang sempat melindungi saya," kata dia.
Fadil lalu diangkut dari Bawaslu ke Unit Reserse Mobil Kepolisian Daerah Metro Jaya. Di sana, ia melihat polisi masih menggebuki para pendemo. "Di Resmob saya tidak digebuki lagi. Saya bilang masih pelajar dan dipisah dengan yang dewasa," ujar dia.
Tapi penderitaan Fadil belum berakhir. Setelah pendataan, Fadil dibawa ke ruang pemeriksaan. Diperiksa tanpa pendampingan kuasa hukum, Fadil kembali mengalami kekerasan. Dia ditendang dan ditonjok pada bagian perut. "Saya diminta mengaku terlibat kerusuhan," kata dia. Tak tahan, Fadil akhirnya mengaku melempari polisi.
Dua hari kemudian, Fadil dibawa ke Balai Rehabilitasi Anak Handayani. Sebelumnya, polisi berjanji akan membawa dia ke rumah sakit untuk pengobatan lukanya. "Sampai sembuh sendiri belum pernah saya dibawa ke rumah sakit," kata Fadil, seraya menunjukkan bekas luka di kepala dan punggungnya.
Ibu kandung Fadil, sebut saja namanya Aminah, sempat melihat langsung kondisi anaknya yang babak belur setelah diinterogasi di kantor polisi. Kala itu, wajah Fadil bengap. Sekeliling matanya menghitam. "Saya hanya bisa menangis," ujar dia.
Fadil hanya satu dari sekian anak yang ditangkap dengan tuduhan terlibat kerusuhan. Lembaga Bantuan Hukum Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (Paham), misalnya, mengadvokasi lima anak yang ditangkap dan dianiaya oleh polisi. Salah satunya adalah Fadil. "Kami punya bukti adanya penganiayaan itu," kata anggota tim advokasi Paham, Gita Aulia. Paham telah melaporkan kasus itu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Penyelidikan lebih jauh oleh KPAI menemukan puluhan anak menjadi korban kekerasan aparat. Komisioner KPAI Jasra Putra mengungkapkan, dari 62 anak yang ditangkap pada kerusuhan itu, 55 orang menjadi korban kekerasan aparat. Anak-anak umumnya menderita luka lebam di bagian wajah, punggung, dan perut. Mereka mengaku ditendang, dipukul, dan dipentung.
Jasra menerangkan, sebanyak 24 anak menjadi korban kekerasan di lapangan, 24 anak pada saat penangkapan, dan 7 anak saat penahanan. Hanya 17 anak yang tidak mengalami kekerasan. "Kami sudah melaporkan adanya penganiayaan ini ke Propam (Divisi Profesi dan Pengamanan Polri)."
Juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Argo Yuwono, membenarkan adanya tindak kekerasan oleh aparat ketika kerusuhan pecah pada 21–23 Mei lalu. Kepolisian telah memproses secara hukum anggotanya yang melakukan kekerasan kepada warga. "Total ada empat kasus yang sudah diproses," ujar dia.
Namun Argo membantah adanya penganiayaan terhadap anak-anak dalam proses penangkapan hingga pemeriksaan. "Semua dilakukan dengan SOP (prosedur operasi standar) dan sudah vonis," ujar Argo. IMAM HAMDI
Buntut Rusuh Jakarta
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo