Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Dinas Kehutanan DKI Jakarta akan menggenjot penambahan ruang terbuka hijau (RTH) pada tahun depan. Salah satu upaya yang akan dilakukan adalah menagih tunggakan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) dari para pengembang.
“Jadi, kami coba membangun RTH dari tanah fasos-fasum,” ujar Kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta Suzi Marsitawati, Kamis 18 Oktober 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Berdasarkan data Dinas Kehutanan, luas ruang hijau di Ibu Kota pada 2015 baru mencapai 9,97 persen. Rinciannya, 6,90 persen merupakan RTH publik dan 3,07 persen RTH perorangan.
Padahal Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah 2030 mengamanatkan RTH harus mencapai 30 persen dari luas wilayah Jakarta. Adapun luas DKI adalah 7.659,02 kilometer persegi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Permasalahan fasos dan fasum juga pernah menjadi catatan Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan DKI 2016. Dalam audit itu, total tunggakan fasos dan fasum pemegang surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT) di seluruh Jakarta mencapai 1.761 hektare. Salah satu fasos dan fasum yang belum tertagih itu merupakan RTH.
Adapun rancangan Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2020 menyebutkan Dinas Kehutanan mengusulkan anggaran pengadaan tanah untuk RTH sebesar Rp 1,77 triliun. Jumlah tersebut naik dibanding anggaran untuk program serupa pada tahun ini yang sebesar Rp 1,67 triliun.
Menurut Suzi, penambahan RTH dari tunggakan fasos-fasum perlu ketelitian. “Kami harus lihat juga administrasi serah-terima (fasos-fasum) di BPAD (Badan Pengelola Aset Daerah),” ujarnya.
Cara lain untuk menambah RTH, kata Susi, ialah meminta gedung swasta yang berada di jalan protokol membangun vertical garden dan roof garden. Dia optimistis pihak swasta bisa dilibatkan dalam program ini karena sejumlah perkantoran di Ibu Kota memiliki konsep ramah lingkungan.
Penambahan RTH dengan vertical garden, Susi melanjutkan, juga bisa diterapkan di permukiman penduduk. Dinas Kehutanan dapat bekerja sama dengan Dinas Ketahanan Pangan dan Kelautan Pertanian untuk menerapkan vertical garden di kampung-kampung.
Selain itu, kata Susi, penambahan ruang terbuka hijau ini juga akan melibatkan pemerintah pusat, misalnya dengan menjadikan kolong jalan tol dan kolong jalur light rail transit (LRT) menjadi RTH. “Jadi ada kolaborasi dengan pemerintah pusat dan masyarakat,” ucapnya.
Pengamat tata kota dari Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Joga, meragukan pemerintah DKI dapat menambah ruang terbuka hijau dengan menagih tunggakan fasos-fasum dari pengembang. Apalagi sebagian pengembang sudah membayar kewajiban itu dalam bentuk uang. “Masalahnya, uang (yang diterima dari pengemabang) itu enggak dibelikan lahan RTH oleh DKI,” ujarnya.
Selain itu, kata Nirwono, pemerintah tidak bisa lagi menagih lahan fasos dan fasum karena banyak perusahan pengembang yang telah bubar. Walhasil, upaya pemerintah DKI menggenjot RTH sulit dipenuhi.
Adapun program vertical garden dan roof garden di gedung dan permukiman, menurut Nirwono, tidak dapat dihitung sebagai Ruang Terbuka Hijau. Sebab, vertical garden dan roof garden tidak bisa menyerap air. Sementara fungsi utama RTH justru harus dapat menyerap air. “Vertical garden dan roof garden tidak bisa meminimalkan banjir,” kata dia.
IMAM HAMDI