Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

DPR dan Pemerintah Abaikan Publik

Revisi UU kpk selangkah lagi disahkan. Tiga partai kasih catatan tapi tetap setuju.

17 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menyelesaikan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Wakil Ketua Badan Legislasi, Totok Daryanto, mengatakan pembahasan revisi itu akan dibawa ke pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna hari ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Panitia kerja berpendapat revisi Undang-Undang KPK dapat dilanjutkan pembahasannya dalam pembicaraan tingkat II, yakni pengambilan keputusan, agar ditetapkan sebagai Undang-Undang KPK," kata Totok saat rapat panitia kerja di Badan Legislasi, kemarin malam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, ada tujuh poin yang disepakati dalam rapat panitia kerja tersebut. Di antaranya tentang kedudukan KPK sebagai lembaga eksekutif, pembentukan dewan pengawas, dan pelaksanaan penyadapan.

Poin berikutnya adalah ihwal mekanisme penghentian penyidikan dan penuntutan, koordinasi kelembagaan dengan penegak hukum lain, mekanisme penggeledahan dan penyitaan, serta sistem kepegawaian KPK.

Dari sepuluh fraksi di DPR, tiga fraksi, yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat, memberikan catatan ihwal dewan pengawas. Sedangkan tujuh fraksi lainnya sepakat secara bulat. Sikap ketiga fraksi itu akan dibahas dalam rapat paripurna hari ini.

Pembahasan revisi Undang-Undang KPK di Badan Legislasi mulai digeber sejak Kamis pekan lalu. Rapat perdana bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly digelar untuk mendengarkan pandangan pemerintah. Rapat itu terkesan mendadak dan ditutup-tutupi. Awak media baru mengetahui adanya rapat tersebut sepuluh menit sebelum dimulai.

Pembahasan di Badan Legislasi kemudian dilanjutkan keesokan harinya. Dalam rapat tertutup itu, pemerintah dan DPR menyepakati 34 poin revisi. Sejumlah pasal yang diloloskan dianggap melemahkan KPK. Di antaranya soal penyebutan KPK sebagai lembaga eksekutif, pengalihan status pegawai KPK menjadi aparat sipil negara, dan penyadapan yang harus dilakukan melalui izin dewan pengawas.

Kemarin, Badan Legislasi kembali mengebut pembahasan revisi undang-undang komisi antirasuah. Rapat yang kembali digelar tertutup itu merampungkan pembahasan seluruh pasal. Secara umum, DPR menyatakan sepakat dengan semua DIM pemerintah.

Para pegiat antikorupsi mengkritik tertutupnya pembahasan revisi Undang-Undang KPK ini. Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengungkapkan tertutupnya pembahasan revisi ini tak sesuai dengan mandat konstitusi. "Semestinya pembahasan undang-undang melalui proses yang terbuka dan melibatkan peran masyarakat," kata dia kepada Tempo.

Feri menjelaskan, asas keterbukaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 5 huruf g aturan itu menyebutkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus meliputi keterbukaan. Selanjutnya, Pasal 96 menyatakan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis.

Upaya DPR untuk menutup-nutupi pembahasan, kata Feri, bisa dilakukan dalam forum lobi atau rapat setengah kamar. Tapi, jika sudah masuk dalam forum formal, DPR tak boleh menyembunyikannya dari publik. "Apalagi undang-undang itu berlaku untuk semua masyarakat. Semestinya dibahas terbuka dan didengar publik, apa perspektif pemerintah dan DPR," katanya.

Bagi Feri, tindakan DPR yang tak mau terbuka menyebabkan revisi Undang-Undang KPK akan mengalami cacat administrasi ketika nanti disahkan. Masyarakat sipil, kata dia, berniat menggugat revisi undang-undang tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau Mahkamah Konstitusi. "Kami sedang berpikir kapan akan eksekusi," katanya.

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, berujar tertutupnya pembahasan revisi menambah kecurigaan publik tentang adanya konflik kepentingan. Apalagi, pembahasan itu dilakukan sangat terburu-buru. "Kalau begini, wajar publik mempertanyakan ada apa di balik revisi Undang-Undang KPK," katanya.

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengingatkan agar pemerintah dan DPR tidak bertindak inkonstitusional. Dengan pengesahan revisi Undang-Undang KPK yang melemahkan lembaga antirasuah, menurut perwakilan Koalisi, Wana Alamsyah, Presiden dan DPR telah melanggar Ketetapan MPR X Tahun 1998 tentang Reformasi, serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. BUDIARTI UTAMI PUTRI | HALIDA BUNGA FISANDRA | MAYA AYU PUSPITASARI


DPR dan Pemerintah Abaikan Publik

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus