Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dua Jurus Melengserkan Setya Novanto

Setya Novanto melawan desakan untuk mundur dari jabatannya lewat gugatan pra peradilan.

24 November 2017 | 11.36 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kursi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat jadi sorotan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Setya Novanto. Sejumlah fraksi di DPR mendesak penentuan ulang pemilik kursi tersebut agar tak menghambat kinerja parlemen. Opsi pelengseran tengah digagas lewat dua jalur penyelesaian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

***

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabar penahan Setya memaksa Wakil Presiden, Jusuf Kalla, ikut-ikutan angkat suara. Ia mengkritik prilaku juniornya di Partai Golkar tersebut lantaran acapkali menyeret-nyeret Presiden. Salah satunya tampak ketika kuasa hukum Setya mensyaratkan KPK meminta restu pemeriksaan Presiden Joko Widodo sebelum pemeriksaan. “Saya tidak mau nama Presiden dijual,” ujarnya, Rabu, 22 November 2017.

JK membenarkan bahwa Setya kerap bermanuver untuk lolos dari jeratan KPK. Sejumlah petinggi lembaga penegak hukum seperti polisi dan lembaga peradilan kerap ia lobi. "Prilaku seperti itu bukan sekarang saja. Coba tanya, sejak saya jadi Ketua Umum Golkar, pernah nggak saya kasih dia fungsi? Orang-orang yang saya yakin bisa merusak image partai, tidak akan saya kasih," ujarnya.

Setya resmi ditahan KPK sejak Ahad lalu. Ia diduga terlibat kasus korupsi KTP elektronik yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Perburuan terhadap Setya sempat terbentur ketika KPK akan menjemput secara paksa dari rumah kediamannya. Mendadak ia menghilang dan dinyatakan buron. Pelarian Setya berakhir ketika mobil Fortuner yang membawanya menabrak tiang listrik.

Menurut JK, kasus yang membelit Setya tak bisa diangap enteng karena bisa merembet hingga masa pemilu. Citra partai akan terus tergerus dan tak lagi menarik di mata konstituen. Ia menyarankan Golkar segera berbenah. Utamanya menyangkut fungsi kepemimpinan Setya di Golkar dan DPR. “Kalau ketua tidak berfungsi, ya harus diganti kan. Itu saja, tidak ada yang lain,” kata dia.

Desakan atas penggantian Setya sejatinya telah menggaung di internal partai. Mantan rival Setya dalam bursa pemilihan Ketua Umum di Bali, Airlangga Hartanto, terang-terangan menyatakan kesediaannya menggantikan posisi Setya. Begitupun dengan kader Golkar pendukung Ade Komaruddin. Perseteruan Ade dan Setya punya sejarah panjang saat keduanya berebut kursi pimpinan DPR.

Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar merespon gejolak tersebut dengan menggelar rapat pleno pada Selasa lalu. Hasilnya, seluruh peserta rapat sepakat menyerahkan kendali partai untuk sementara waktu kepada Sekretaris Jenderal, Idrus Marham, sebagai pelaksana tugas. Adapun nasib Setya akan ditentukan pasca putusan praperadilan yang tengah diajukan kuasa hukum Setya Novanto.

Ketua Harian Golkar, Nurdin Halid, yang memimpin rapat tersebut, menyatakan jabatan pelaksana tugas akan berakhir jika hakim praperadilan mengabulkan gugatan Setya. Sebaliknya, bila gugatan ditolak, Golkar akan meminta Setya mengundurkan diri. “Jika Setya enggan mengundurkan diri, Golkar akan menyelenggarakan musyawarah nasional untuk mencari pemimpin yang baru,” kata dia.

Koordinator Indonesia Corruption Watch, Donal Faris, menilai kasus Setya menjadi rumit karena ia memiliki jabatan strategis sebagai Ketua Golkar dan Ketua DPR. Kedua posisi tersebut saling mengunci dalam pengambilan keputusan dan sepatutnya dilepas agar tidak menjadi beban lembaga. “Tentu tidak sepatutnya DPR dipimpin seorang tersangka kasus korupsi yang ditahan KPK,” kata dia.

Menurut Donal, Golkar punya alasan kuat mengganti Setya Novanto sebagai Ketua DPR. Selain kasus korupsi, kepemimpinan Setya tak membawa perubahan bagi citra partai. Sebaliknya, Setya acapkali membuat gaduh, baik karena masalah hukum maupun etika jabatan. “Golkar tidak boleh berkutat pada persoalan internal dan melupakan aspek jabatan publik yang diemban Setya,” katanya.

Donal juga mendesak Mahkamah Kehormatan Dewan menjatuhkan sanksi terhadap Setya. Apalagi, Undang-Undang MD3 tegas melarang setiap anggota dewan melakukan praktik korupsi, kolusi, nepotisme. “Aturan ini bisa menjadi dasar bagi MKD untuk meminta kesediaan Novanto mengundurkan diri. Terlebih lagi yang bersangkutan tidak akan dapat melaksanakan tugasnya secara berturut turut,” kata dia.

Ketua MKD, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan MKD akan menggelar rapat pekan depan dengan pimpinan fraksi untuk menjaring masukan. Menurut dia, keputusan MKD bisa diambil tanpa harus menunggu putusan praperedilan. Perlawanan atas inisiatif MKD itu belakangan dilakukan Setya Novanto dengan melayangkan surat agar MKD menunda sikap hingga adanya putusan praperadilan.

ISTMAN M.H. | AHMAD FAIZ | RIKY FERDIANTO

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus