Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Eboni Watch sempat limbung dihajar pandemi Covid-19.
Memberikan jam tangan kayu kepada selebtwit untuk diulas.
Promosi itu berdampak pada kembali meningkatnya penjualan melalui lapak online di tengah situasi pandemi Covid-19.
Lahirnya jam tangan kayu Eboni Watch tak bisa dilepaskan dari kekekian Afidha Fajar Adhitya. Awalnya, pria berusia 31 tahun ini kepincut saat melihat arloji kayu milik temannya yang dibeli dari Bandung pada 2014. Namun jam itu terlalu besar dan tebal. Afidha lalu bertekad membuat jam kayu sendiri dengan ukuran lebih kecil serta bisa digunakan oleh pria dan perempuan atau unisex dalam bentuk usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM. “Karena di Indonesia belum ada,” kata Afidha kepada Tempo, di Bayat, Klaten, Jawa Tengah, Rabu pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbekal kemampuannya mengoperasikan peranti lunak CorelDraw, di kamar kosnya di Yogyakarta, Afidha mulai mendesain jam tangan kayu dan mengkombinasikannya dengan model lain. Saat itu, jam buatannya hanya menggunakan kayu pada bagian headpiece atau bodi utama yang membungkus mesin jam. Sedangkan strap atau talinya menggunakan kulit warna-warni.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu, alumnus D-3 jurusan bahasa Inggris Universitas Gadjah Mada tersebut masih mengelola bisnis tas kulit yang dia rintis sejak 2013. “Basic saya sebenarnya pada kerajinan kulit,” katanya. “Jam kayu itu awalnya second choice.”
Setelah mendapatkan pinjaman Rp 2 juta dari pamannya, Afidha bergegas mencari vendor di Yogyakarta yang bisa membuat headpiece jam tangan kayu. Sedangkan tali kulitnya dia buat sendiri. Dari modal itu, ia bisa merakit 10 jam tangan kayu, yang diberi nama Eboni Watch, pada 11 Oktober 2014.
Pendiri Eboni Watch, Afidha Fajar Adhitya di Desa Paseban, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, 11 Agustus 2021. Tempo/Dinda Leo
Nama Eboni dipilih karena merupakan pohon langka dari Sulawesi. Afidha berharap produk jam tangannya bisa sekuat dan seulet kayu eboni. “Eboni dalam bahasa Afrika artinya cantik,” ujar dia. Namun, sejak akhir 2015, Eboni Watch tidak lagi menggunakan kayu eboni dan diganti dengan kayu sonokeling ataupun maple.
Afidha kemudian mengunggah foto jam tangan kayu itu ke Instagram pada Januari 2015. Empat di antaranya dibeli oleh seorang warga negara Afrika Selatan dengan harga Rp 800 ribu per buah. Kolektor jam tangan itu juga sudah mengoleksi beberapa jam kayu dari Indonesia.
Enam arloji lain diberikan Afidha kepada pamannya untuk dijual, yang hasilnya menjadi pelunas utang. Sedangkan laba dari penjualan empat jam kayu dia putar menjadi modal produksi.
Eboni Watch kemudian mulai dikenal publik dan bisa dipesan melalui Instagram. Namun, di sisi lain, Afidha harus merelakan bisnis tas kulit yang dia rintis gulung tikar karena harga produk kerajinan kulit jatuh pada 2015.
Dari kebangkrutan bisnis tas kulit tersebut, Afidha belajar soal pentingnya membangun merek sendiri agar tidak harus bersaing harga dengan produsen lain. Hal itu membuat ayah dua anak tersebut serius mengembangkan Eboni Watch agar menjadi jam tangan kayu yang unggul dibandingkan dengan produk serupa.
Pada medio 2016, Afidha mulai membuat headpiece jam tangan kayunya sendiri secara manual menggunakan mesin bubut. Alasannya, vendor yang dia minta membuat headpiece kerap melewati tenggat.
Pada periode yang sama, Afidha kembali ke kampung halamannya di Desa Paseban, Bayat, Klaten, demi merawat ibunya yang hidup sendiri setelah ditinggal mati sang ayah. Afidha kemudian memanfaatkan rumah seluas 60 meter persegi milik orang tuanya sebagai tempat produksi Eboni Watch.
Saat itu, seluruh bodi Eboni Watch berbentuk bulat karena pembuatannya hanya mengandalkan mesin bubut manual. “Kalau bikin bodi kotak, harus memotong satu per satu. Tidak presisi sedikit saja, kelihatan,” ujar Afidha. Saat itu, ia belum mampu membeli mesin kerja yang bisa dikendalikan melalui komputer atau CNC.
Selama dua tahun, Afidha mengelola Eboni Watch sendiri, baik produksi maupun pemasarannya. Selain mengandalkan Instagram dan WhatsApp, Afidha sering mengikuti pameran. Kesabaran dan ketekunan itu pun berbuah manis. Pada akhir 2017, ia mendapat tawaran dari Badan Ekonomi Kreatif untuk mengikuti pameran di Jakarta Convention Center (JCC).
Afidha kemudian mulai mempekerjakan satu karyawan untuk menyiapkan produk yang akan dibawa ke Jakarta. Apalagi jarak dari pemberian undangan dengan pameran hanya sepekan.
Bertepatan dengan hari pembukaan pameran, istri Afidha melahirkan anak pertama. Walhasil, hari itu, booth Eboni Watch kosong. “Padahal letaknya tepat di depan pintu masuk hall utama JCC,” kata dia, mengenang.
Rampung mendampingi istri melahirkan, Afidha melanjutkan produksi jam tangan kayu. Dua malam ia tak tidur agar bisa segera menghadiri pameran di JCC.
Seiring dengan peningkatan pesanan melalui Instagram, pada 2018, Afidha mulai menambah karyawan satu demi satu. Eboni Watch juga terpilih mengikuti program inkubasi bisnis yang diselenggarakan Kementerian Perindustrian di Jakarta selama tiga bulan. Walhasil, dia harus sering bolak-balik Klaten-Jakarta dengan kereta demi mengerjakan pesanan dan mengikuti inkubasi itu. Kerja kerasnya diganjar dengan penghargaan sebagai peserta terbaik program tersebut.
Pada saat itu, Afidha juga tengah memperbaiki produknya. Pembelinya memberi masukan soal bodi kayu jam yang rapuh dan tali yang kurang halus.
Pada 2018, Eboni Watch bisa memproduksi 100 jam tangan kayu tiap bulan. Setahun kemudian, ia ditargetkan meningkatkan produksi dan penjualannya hingga tiga kali lipat karena Eboni Watch mengikuti program pelatihan lanjutan dari Kementerian Perindustrian.
Afidha juga mulai memperbaiki manajemen dan pemasaran Eboni Watch. Hal itu mendongkrak penjualan jam tangan menjadi 200-250 untai per bulan. Namun, pada 2019, saldo rekening pribadi dan usaha Afidha nol. Sebab, seluruh laba dia putar untuk mengembangkan bisnis dengan membeli mesin CNC dan mobil operasional. Dia juga memasang pendingin ruangan dan televisi di bengkelnya supaya karyawan lebih nyaman bekerja.
Kini, Eboni Watch mempekerjakan 18 pegawai. Dari jumlah itu, 11 orang, yang merupakan warga Bayat, bekerja di bagian produksi. Mereka berusia 17-20 tahun dan bekerja tiap Senin-Sabtu. “Ada lulusan SMK, pondok pesantren, dan ada juga yang yatim piatu,” ujar Afidha. “Dengan adanya lapangan kerja di kampung, mereka bisa merawat orang tua karena tidak perlu merantau.”
Afidha juga merekrut alumnus perguruan tinggi untuk membuat konten di akun Instagram, Twitter, dan situs web, serta mengelola toko online, seperti Shopee dan Tokopedia. Ia juga menyediakan rumah kontrakan untuk pegawainya di Klaten.
Merebaknya wabah Covid-19 sejak Maret 2020 membuat Eboni Watch limbung. Saat itu, Afidha hanya bisa menjual 50-80 arloji per bulan. Padahal, setahun sebelumnya, penjualan bulanannya mencapai 300-an unit.
Pengemasan jam tangan kayu pesanan dalam kotak kayu di rumah produksi Eboni Watch di Desa Paseban, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, 11 Agustus 2021. Tempo/Dinda Leo
Di titik terendah, Afidha pernah merasakan uang yang tersisa hanya Rp 100 ribu. Sedangkan stok jam yang menumpuk sekitar seribu unit.
Dia pun putar otak agar Eboni Watch tetap hidup. Caranya dengan meliburkan karyawan bagian produksi lalu menyuruh karyawan di bagian manajemen dan administrasi bekerja dari rumah. “Kalau memaksa untuk terus produksi, saya boncos (rugi) karena barang menumpuk dan tidak terjual,” kata Afidha. Bentuk efisiensi lainnya ialah berhenti melakukan pemasaran di Instagram demi menghemat pengeluaran iklan hingga Rp 10 juta per bulan.
Kondisi Afidha kian terpuruk setelah ia merasakan gejala terinfeksi Covid-19 pada April 2020. Dia lalu memilih melakukan isolasi mandiri di bengkelnya. Afidha pun mengisi waktu karantina dengan memproduksi sendiri beberapa pesanan yang masuk secara sporadis lewat Instagram.
Afidha tetap membayar gaji karyawannya pada bulan itu secara utuh meski mereka diliburkan. “Kalau Eboni Watch memang tidak bisa diselamatkan, ini gaji terakhir dan kalian boleh cari kerja di tempat lain,” kata dia mengulang ucapannya kepada para karyawan saat itu.
Dia terus memantau perkembangan Covid-19. Ia kemudian mencoba beralih menggencarkan pemasaran di Twitter. Media sosial berlambang burung biru itu dianggap lebih efektif dalam menjual produknya karena mudah untuk me-retweet, sehingga mudah tersebar ke warganet lain.
Afidha lalu membagikan stok jam tangan kayu kepada sejumlah pesohor ranah Twitter agar produknya bisa diulas secara gratis. “Kalau suka, mohon di-like, retweet. Syukur-syukur di-review. Tapi, kalau enggak suka, ya, tidak apa-apa. Jamnya ambil saja,” demikian ia berpesan kepada selebtwit (selebritas Twitter).
Sebagian pesohor dunia maya itu menyukai arloji besutan Afidha dan mengulasnya. Dalam waktu beriringan, akun Shopee Eboni Watch mulai kedatangan pembeli. Afidha bergegas merapikan lapaknya di Shopee. Dengan diskon sampai 40 persen, jam kayu yang dibanderol sekitar Rp 400 ribu bisa ditebus seharga Rp 250 ribu. “Daripada stok menumpuk, mending diputar jadi uang agar bisnis jalan lagi,” ujarnya.
Afidha meminta pegawai bagian produksi bekerja kembali dengan menerapkan protokol kesehatan. Saat keuangan Eboni Watch belum pulih benar, Afidha justru memberikan seratus arloji kayu kepada tenaga kesehatan sebagai bentuk apresiasi pengorbanan mereka menangani pandemi Covid-19. Jam tangan itu dikemas dalam paket spesial dan dilengkapi dengan barang lain seperti wedang uwuh.
Keputusan tersebut sontak dipertanyakan oleh sejumlah pegawainya. Apalagi, untuk kampanye itu, Afidha harus merogoh kocek hingga Rp 30 juta.
Afidha mengumumkan pembagian paket jam tangan kayu itu melalui akun Twitter Eboni Watch. Ia menantang tenaga kesehatan menuliskan kisah mereka melawan pandemi. “Syaratnya mudah, cukup tag akun Twitter kami,” kata dia.
Promosi itu disebarkan oleh 50 selebtwit dan menjadi viral. Dampaknya, penjualan Eboni Watch melalui Shopee melonjak. Dalam waktu singkat, pesanan jam tangan kayu melalui lapak online itu menembus angka 1.000.
Menurut Afidha, masa krisis Eboni Watch akibat pandemi Covid-19 hanya berlangsung 2-3 bulan. Pada Hari Raya Idul Fitri tahun lalu, Eboni Watch menjadi rekomendasi merek lokal terbaik di Shopee. Hanya dalam tiga bulan, Eboni Watch menjadi Shopee Mall karena penjualannya lebih dari 1.000 unit per bulan. “Alhamdulillah, penjualan di angka itu masih stabil sampai sekarang,” tuturnya.
Enbri Wahyu Andika, karyawan Eboni Watch, merasa terbantu dengan kehadiran UMKM tersebut. Warga Bayat itu bekerja sejak 2018 dan rutin menyisihkan gajinya—yang jumlahnya di atas upah minimum regional Klaten—untuk modal usaha konveksi yang ia kelola bersama adiknya. Pria berusia 20 tahun tersebut juga sering memperoleh bonus setiap Eboni Watch mendapatkan pesanan dalam jumlah besar.
DINDA LEO LISTY (KLATEN) | GANGSAR PARIKESIT
Berbagi Jam Tangan untuk Tenaga Kesehatan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo