Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kurabesi, dari Raja Ampat ke Banda Neira

Ekspedisi Maluku yang digagas Yayasan EcoNusa mendatangi perkampungan terpencil di Raja Ampat dan Maluku. Menguatkan warga untuk menjaga lingkungan.

14 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ekspedisi Maluku Utara mendatangi warga yang berada di daerah-daerah terpencil untuk menguatkan upaya masyarakat menjaga lingkungan.

  • Mendatangi wilayah yang dilibas perusahaan sawit sampai desa yang tengah membangkitkan tradisi menanam padi.

  • CEO Yayasan EcoNusa dibukukan menjadi masyarakat wilayah Kesultanan Tidore.

LANGIT menggelap ketika tim Ekspedisi Maluku meninggalkan kapal pinisi Kurabesi Explorer yang melempar sauh di Perairan Tidore, Ahad, 1 November lalu. Mendung pelan-pelan menyelimuti bumi Tidore sejak setengah jam sebelumnya. Dari kapal tersebut, rombongan ekspedisi beralih menggunakan perahu motor tempel menuju Dermaga Sultan di pusat Kota Sao Sio.

Di pelabuhan yang dibangun oleh Sultan Tidore ke-37, Zainal Abidin Syah, itu, Jou Jau (Perdana Menteri) Amin Faaroek dan perangkat kesultanan lain sudah menunggu rombongan ekspedisi yang digagas oleh Yayasan Ekosistim Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa). Mereka lalu mendudukkan Chief Executive Officer EcoNusa Bustar Maitar di bangku yang telah disiapkan. Salah satu dari mereka menyorongkan potongan rumput ke bawah kaki Bustar, menunaikan tradisi joko hale alias injak tanah untuk tamu yang baru pertama kali memijakkan kaki di Tidore. Jou Jau kemudian melantunkan doa-doa keselamatan. Gerimis turun ketika doa selesai dirapalkan.

Hujan membuat rombongan tergesa-gesa menuju Kedaton Kesultanan Tidore yang letaknya sepelemparan batu dari dermaga tadi. Jou Jau menerima rombongan di beranda lantai 2. Setelah beramah-tamah sebentar, ia menyematkan baju adat berwarna kuning cerah kepada Bustar. “Pak Bustar Maitar dan ibu (istri Bustar, Rani Bustar) dibukukan sebagai masyarakat wilayah Kesultanan Tidore,” kata Jou Jau.

Tim Ekspedisi Maluku sowan ke Kedaton Kesultanan Tidore setelah 10 hari menyusuri delapan desa di lima pulau di Raja Ampat, Papua Barat, dan Halmahera Selatan, Maluku Utara. Kegiatan ini dilakukan antara lain untuk mendukung upaya masyarakat dalam pengelolaan hutan, laut, dan mangrove. Mereka memberikan bantuan berupa benih, pupuk, dan alat pertanian. Juga mengedukasi perihal protokol kesehatan untuk pencegahan Covid-19. “Masyarakat di kampung sudah bisa melihat televisi dan baca berita di HP (handphone), cuma dengar orang di Jakarta sakit, terus mati. Tapi tidak banyak petugas kesehatan yang datang ke kampung menyampaikan apa itu Covid-19,” kata Bustar di depan Jou Jau dan menteri Kesultanan Tidore lain.

Jou Jau menimpalinya dengan mengisahkan asal-muasal Kurabesi (Gurabesi), nama yang diberikan Bustar untuk pinisi miliknya. Gurabesi adalah seorang kapita dari wilayah Waigeo. Ketika itu, koalisi Kerajaan Jailolo dan Bacan menyerang Tidore. Sultan Tidore, yang kewalahan menghadapi gempuran, mengutus anak buahnya untuk meminta bantuan. Anak buah tersebut menemui seorang kapita keturunan kesultanan Bacan bernama Gurabesi. “Gura artinya kebun, besi adalah besi. Jadi dia merupakan sebuah pagar kekuatan,” ujarnya.

Kepada Sultan Tidore, Gurabesi menawarkan diri menjelma menjadi peluru. Ia ditembakkan ke Benteng Kastela di Ternate. Utang budi itu dibalas oleh Sultan dengan menikahkan Gurabesi dengan saudara bungsunya. Mereka hijrah ke Waigeo, salah satu pulau terbesar di Raja Ampat. “Mereka menjadi cikal-bakal generasi Raja Ampat itu lahir,” tuturnya.

Seperti kisah Gurabesi, titik pertama yang dihampiri tim Ekspedisi Maluku yang digagas oleh EcoNusa adalah Raja Ampat. Kurabesi memulai perjalanan ekspedisi dari Sorong, Papua Barat, pada 22 Oktober lalu. Setelah berlayar selama 12 jam melewati perairan Pulau Salawati, tim tiba di Kampung Deer, kawasan Distrik Kofiau. Meski masuk Kabupaten Raja Ampat, pulau kecil tersebut jauh dari gemerlap pariwisata. Salah satu penyebabnya adalah lokasinya yang jauh dari obyek wisata Raja Ampat lain.

Tim antara lain membagikan alat pelindung diri, memberikan pemeriksaan kesehatan cuma-cuma, dan memberikan penyuluhan tentang kesehatan, terutama tentang cara mencegah Covid-19. “Ada kapal yang datang seminggu sekali ke sini. Ini bisa menjadi spot penularan,” kata Iqra Alimus, dokter dari tim Ekspedisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyambutan tim ekpedisi di Dermaga Sultan, Tidore, 1 November lalu. EcoNusa/Kei Miyamoto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari Kampung Deer, Kurabesi menyeberang ke perairan Halmahera Selatan, Maluku Utara. Semula kapal tersebut diperkirakan tiba menjelang matahari tenggelam, 24 Oktober, di Desa Gane Dalam. Tapi embusan angin membawa rombongan tiba lebih cepat. Kurabesi sampai sebelum matahari tegak di atas kepala. Tim sengaja datang ke desa ini untuk memberikan dukungan kepada masyarakat Gane Dalam yang lahannya diambil alih oleh perusahaan sawit sejak 2013. Tanah mereka seluas 11 ribu hektare (hampir seluas Kota Bogor, Jawa Barat) beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.

Dari Gane Dalam yang terletak di tungkai Pulau Halmahera itu, Kurabesi berlayar menuju Pulau Sali Kecil, Kecamatan Bacan Timur, Halmahera Selatan. Seperti di desa lain yang dikunjungi, di pulau ini tim pun memberikan edukasi tentang Covid-19 dan pemeriksaan kesehatan gratis. Penduduk pulau tersebut jarang berjumpa dengan dokter. Mereka mesti menyeberang ke Pulau Bacan yang waktu tempuhnya sekitar satu jam menggunakan spit (speed boat) sewaan untuk ke rumah sakit. Kondisinya lebih nelangsa jika sakit tengah malam. Pilihannya adalah menggunakan perahu ketinting yang bisa memakan waktu 3 jam lebih untuk menyeberangi lautan. “Kami setengah mati jika butuh rumah sakit, apalagi kalau malam ada orang yang harus bersalin,” ucap warga Desa Sali, Hamid Baca.

Dari Sali Kecil, Kurabesi kembali bertolak ke Halmahera. Tiga hari berturut-turut (27-29 Oktober), tim mengunjungi Desa Samo, Desa Posi-Posi, dan Desa Gumira yang terletak di lutut Pulau Halmahera itu. Tiga desa tersebut adalah dampingan Perkumpulan PakaTiva dengan dukungan EcoNusa. Warga diinisiasi untuk membangun kemandirian pangan dengan membangkitkan tradisi menanam padi yang sudah tiga dekade menghilang. Mereka juga diajari untuk berkebun secara organik dengan memanfaatkan lahan yang mereka tinggalkan. “Harapannya warga bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka secara mandiri dan tetap menjaga hutan,” ujar Direktur PakaTiva Faizal Ratuela.

Setelah dari Halmahera, Kurabesi berlayar ke Kajoa (warga setempat menyebutnya Kayoa), mengunjungi Desa Pasir Putih, lalu singgah di Pulau Makian (Makean) yang merupakan penghasil kenari. Kunjungan dilanjutkan ke Kesultanan Tidore dan menanjak ke atas bukit ke Kelurahan Kalaodi yang merupakan salah satu kampung penghasil cengkih terbaik di Maluku Utara. Perjalanan dilanjutkan ke pulau-pulau lainnya sampai berakhir di Banda Neira pada 15 November lalu.

NUR ALFIYAH
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus