Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Enam rumah ibadah bersandingan di perumahan Royal Residence, Surabaya; dan Universitas Pancasila.
Forum Komunikasi Rumah Ibadah Royal Residence mengatur jadwal beribadah agar tidak bentrok.
Pembangunan enam rumah ibadah secara berdampingan di Universitas Pancasila untuk menumbuhkan sikap saling percaya antarumat beragama.
Sembilan anggota jemaah mengatur saf di Masjid Muhajirin, di perumahan Royal Residence, Kecamatan Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, begitu ikamah salat zuhur berkumandang, Kamis lalu. Sejauh 12 meter dari masjid tersebut, lamat-lamat terdengar lagu misa sakramen pernikahan di dalam Kapel Santo Yustinus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manten kemudian keluar kapel menuju mobil pengantin diiringi anggota keluarganya. Rombongan pengantin tersebut membawa balon dan burung merpati. Di halaman kapel, puluhan balon dan merpati itu dilepaskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jemaah Masjid Muhajirin tak terusik dengan acara pernikahan tersebut. Himawan, salah satu anggota jemaah salat zuhur, tetap bisa salat dengan khusyuk. “Tidak mempengaruhi ibadah saya,” ujar pengemudi ojek online tersebut kepada Tempo seusai salat siang itu.
Enam rumah ibadah dari enam agama berdiri berdampingan di perumahan Royal Residence. Selain Masjid Muhajirin dan Kapel Santo Yustinus, di perumahan elite tersebut berdiri Vihara Buddhayana, Kelenteng Ba De Miao, Pura Sakti Raden Wijaya, dan Gereja Kristen Indonesia Royal Residence. Enam tempat ibadah itu berjajar di atas lahan seluas 400 meter persegi tanpa sekat. Jarak antar-rumah ibadah itu hanya sekitar 3 meter.
Ketua Forum Komunikasi Rumah Ibadah (FKRI) Royal Residence, Indra Prasetyo, mengatakan pembangunan enam rumah ibadah itu berawal dari keluhan penghuni perumahan yang beragama Islam. Sebab, mereka terpaksa pergi ke masjid di kampung sekitar perumahan saat tiba waktu salat.
Warga muslim kemudian mengajukan kepada pengembang perumahan agar dibangunkan masjid. Pengembang pun menyediakan lahan untuk membangun enam rumah ibadah sekaligus. Namun biaya pembangunan tempat ibadah itu dibebankan kepada penghuni perumahan.
Enam rumah ibadah dibangun berdampingan di perumahan Royal Residence, Wiyung, Surabaya, 20 Januari 2022. TEMPO/Kukuh S. Wibowo
Warga Royal Residence mayoritas beragama Katolik. Pemeluk Kristen merupakan penduduk terbanyak kedua dan pemeluk Islam yang ketiga. Adapun penganut Hindu, Buddha, dan Konghucu di perumahan tersebut sedikit. Namun para penghuni sepakat membangun enam rumah ibadah. “Akhirnya tiap penganut agama urunan dan ada juga yang mencari donatur keluar,” ujar Indra.
Pembangunan tempat ibadah itu selesai hampir bersamaan pada 2017. Masjid Muhajirin rampung lebih dulu, disusul gereja, kapel, kelenteng, wihara, dan pura. Warga perumahan kemudian berembuk membentuk FKRI untuk menjembatani hubungan antar-pengurus rumah ibadah. Masing-masing agama diwakili dua anggota pengurus.
Indra yang beragama Islam dipilih secara aklamasi sebagai Ketua FKRI. Dia sempat tak enak hati karena pemeluk agama Islam di Royal Residence bukan yang terbanyak. Apalagi dalam forum tersebut sudah ada dua wakil dari penganut Islam. “Saya dijadikan ketua karena dianggap bisa mengayomi semua warga,” ujarnya sembari tertawa.
Forum Komunikasi bertugas mengatur jadwal beribadah agar tidak bentrok. Contohnya, ketika Idul Adha jatuh pada Ahad, Masjid Muhajirin melaksanakan salat Id pagi dan dilanjutkan dengan menyembelih hewan kurban sampai tengah hari. Umat Kristen dan Katolik lalu menggeser ibadahnya pada sore hari agar tak mengganggu salat Id serta penyembelihan hewan kurban itu.
Contoh lainnya ialah saat pengurus Vihara Buddhayana meminta izin menyelenggarakan meditasi tiap Kamis malam. Namun, setiap Kamis malam, warga beragama Islam menggelar pengajian di Masjid Muhajirin. Akhirnya pengurus wihara memindahkan kegiatan meditasi pada Selasa malam. “Saya sampaikan ke pengurus masjid supaya tidak mengadakan acara pada Selasa malam.”
Kesepakatan lainnya, Indra melanjutkan, pengurus Masjid Muhajirin diperbolehkan mengumandangkan azan lima kali menggunakan pengeras suara luar. Namun, di luar azan, pengeras suara tidak dibunyikan demi menghargai pemeluk agama lain. Sedangkan jika ada kegiatan ceramah atau pengajian, pengurus masjid cukup menggunakan pengeras suara di dalam masjid.
Menurut Indra, kadang kala arogansi individu muncul ketika FKRI mencari jalan tengah agar toleransi antar-umat beragama tetap terjalin. Forum Komunikasi sepakat meminta mereka yang egois itu mencari tempat ibadah di luar perumahan agar tidak mengganggu kerukunan umat beragama. “Saya sampaikan, lebih baik cari tempat ibadah di luar saja daripada membuat retak persaudaraan,” tuturnya.
Indra bersyukur toleransi antar-umat beragama di perumahan Royal Residence tetap terjaga. Praktik keberagaman di perumahan itu bisa dicontoh oleh masyarakat lain di tengah maraknya intoleransi.
Masjid At-Taqwa di Universitas Pancasila, Jakarta, 4 Januari 2022. TEMPO/Magang/Ridho Fadilla
Rumah ibadah berdampingan juga terdapat di Universitas Pancasila, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pada 5 Januari lalu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin meresmikan enam tempat ibadah tersebut. Rumah Tuhan yang berdampingan itu adalah Masjid At-Taqwa, Gereja Grha Layanan Kristen, Gereja Santo Petrus, Vihara Dhamma Sasana, Pura Widya Santika, dan Kelenteng Kebajikan Agung (Da De Miao).
Enam rumah ibadah itu dibangun di lahan seluas 2.355 meter persegi. Masjid memiliki luas 855 meter persegi, Gereja Grha Layanan Kristen 180 meter persegi, Gereja Santo Petrus 150 meter persegi, Vihara Dhamma Sasana 120 meter persegi, Pura Widya Santika 116 meter persegi, dan Kelenteng Kebajikan Agung 100 meter persegi.
Rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno, menjelaskan tujuan membangun rumah ibadah secara berdampingan adalah untuk menumbuhkan sikap saling percaya antar-umat beragama. “Kami mau menunjukkan sebetulnya semua agama itu baik,” tuturnya.
Menurut Edie, toleransi di Indonesia saat ini masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai. Hal itu terlihat dari sikap intoleransi seorang pemuda yang menendang sesajen di Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur.
Pura Widya Santika di Universitas Pancasila, Jakarta, 4 Januari 2022. TEMPO/Magang/Ridho Fadilla
Dosen Universitas Pancasila, Made Adhi Gunadi, menuturkan, sejak adanya Pura Widya Santika, warga kampus yang beragama Hindu makin antusias dan bersemangat dalam beribadah. “Kedamaian dan saling toleransi yang sudah tercipta diharapkan terus menguat,” tutur anggota pengurus pura tersebut.
Salah satu mahasiswa Universitas Pancasila, Alessandro Volta, sangat terbantu dengan hadirnya Kelenteng Kebajikan Agung di kampus itu. Sebelum ada kelenteng, mahasiswa semester lima Fakultas Farmasi itu dan penganut Konghucu lainnya beribadah di ruang kelas. “Sekarang kami dapat lebih khusyuk dalam beribadah.”
Salah satu dosen beragama Buddha, Katmin Gotama, berucap hal senada. Koordinator Vihara Dhamma Sasana itu menuturkan kehadiran wihara memudahkan warga kampus yang beragama Buddha melakukan ibadah, seperti meditasi. Bahkan perhimpunan mahasiswa beragama Buddha sudah ada sebelum wihara tersebut berdiri. Kehadiran enam rumah ibadah yang berdampingan itu juga bisa meningkatkan toleransi beragama antarwarga kampus.
KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA) | ADE RIDWAN YANDWIPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo