Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemuda bertato itu sibuk dengan mesin jahit dan sulaman. Meski terkantuk-kantuk, tangan kekarnya tetap berfokus memutar roda mesin berulang kali. Sesekali ia mengisap asap tembakau dan menyeruput secangkir kopi yang masih mengepul. Seharian ia nyaris tidak beranjak, asyik memainkan pedal kaki mesin jahit seorang diri. "Ada banyak pesanan kaus mini untuk aksesori di mobil," kata Indra Pratama Lukiansyah, nama pemuda itu, kepada Tempo pada pengujung Januari lalu.
Indra adalah satu dari puluhan anggota Marjinal, perkumpulan punker yang dimotori band bernama sama. Dari sebuah rumah kontrakan di Gang Setiabudi, Setu Babakan, Jakarta Selatan, mereka melahirkan karya kreatif, seperti pakaian dan aksesori. Para punker ini memiliki pula workshop cukil kayu dan musik, juga membuka distro–distribution outlet atau toko barang kreasi sendiri. Distro inilah yang dipakai untuk menyebarluaskan produk-produk mereka.
Menyulam dan bergelut di industri kreatif tampaknya bukan seperti punk–er yang selama ini kita bayangkan. Kebanyakan orang menganggap mereka pemuda yang senang berkumpul di perempatan, memakai pakaian aneh, bertato di sekujur badan, bertindik, mengamen, kumal, dan bau. Pokoknya, sangar. Kesan buruk itulah yang kemudian membuat polisi di Aceh pada Desember lalu merazia punker, membotaki, dan "membina" mereka.
Ada banyak kesalahpahaman tentang punk, memang. Kalaupun tidak memiliki pandangan negatif seperti itu, banyak juga yang menganggap punk sebatas genre musik dan gaya berbusana (fashion). Padahal punk lebih dari itu. "Punk tidak hanya tecermin dari fashion, tapi juga dari semangat perlawanan terhadap ketidakadilan," kata Fitri Dwi Kurniasih, anggota kelompok budaya punk Taring Padi. Bagi pengikutnya, punk adalah ideologi.
Punk, yang lahir di Inggris sekitar 1970, mulai bertunas di Indonesia, terutama Bandung dan Jakarta, pada awal 1990-an. Awal perkenalan memang lewat musik–terutama melalui band punk legendaris, seperti Sex Pistols dan The Clash. Ideologi punk kemudian menyelusup melalui fanzine–semacam majalah berisi tulisan tentang punk–dari Inggris, Amerika, atau negara lain.
Lewat zine, para penggemar punk di sini mengenal semangat yang diusung para punker dunia: independen dan antikemapanan. Semangat itu dikenal dengan "do it yourself", disingkat D.I.Y. Dengan semangat itulah mereka senantiasa berupaya berdiri sendiri dan melangkah dengan gaya sendiri. Dalam dunia mereka, anarkisme adalah energi untuk melakukan segala sesuatu.
Semangat independen dan antikemapanan tak selamanya diteriakkan lewat lirik lagu protes atau tulisan di kaus-T mereka, yang penuh grafiti seperti tembok kota di masa revolusi. Marjinal, misalnya, menerjemahkan semangat independensi lewat bisnis rumahan. Apa yang dilakukan Indra dan mesin jahitnya adalah salah satu dari itu.
Sejak dini, menurut gitaris band Marjinal, Mikail Israfil, kelompoknya tidak mau menggantungkan nasib pada siapa pun. Ia dan rekan-rekannya bangga atas hasil jerih payah menjual kaus, sablon, stiker, dan pin serta membuat rekaman dan mengedarkannya sendiri.
Kegiatan kreatif dimulai sesaat setelah Marjinal menempati kontrakan di Setu Babakan itu pada 2004. Markasnya cukup mencolok, meski terletak di gang sempit. Temboknya yang penuh mural tengkorak dan simbol punk membuat rumah kontrakan dua lantai itu mudah dikenali. Sebagian besar ruangan dipakai untuk unit produksi jahit dan sablon. Di ruang tamu terdapat sebuah lemari etalase yang menyimpan pelbagai produk kerajinan, seperti kaus, pin, dan stiker, juga cakram padat. Ada pula buku, emblem, dan zine yang menumpuk di bufet.
Karena ruang tamu sudah penuh, para punker yang seharian berada di jalanan berkumpul pada sore hari di halaman depan. Mereka kebanyakan adalah punker jalanan yang meminjam ukulele (kentrung), gitar, dan jimbe kepada Marjinal untuk mengamen di jalan sejak pagi.
Penampilan mereka gahar. Rambut bergaya Mohawk. Kaus yang mereka kenakan berwarna gelap bergambar simbol punk dan slogan antikemapanan. Celana mereka bermodel pensil yang mengecil di bawah. Sebagian dari mereka, yang rata-rata remaja, memakai sepatu bot dan bersandal jepit. Mereka kebanyakan berasal dari keluarga miskin. "Siapa saja bebas keluar-masuk di rumah ini. Tidak cuma punk. Ini ruang publik," kata Mikail.
Derajat Ginanjar alias Ginan punya tafsir sendiri terhadap nilai pemberontakan punk. "Saya bukan punk yang melawan penguasa, tapi mengambil sisi humanis," kata vokalis band Mood Altering yang masih suka meruncingkan rambut dengan gaya Mohawk itu.
Ginan, bersama rekan-rekan punker dan komunitas indie lain, mendirikan Rumah Cemara di Bandung pada 2003. Lembaga berbasis komunitas itu semacam tempat rehabilitasi bagi pengguna narkoba dan mereka yang positif terinfeksi HIV. Menurut Ginan, 31 tahun, komunitasnya bertujuan meningkatkan kualitas hidup pengguna narkoba dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) melalui pendekatan dukungan sebaya. Para pengguna didampingi mantan pengguna yang sepantaran. Mereka berbagi pengalaman dan didukung secara psikologis.
Hingga Desember 2010, komunitas yang menempati rumah sewaan di Jalan Gegerkalong Girang (tak jauh dari pesantren Aa Gym, Daarut Tauhid) itu telah menyediakan perawatan kepada 211 pecandu. Pengurusnya berjumlah 45 orang berusia 20-35 tahun. Hampir seluruh stafnya para pecandu dalam pemulihan dan 85 persen terbukti HIV positif.
Semangat kemandirian itu terlihat dari cara mereka mendanai kegiatannya. Untuk menopang aktivitasnya, Rumah Cemara membuka unit kewirausahaan berupa warung Internet serta layanan cuci helm dan motor, juga mengelola warung pedagang. Kini, selain di Bandung, Rumah Cemara membuka komunitas serupa di Cianjur, Sukabumi, dan Bogor. Komunitas ini tumbuh menjadi pusat jejaring ribuan pengguna narkoba dan ODHA di Jawa Barat.
Semangat anarkisme–menentang segala sistem–diterjemahkan Taring Padi dengan menghilangkan struktur organisasi. Menurut Muhammad Yusuf, 36 tahun, mantan presiden Taring Padi, penghapusan struktur itu dipengaruhi semangat ideologi punk. Sejumlah literatur dan catatan sejarah menyebutkan punk berasal dari singkatan public united nothing kingdom, yang berarti sekumpulan anti-peraturan-kerajaan. Mereka itu sangatlah menentang peraturan negara yang hanya bisa memaksa tanpa memikirkan penderitaan rakyat.
Banyak yang menganggap cita-cita mereka–dunia tanpa negara dan tentara–sebagai utopia. Para punker tidak peduli. Mereka meyakininya dan mencoba menerapkannya dalam lingkup yang lebih kecil terlebih dulu. Taring Padi adalah salah satu yang menerapkannya. Berdiri pada 21 Desember 1998, komunitas seni budaya ini dideklarasikan sekelompok mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta di kantor Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta.
Pada awalnya, komunitas yang menempati sebuah pondok di Kampung Sembungan, Bangunjiwo, Bantul, Yogyakarta, ini bernama Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi. Tapi, sejak 2003, mereka hanya memakai nama Taring Padi. Bersama dengan hilangnya embel-embel Lembaga Budaya Kerakyatan, Taring Padi pun meniadakan struktur organisasi. Keanggotaannya bersifat lebih cair. Tak ada lagi jabatan presiden, sekretaris jenderal, hingga divisi-divisi.
Untuk menjalankan organisasi, Taring Padi mengandalkan partisipasi sukarela. Tak ada sentralisme kekuasaan. Distribusi kerja dilakukan dengan dasar kemauan dan kemampuan anggota, yang diputuskan secara demokratis dalam rapat. "Do it your self, Taring Padi tetap mandiri dan tak terikat," kata bapak dua anak yang masih menyisakan bekas potongan Mohawk itu.
Meski akrab mengangkat kesadaran sosial dan politik, komunitas ini bertahan sebagai nonpartisan partai apa pun. Yusuf menjelaskan, saat ini, pelbagai cara berkesenian dilakukan Taring Padi untuk mengekspresikan sikap kritisnya. Dari menggelar pameran seni rupa di dalam dan luar negeri, membuat poster dan menempelkannya di jalan-jalan, membuat grafiti dan mural, sampai memberikan dukungan kepada masyarakat marginal–mulai penambang pasir besi di Kulon Progo, Yogyakarta, hingga korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
Kegiatan para punker tak selamanya seputar remaja dan pemuda. Di sebuah perkampungan padat penduduk di belakang Pasar Kosambi, Bandung, Phaerly Maviec Musadi, 36 tahun, membuat tempat kegiatan buat anak-anak. Phaerly dan kawan-kawan tidak berniat mencekoki anak-anak itu dengan propaganda anarkisme. Dia justru terlihat ingin membuat anak-anak seperti Peter Pan, yang tak pernah dewasa. Nama tempat itu: The Neverland.
The Neverland dibangun pada 2007 sebagai realisasi kampanye "never grow up"–tak pernah dewasa. Kampanye yang digagas Phaerly dan rekan-rekannya di Yayasan Adikaka sejak 2001 itu adalah ajakan kepada para orang tua agar lebih banyak meluangkan waktu buat anak-anak. Orang tua juga diminta mendengarkan apa keinginan anak-anak, bukan hanya selalu berbicara. "Sebab, anak-anak belum pernah menjadi tua, tapi orang tua sudah pernah menjadi anak-anak," katanya.
Jadilah bapak beranak satu itu menyulap tempat usaha sablonnya di Jalan Baranangsiang, Bandung, menjadi arena bermain. Di sana terdapat lintasan luncur skateboard sepanjang sekitar lima meter. Walau sempit dan di pinggir jalan raya, ruang publik itu baginya sangat penting untuk anak-anak. Ia pun menyediakan papan luncur, sepeda, helm, dan pelindung tubuh, juga pelatih skateboard. Papan luncur dipilih karena olahraga itu membutuhkan disiplin dan ketekunan, usaha sendiri agar bisa, serta membuat mental menjadi kuat.
Untuk mendukung The Neverland, Phaerly menyisihkan sebagian hasil usaha clothing di bawah bendera Unit–ed Moron serta usaha distro pakaian balita, Parental Advisory. Setiap bulan, Parental rata-rata membuat 500 potong pakaian. Harganya mulai Rp 65 ribu hingga Rp 265 ribu.
Masih banyak lagi kegiatan kreatif yang dilakukan anak-anak punk. Misalnya kelompok Food Not Bombs di Bandung dan Bogor, yang membagikan makanan gratis kepada siapa saja, terutama kaum miskin. Lalu ada juga yang membuka kios penitipan jual baju dan merchandise band, membuka kelas musik, serta membantu perajin alat musik tradisional karinding–seperti yang dilakukan grup musik Karinding Attack atawa Karat di Bandung. Dan patut dicatat anak-anak punk bersama komunitas indie lain berada di balik menjamurnya distro di sejumlah kota di Indonesia, serta menjadi kekuatan ekonomi baru di kalangan anak muda.
Meski banyak kegiatan positif yang dihasilkan dari semangat independen, anarkisme, dan antikemapanan, tak mudah menghapus kesan buruk terhadap punk. Komunitas Marjinal merasakannya. Kegiatan Marjinal memang memiliki misi menunjukkan kepada masyarakat Setu Babakan bahwa punk bukan komunitas meresahkan. Sayangnya, tiga bulan masa kontrakan berjalan, warga belum bisa menerima keberadaan mereka. Warga sekitar menilai penampilan Mikail dan rekan-rekannya seperti berandalan.
Bahkan ada rapat rukun tetangga yang menghendaki mereka diusir. "Dulu memang mereka tidak diterima karena stigma negatif punk di masyarakat," kata Nanang, salah seorang warga Setu Babakan, yang kerap membawa anaknya main ke Marjinal. Perlahan, persepsi masyarakat berubah. Marjinal kini justru menjadi daya tarik pemuda setempat. Komunitas ini malah menjadi wadah kreativitas. "Anak-anak diajari menggambar, menyablon, membuat tato, hingga main musik," ujar pria 43 tahun yang berprofesi sebagai badut itu.
Marjinal semakin mendapat tempat di masyarakat setelah banyak terlibat dalam kegiatan sosial. Mereka membantu membuat jembatan, peternakan bebek, dan lapangan bulu tangkis. Pembuktian itu membuat masyarakat nyaman berdampingan dengan Marjinal. Malah masyarakat meminta mereka terus menetap di tempat itu. "Kami menciptakan kerja sama yang kuat dengan lingkungan, sehingga masyarakat kreatif dan produktif sebagai perlawanan terhadap kapitalisme," kata Mikail.
Ya, perlawanan itu tetap didengungkan, meski tak selalu diteriakkan.
Nurdin Kalim, Heru Triyono (Jakarta), Anwar Siswadi (Bandung), Anang Zakaria (Yogyakarta)
Sejarah Punk Indonesia
Pada 2007, Fathun Karib, yang menggagas Locos Indonesia, pernah melakukan penelitian tentang sejarah punk di Jakarta. Awalnya, Ibu Kota menjadi titik terpenting dalam perkembangan kelompok punk Indonesia. Pada era yang sama, persinggungan pergaulan antara punker Jakarta dan punker di kota-kota lain juga menyuburkan kelompok punk di Jawa, bahkan Indonesia. Sekarang, Bandung dan Yogyakarta juga menjadi basis punk paling aktif di Indonesia. "Secara umum, perkembangan punk di Jakarta sama dengan di kota-kota lain di Indonesia karena persinggungan pergaulan di antara aktor-aktornya," kata Karib.
Ninin Damayanti, Anwar Srikandi
1970-an
Sekadar musik
Musik punk telah dikenal di Indonesia. Salah satu penandanya, punk pernah dibahas majalah Aktuil. Tapi saat itu penikmatnya masih individu kelas menengah-atas dan belum terbentuk komunitas punk.
1980-an
Pra-Punk
Penggemar thrash metal yang sering nongkrong di Pid Pub, Pondok Indah, Jakarta Selatan, menjadi pionir berdirinya punk generasi pertama di Jakarta. Dandanan dengan jaket kulit ala The Ramones sudah terlihat. Kehadiran mereka pada era ini juga terlihat di film Rhoma Irama, Menggapai Matahari. Pada akhir era ini, muncul individu-individu yang mulai merintis kelompok musik punk. Feri "Blok M", Dayan "The Stupid, dan Udet dari Young Offender dianggap generasi punk pertama.
1989-1995
Generasi pertama
Young Offender juga menjadi pengorganisasi acara musik khusus punk pertama serta tampil bergaya dandanan Mohawk, spiky hair, kalung rantai, dan sepatu bot.
1992
Kelompok punk mulai bermunculan. Sejumlah klub dan pub di Jakarta, seperti Black Hole di Gatot Subroto, memfasilitasi acara musik. Black Hole adalah tongkrongan punk pertama di Jakarta.
Di Bandung, tempat nongkrong mereka antara lain di Jalan Cihapit dan Jalan Sumatera. Kelompok musik punk yang muncul adalah Runtah, Turtles Jr., dan Jeruji. Bersama komunitas musik metal, anak-anak punk menggelar pentas bersama, bertajuk Gorong-gorong, Bandung Underground, dan Hullabaloo, di Gelanggang Olahraga Saparua.
1994
Setelah perkelahian antara anak punk dan preman di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, acara-acara musik punk menurun. Kelompok punk mulai mengisi acara musik di sekolah dan kampus.
Semangat punk makin terasa setelah lahir album musik independen pertama yang digagas, antara lain oleh Richard Mutter dan Helvi Syarifuddin. Album kompilasi lagu berjudul Masaindahbangetsekalipisan itu meluncur pada 1997 sebagai bentuk perlawanan terhadap major label.
1996-2001
Fondasi ekonomi-politik punk
Punk di Indonesia kemudian tidak hanya dihayati sebagai musik, tapi juga sebagai gaya hidup dan ideologi perlawanan.
1995-1996
Zine (majalah terbatas) Profane Existence dari Amerika mulai masuk ke komunitas punk Jakarta, memberi pengetahuan mengenai pergerakan politik komunitas punk di luar negeri dengan ideologi anarkisme. Zine ini menyadarkan akan kebutuhan media komunikasi alternatif di antara sesama punk di Jakarta. Zine punk pun bermunculan.
1997-1998
Transisi politik memberi pengaruh penting bagi berkembangnya wacana ideologi politik punk di Jakarta. Pada saat ini aliran anarcho-punk mulai masuk ke Indonesia. Lirik-lirik lagu punk yang memuat ideologi anarkisme, seperti antinegara dan kapitalisme, mulai dicerna punker Indonesia.
1998-2000
Karena persamaan ideologi melawan rezim, punk menjadi euforia. Kelompok street punk juga bermunculan. Kelompok politik kiri, Partai Rakyat Demokratik (PRD), merekrut punker. Punker juga berafiliasi dengan organisasi kampus; kelompok pergerakan masyarakat sipil, seperti Pergerakan Kaum Miskin Kota; dan lembaga swadaya masyarakat lain. Mereka sering dilibatkan dalam demonstrasi.
2001
Seiring dengan turunnya suhu politik dan pudarnya eksistensi PRD, keterlibatan kelompok punk pada politik praktis pun berkurang. Resistensi dari kelompok punk apolitis menguat.
Sejumlah kelompok punk bertahan dengan membangun komunitas sendiri. Nilai do it yourself (DIY) mulai dipraktekkan. Distro mulai bermunculan di Bandung. Kelompok punk madani, seperti Ujung Berung, pun tumbuh subur.
2001-2006
Go international
Band seperti Superman Is Dead (SID, dari Bali) menandatangani kontrak dengan perusahaan besar, yaitu Sony Music Indonesia. Internet mengubah proses interaksi dan sosialisasi kelompok punk. Punker di Jakarta tidak lagi mengenal kelompok musik punk melalui proses interaksi di antara sesama, melainkan melalui media.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo