Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ahli epidemiologi mengkritik rencana vaksinasi mandiri yang diselenggarakan swasta.
Vaksinasi mandiri akan membuat swasta berlomba-lomba membeli vaksin, sehingga jatah untuk negara berkurang.
Ahli epidemiologi juga khawatir vaksinasi mandiri justru akan menggagalkan prioritas pengendalian pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Langkah pemerintah mengizinkan vaksinasi mandiri Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang melibatkan swasta menuai kritik pakar epidemiologi. Sejumlah ahli kesehatan menilai program vaksinasi mandiri justru berpotensi mengganggu program pemberian vaksin gratis oleh pemerintah.
Pakar epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengatakan program vaksinasi gratis berpotensi terganggu lantaran ketersediaan vaksin masih terbatas. Jika pihak swasta berlomba-lomba membeli vaksin dari produsen, kemungkinan besar jatah vaksin yang semestinya bisa dibeli negara bisa berkurang.
Dicky mengingatkan, hingga saat ini, seluruh vaksin Covid-19 yang beredar diproduksi oleh perusahaan swasta, bukan negara. Karena itu, perusahaan pasti akan menjual vaksin kepada mereka yang memiliki dana tunai. Ia mencontohkan, sejak produksi vaksin dikomersialkan, 80 persen produk vaksin habis terjual kepada negara-negara maju. "Kalau vaksinasi mandiri terjadi saat ini, artinya akan ada pengurangan vaksin gratis karena (jumlahnya) terbatas. Jangankan kita, negara yang sudah memesan saja belum kebagian," kata Dicky kepada Tempo, kemarin.
Jika pemerintah ngotot mengizinkan vaksinasi mandiri, Dicky khawatir akan ada potensi kontraproduktif. Di satu sisi pemerintah berupaya mengendalikan Covid-19 dengan vaksin, di sisi lain para pengusaha berusaha memulihkan ekonomi dengan komersialisasi vaksin. Akibat adanya tarik-menarik kepentingan ini, ia khawatir tujuan awal program vaksinasi untuk mengendalikan wabah menjadi tak tercapai.
Program vaksinasi mandiri, kata Dicky, bisa dilakukan jika ada kepastian stok vaksin yang memadai. Selain itu, program vaksinasi bisa dilakukan jika ada merek vaksin di luar merek vaksin yang menjadi sasaran pemerintah. Saat ini, ada beberapa merek vaksin yang sedang dibidik pemerintah untuk program imunisasi gratis, yakni Sinovac, Pfizer, Moderna, AstraZeneca, dan Sinopharm. "Swasta bisa membeli vaksin selain itu kalau ada. Tapi jangan sampai ada kesan bahwa vaksin yang dibeli swasta adalah vaksin kelas satu. Sedangkan vaksin gratis program pemerintah adalah vaksin kelas dua,” ujar dia.
Senada dengan Dicky, pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mengatakan program vaksinasi mandiri berpotensi mengganggu pemberian imunisasi gratis. Sebab, meski pembelian vaksin dilakukan oleh swasta, penyuntikan vaksin tetap memerlukan tenaga kesehatan yang telah terlatih. "Meski vaksin program mandiri, pertanyaannya, nanti siapa yang melayani? Vaksinator kita itu harus diutamakan untuk yang program gratis dari pemerintah," katanya.
Windhu khawatir para vaksinator nantinya sibuk melakukan vaksinasi mandiri yang dibiayai swasta karena mendapat honor lebih ketimbang melayani imunisasi gratis. Jika memang pihak swasta ingin melakukan vaksinasi mandiri, Windhu menuturkan, mereka harus melatih sendiri tenaga kesehatan untuk melakukan vaksinasi.
Masalah selanjutnya, ucap Windhu, adalah tempat penyimpanan vaksin. Pemerintah saja sempat kesulitan menyimpan vaksin lantaran penuhnya tempat pendingin di dinas-dinas kesehatan. "Kalau sampai swasta pakai cold storage dinas kesehatan, kan, bisa mengganggu. Itu yang dikhawatirkan," ucap dia.
Pada masa normal, sedianya pelaksanaan vaksinasi mandiri adalah hal yang wajar dilakukan. Windhu mencontohkan, orang bisa melakukan imunisasi dasar lengkap untuk bayi di bawah satu tahun secara mandiri alih-alih memanfaatkan program imunisasi gratis dari pemerintah. Namun, pada masa darurat, menurut Windhu, sebaiknya semua orang mengikuti program pemerintah agar tak terjadi ketimpangan dan vaksinasi bisa terdistribusi sesuai dengan prioritas. "Jangan sampai vaksinasi mandiri itu membuat ketimpangan. Program jadi dikesampingkan karena terlalu sibuk mandiri. Lebih baik kita berfokus pada program, kecuali semuanya diurusi sendiri dan betul tidak mengganggu," katanya.
Selain dianggap akan mengganggu program vaksinasi gratis, alasan soal percepatan pembentukan kekebalan imunitas alias herd immunity dengan vaksinasi mandiri juga tak masuk akal. Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan herd immunity tak bisa terbentuk dalam waktu singkat. Ia menyebutkan tak pernah ada dalam sejarah manusia herd immunity akibat wabah bisa terbentuk dalam waktu setahun. "Herd immunity itu diasumsikan seolah-olah ada, sehingga penyakit itu bisa hilang. Enggak mungkin Covid-19 itu bisa hilang di Indonesia ketika di dunia masih ada. Kecuali hilang di seluruh dunia, baru kita bisa bilang hilang," ujar dia.
Menurut Pandu, rencana vaksinasi mandiri yang didorong oleh para pengusaha hanya akan menyabotase misi rakyat dalam melawan pandemi. Sebab, dalam melakukan vaksinasi, perusahaan swasta tetap memerlukan bantuan pemerintah untuk melakukan pengecekan vaksin hingga pendistribusiannya. "Yang ingin kita capai adalah pengendalian pandemi. Vaksinasi mandiri, yang akan memakai vaksinator, fasilitas, dan tenaga pemerintah, justru bisa menunda, menggagalkan misi pengendalian pandemi," ucap dia.
Pemerintah mulai mempertimbangkan opsi vaksinasi mandiri Covid-19 setelah mendapat usul dari organisasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Ide itu berasal dari para pengusaha yang ingin melakukan vaksinasi sendiri untuk para karyawannya. Hingga kemarin, pemerintah masih mengkaji soal tata cara pembelian, kerja sama, jenis, serta distribusi vaksin secara mandiri.
Ketua Kadin Indonesia, Rosan P. Roeslani, menyampaikan sudah ada 2.600 perusahaan swasta yang mendaftar untuk melakukan vaksinasi mandiri. Ia mengatakan vaksin mandiri akan ditujukan bagi para karyawan dan keluarga, serta ada kemungkinan menjangkau masyarakat di sekitar tempat industri. "Kalau dilihat dari 182 juta orang yang divaksin, kita mungkin lihat pekerja formal saja kurang-lebih 40 persen dari 130 juta. Berarti 60 juta tenaga kerja formal, kami bisa kejar yang 30 juta itu dari target vaksin,” ujar Rosan.
Corporate Secretary PT Bio Farma (Persero) Bambang Heriyanto memastikan vaksin mandiri Covid-19 tidak akan digunakan untuk kepentingan komersial seumpama pemerintah telah membuka akses perizinan tersebut. Ia mengatakan vaksinasi Covid-19 secara mandiri bertujuan untuk membangun kekebalan kelompok dengan kebutuhan minimal penyuntikan 70 persen dari total jumlah penduduk. “Vaksinasi mandiri bukan komersialisasi, melainkan upaya gotong-royong masyarakat dalam peran serta dan membantu percepatan program vaksinasi,” ujar Bambang.
MAYA AYU PUSPITASARI | ROBBY IRFANY | FRANCISCA CHRISTY ROSANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo