Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengulik Fakta dan Fiksi Film Telik Sandi

Meski didasari kisah nyata, skenario film lazim menambahkan detail lain. Bagian dari upaya membuat film intelijen lebih menarik.

25 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Film bertema mata-mata seperti Argo dan Narco-Saints menambahkan detail lain di luar kisah aslinya.

  • Inilah sejumlah perbedaan antara adegan dalam film dan kisah nyata dari buku Argo yang ditulis Antonio J. Mendez.

  • Penambahan detail lain atau dramatisasi adalah bagian dari upaya menarik perhatian penonton.

ANTONIO Joseph Mendez, agen Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA), yang memakai nama samaran Kevin Harkins, tampak cemas berhadapan dengan petugas imigrasi di Bandar Udara Internasional Mehrabad, Iran. Pada 28 Januari 1980 pagi itu, petugas bandara terlihat mencurigai pria yang akan keluar dari negaranya ini. Dia ingin meminta konfirmasi kebenaran identitas pria itu sebagai kru film dari studionya.

Petugas itu menelepon sebuah nomor yang diberikan Mendez yang ia sebut sebagai nomor telepon studio film sains fiksi berjudul Argo. Satu kali panggilan yang tak diangkat membuat kecurigaan petugas meningkat. Setelah ada jawaban dari pihak seberang, petugas itu baru membubuhkan stempelnya.

Bukan hanya itu ketegangan yang dialami Mendez. Lolos dari pemeriksaan imigrasi, ia dibuat deg-degan oleh munculnya pengumuman penundaan penerbangan pesawat Swiss Air dengan nomor penerbangan 363 yang akan ditumpanginya bersama enam "kru palsu" lain film Argo.

Mendez dan kawan-kawan khawatir akan menjadi sasaran pemeriksaan lanjutan dari pasukan Garda Revolusi dan milisi yang banyak berkeliaran di bandara. Setelah jantungan beberapa saat, mereka bisa bernapas lega ketika ada panggilan yang mempersilakan penumpang masuk ke pesawat.

Saat pesawat kemudian bergerak di landasan pacu, tampak puluhan milisi dan anggota pasukan Garda Revolusi memasuki landasan pacu dan mengejar mereka. Meski para tentara sudah memacu kendaraan dengan cepat dan melepaskan tembakan, Swiss Air 363 tak bisa dicegah terbang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adegan saat kru film berhadapan dengan petugas imigrasi di Bandara Mehrabad, Iran, di film Argo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adegan menegangkan itu adalah bagian dari film Argo yang disutradarai aktor Ben Affleck. Ia juga berperan sebagai Mendez dalam film yang dirilis pada 2012 itu. Argo adalah salah satu film bertema spionase yang diangkat dari kisah nyata dan cukup digemari. Di situs pemeringkat film IMDB, Argo masuk daftar 25 film bertema mata-mata terlaris. 

Berbeda dengan serial James Bond, Mission: Impossible, Jack Ryan, dan Jason Bourne, film Argo didasari kisah nyata. Inspirasinya adalah buku Antonio J. Mendez berjudul The Master of Disguise: My Secret Life in the CIA, buku Argo karya Mendez dan Matt Baglio (2012), serta artikel Joshuah Bearman di Wired berjudul "The Great Escape: How the CIA Used a Fake Sci-Fi Flick to Rescue Americans from Tehran".

Argo mengisahkan operasi penyelamatan yang dilakukan CIA, dengan bantuan Kedutaan Besar Kanada, untuk menyelundupkan keluar enam pegawai Kedutaan Besar Amerika Serikat yang tertahan di Iran. Mereka adalah pegawai kedutaan yang lolos dari sergapan kelompok militan yang menyerbu kedutaan pada 4 November 1979. Sebanyak 52 orang menjadi sandera dalam penyerbuan itu. Mereka baru bisa dibebaskan 444 hari kemudian.

Meski didasari kisah nyata, tak semua cerita yang ditampilkan dalam film ini sesuai dengan kenyataan. Dalam buku Argo, Mendez menjelaskan bahwa operasi penyelamatan sandera itu dilakukan setelah upaya lain tak membuahkan hasil. CIA lantas menyodorkan operasi dengan agen yang menyaru sebagai kru film yang sedang mencari tempat syuting di Iran.

Sebagai bagian dari penyamaran, mereka merancang skenario film, memasang iklan mencari calon pemain, dan membuka studio di Hollywood. Skenarionya, agen CIA akan datang ke Iran dengan menyaru sebagai kru film memakai identitas Kanada. Setiba di sana, mereka akan mengatur keenam orang itu, yang juga menyamar sebagai kru film, untuk keluar dari Iran.

Seperti layaknya penyamaran, keenam orang itu dilatih untuk menyelami identitas baru masing-masing. Ada yang berperan sebagai sutradara, ada yang menjadi penulis skenario, dan lain-lain. Mereka diberi paspor palsu Kanada. Membuat paspor palsu adalah kejahatan dan Amerika meminta persetujuan resmi dari pemerintah Kanada untuk itu dan disetujui. Setelah para sandera siap dengan identitas baru, mereka disiapkan untuk pulang. 

Demi keamanan, mereka pergi ke bandara pada pagi buta, 28 Januari 1980. Pada saat itu milisi dan anggota pasukan Garda Revolusi masih sedikit sehingga lebih aman untuk menyelinap pergi. Mendez, dalam bukunya, menyebutkan sempat ada sedikit ketegangan yang mereka hadapi. Salah satunya saat mereka berada di depan meja pemeriksaan imigrasi.

Ketika itu tiba-tiba petugas pemeriksa pergi ke belakang. Mereka bertanya-tanya, apakah ada dokumen yang kurang, apakah petugas mengecek konsistensi antara kartu kedatangan dan kepulangan penumpang? Ternyata beberapa menit kemudian si petugas kembali dengan membawa secangkir kopi yang asapnya masih mengepul.

Sebelumnya juga ada sedikit ketegangan saat salah satu kru diperiksa cukup lama. Usut punya usut, petugas imigrasi merasa foto pada paspor tak sesuai dengan wajah aslinya. Masalah ini juga bisa diselesaikan segera. Perbedaan itu ternyata muncul karena kumis penumpang lebih panjang daripada dalam foto yang diambil beberapa bulan sebelumnya. 

Sempat ada ketegangan lain saat mereka sudah lolos dari pintu imigrasi. Ketika itu ada pengumuman bahwa penerbangan Swiss Air ditunda karena ada gangguan teknis. Mereka pun waswas dan khawatir hal buruk akan terjadi. Mendez lantas mencari tahu penyebabnya. Ternyata ada masalah pada pengukur kecepatan udara dan itu bukan persoalan yang sangat serius. 

Pada waktu itu, tulis Mendez, sempat ada diskusi untuk beralih ke pesawat British Airways agar mereka bisa segera pergi dari Iran. Namun ide itu akhirnya diurungkan dan mereka tetap berpegang pada rencana semula. Ada kekhawatiran penggantian pesawat pada saat-saat seperti itu justru akan menarik perhatian pemerintah Iran. 

Mereka dapat bernapas lega setelah ada panggilan bahwa penumpang Swiss Air dipersilakan naik ke pesawat. Mereka pun bergegas. Beberapa menit kemudian pesawat melaju di landasan pacu dan terbang. Pesawat lalu meninggalkan Iran dan memasuki ruang udara Turki. Tak ada milisi yang berusaha mengejar seperti dalam film Argo itu.

Dalam film juga diceritakan bahwa milisi Iran berhasil memulihkan dokumen di kedutaan Amerika saat penyerbuan berlangsung. Dari upaya itu mereka bisa membaca dokumen kedutaan, termasuk identitas stafnya. Rekonstruksi dokumen itulah yang kemudian menjadi sumber kecurigaan milisi Iran sehingga mereka mengejar tujuh kru film palsu itu di landasan pacu.

Saat kedutaan dalam ancaman, pemusnahan dokumen rahasia oleh petugas sangat lazim. Menurut Ronen Bergman dalam buku The Secret War with Iran, personel CIA berusaha meremukkan dokumen rahasianya dengan mesin pencacah. Sebagian besar dokumen hancur menjadi potongan tipis sehingga hanya sedikit dokumen yang bisa ditemukan utuh.

Menurut Bergman, Iran menugasi 250 orang untuk menyortir dokumen itu, termasuk yang dihancurkan menjadi potongan tipis tersebut, dan menyusunnya kembali. Upaya ini membuat mereka bisa menyusun informasi rahasia tentang hubungan Amerika Serikat dengan Iran di masa Syah Reza Pahlavi, termasuk informasi yang dimiliki CIA mengenai aktivitas intelijen Israel di negara itu.

Namun upaya menyusun puzzle informasi itu tidak secepat dalam film Argo. Menurut Bergman, baru pada 1985 ada 61 volume dokumen terpilih yang diterbitkan. Isinya antara lain tentang pembayaran informan di lingkungan militer oleh CIA. Insiden di Teheran itu juga yang mendorong CIA mengganti standar mesin pencacah kertasnya agar dokumen yang dihancurkan sulit direkonstruksi. 

Hal yang sama terjadi dalam film drama Korea bertema dunia telik sendi, Narco-Saints, yang saat ini berada di daftar 10 film paling banyak ditonton di Netflix. Film itu memang didasari kisah nyata kehidupan raja obat bius asal Korea Selatan, Jo Bong-haeing, yang tinggal di Suriname.

Adegan dalam film Argo saat agen Tony Mendez berhadapan dengan sekuriti bandara di Iran.

Dalam film itu, Jo menyembunyikan identitas aslinya dengan menjadi pendeta. Badan intelijen Korea Selatan menggunakan jasa pengusaha yang pernah berhubungan dengannya untuk menghancurkannya.

Menurut The Times, tidak banyak yang diketahui ihwal tahun-tahun awal kehidupan Jo, termasuk setelah dia diadili di Korea Selatan karena menyelundupkan kokain ke berbagai negara di Eropa. Sutradara Yoon Jong-bin mengatakan film ini dilandasi peristiwa nyata. Tapi mungkin ada beberapa bagian cerita yang ditambahkan untuk membuatnya lebih menarik. 

The Times juga mengatakan sebenarnya tidak ada yang tahu pula apakah benar Jo berpura-pura menjadi pendeta dan menjalankan operasi kartel narkotik serta penyelundupan narkotik dengan kedok agama. Tidak bisa dipastikan juga apakah benar ada pengusaha Korea Selatan yang membantu intelijen negara itu untuk menangkap sang gembong narkotik. 

Menurut Marselli Sumarno, meski berbasis pada kisah nyata, sangat lazim sebuah film menambahkan detail yang tidak ada dalam cerita aslinya. "Alur cerita di buku bisa cenderung biasa. Dalam dunia film, biaya produksi yang mahal harus diimbangi dengan daya tarik yang menjual," kata pengajar di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta ini. Ia menyebutkan penambahan seperti itu dalam film bertujuan menambah daya tarik agar film intelijen tersebut bagus secara komersial. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus