Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WARNA putih tembok gedung Kapel St Nikolaus, Stasi Kedunggubah, tampak baru dicat ulang. Pintu utamanya berlumur warna biru muda yang segar. Keramik cokelat susu pelapis lantainya juga tidak terlihat usang.
Gereja kecil yang resmi berdiri pada 3 Mei 1992 itu menempati sebidang lahan seluas tak lebih dari seperempat lapangan bola. Lokasinya mudah ditemui karena berada di pinggir jalan aspal yang membelah kawasan Desa Kedunggubah, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Bangunannya berada tepat di salah satu sisi tebing sungai kecil berbatu yang mengalir melewati desa itu.
Halaman kapel itu tidak berpagar. Sebatang pohon nangka setinggi atap gereja merindangi bagian muka. Di bawahnya, patung setengah badan pastor berkacamata bernaung. Tinggi patung tanpa lengan itu tak lebih dari satu meter. Posisinya menghadap jalan, seolah-olah menyapa setiap pengunjung yang memasuki halaman gereja. Patung berbahan batu kali hitam pekat ini ditopang tugu kotak setinggi dua meter. Pada bagian paling atas muka tugu tertulis "Biografi RM Nicolaus Driyarkara, SJ".
Pahatan tulisan bercat putih di tembok tugu itu memberi informasi riwayat Driyarkara, dari asal keluarga hingga perjalanan kariernya sebagai rohaniwan Katolik, akademikus, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). "Baru dibuat pada sekitar 2010," kata Ganjar Prasetyowati, 43 tahun, salah satu cucu keponakan Driyarkara, yang kerap menjadi juru bicara keluarga.
Wati tak tahu persis identitas pemahat patung itu. Yang dia ingat, patung itu dipesan seorang frater bernama Angga Prasetyo ketika masih bertugas di Purworejo. "Beliau sekarang di Kalimantan," tuturnya.
Kehadiran patung itu adalah penanda jejak bahwa Kedunggubah adalah kampung halaman Driyarkara. Nicolaus Driyarkara lahir di desa itu pada 13 Juni 1913, sekitar 100 tahun silam. Makanya pada Juni lalu, kata Wati, Kapel St Nikolaus menjadi lebih ramai dari biasanya karena dipakai untuk misa peringatan "100 Tahun Driyarkara".
Selain misa di kapel itu, peringatan dilanjutkan dengan menggelar acara syukuran di balai Desa Kedunggubah. "Kami mengadakan pementasan tari-tarian dan seni tradisional lainnya," ujar Wati. Peringatan itu juga Âdilengkapi dengan prosesi napak tilas ke bidang lahan bekas lokasi rumah keluarga Raden Atmosenjoyo, ayah Driyarkara. Di tempat petilasan masa kecil Driyarkara itu digelar acara doa dan "selamatan" serta pemasangan tugu batu kecil yang dikelilingi tumpukan kerikil membentuk lingkaran.
Lokasi rumah keluarga Driyarkara tepat di belakang kompleks gedung Sekolah Dasar Negeri Kedunggubah. Menurut Wati, SD Kedunggubah, yang berdiri pada 1976, menempati tanah milik keluarga besar Driyarkara. Tanah itu dulu lokasi pendapa rumah Lurah Kedunggubah, Wiryosenjoyo. Ia kakak Atmosenjoyo. "Jadi dia pakde Driyarkara," Wati menjelaskan.
Bekas lokasi rumah Driyarkara kini hanya menjadi lahan kosong yang ditumbuhi beberapa pohon jati. Menurut Wati, dulu kediaman orang tua Driyarkara berdempetan dengan bagian belakang rumah Lurah Wiryosenjoyo. Sekarang kediaman Lurah Wiryosenjoyo pun hanya menyisakan bagian tengah ruang keluarga yang menjadi rumah kecil. Rumah itu belakangan ditempati keluarga Sumarjo, pensiunan polisi, yang juga cucu Wiryosenjoyo dari putri kelimanya yang bernama Raden Nganten Pondiyah. Jadi Sumarjo adalah keponakan Driyarkara. "Saya sendiri ragil (anak bungsu) dari empat anak Pak Sumarjo," kata Wati.
Kini rumah kecil yang sebagian dindingnya berlapis anyaman bambu itu ditempati Agustinus Purdadiono, anak ketiga Sumarjo, dan ibunya yang sudah sepuh. Menurut Wati, ayahnya meninggal beberapa tahun lalu. "Sebenarnya ayah saya yang lebih banyak bergaul dengan Driyarkara. Keduanya dekat," ujarnya.
Dari cerita ayahnya, Wati mendengar Driyarkara memiliki kebiasaan gemar membaca buku. Salah satu tempat favorit Driyarkara untuk membaca adalah sebuah batu besar yang berada di pekarangan rumah Wiryosenjoyo. Kini batu itu berada di tengah-tengah rimbun pepohonan yang memadati pekarangan bekas rumah Wiryosenjoyo. "Dulu batu itu juga tempat bersantai favorit Eyang Wiryosenjoyo," tutur Wati.
Boleh dibilang riwayat hidup Driyarkara tak banyak diketahui. Wati mengetahui riwayat sang pemikir dari cerita ayahnya dan sejumlah dokumen milik ayahnya. Salah satu dokumen yang ditemukan Wati sepeninggal ayahnya adalah surat bertarikh 1934. Surat kusam yang berisi silsilah keluarga Driyarkara itu ditemukan tanpa sengaja di rumahnya ketika Wati akan mengurus pensiun ayahnya pada 2004. Tulisan dalam surat itu masih jelas dan diteken oleh pensiunan Bupati Purworejo kala itu, ÂCokronegoro. Dalam surat itu tertulis:
"Sedjarah aloeran saking MATARAM: Kandjeng Soesoehoenan Hamangkoerat Ingkang soemare ing Tegalaroem (Sejarah silsilah dari MATARAM: Kanjeng Sunan Hamangkurat yang disemayamkan di Tegalarum).
Cokronegoro menulis di bawah silsilah itu:
Sampoen koela tingali sedojo poenapa ingkang kasebat sedojo leres, Sarto Wirjosendjojo ingkang damel asal-oesoel poenika taksih pernah paman koelo kaping tigo gajoetan saking Banjoeoerip, Bedoeg, Tanggoeng sarto Loano. Saking Pemanggih koela waoe Wirjosendjojo taksih gadah titel RADEN, sakÂtoeroenipoen. (Koela Boepati Pensioen Poerworedjo, Raden Mas Toemenggoeng Harjo ÂTJOKRONEGORO. Poerworejo, 23 Maart 1934).
Artinya: sudah saya periksa semua yang disebutkan itu dan semuanya benar, Wirjosendjojo yang membuat silsilah itu masih paman saya pada tingkat ketiga menurut garis keturunan dari Banyuurip, Bedug, Tanggung, dan Loano. Menurut pendapat saya, Wirjosendjojo beserta semua keturunannya masih mempunyai gelar ÂRADEN. (Saya Bupati Pensiun Purworejo, Raden Mas Tumenggung Haryo Tjokronegoro. Purworejo, 23 Maret 1934).
Berbekal silsilah itu, Wati bisa mengenali garis silsilah dua generasi di atas Driyarkara. Generasi tertua leluhur Driyarkara yang dikenal oleh Wati adalah Kiai Tirtowijoyo, yang kini jejaknya hanya diketahui dari pemakaman keluarga di Bukit Magangan, Dusun Blekoan, Desa Kedungubah.
Driyarkara sendiri lahir dengan nama Soehirman. Panggilan kecilnya Djentu. Panggilan itu disematkan karena tubuhnya gempal semasa kanak-kanak. Saat kecil Driyarkara setiap hari berjalan kaki sejauh sekitar lima kilometer untuk belajar di Volkschool atau Sekolah Rakyat. Lokasinya di sekitar Desa Cangkrep Kidul, Purworejo.
Setelah kelas III, Driyarkara sering berjalan kaki lebih jauh karena melanjutkan pendidikannya ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Purworejo. Sekolah itu kini menjadi SMP Bruderan Purworejo. Sampai kelas VI HIS, Driyarkara hijrah ke Malang, Jawa Timur, menumpang di rumah kakaknya, Alginah Sumoprawiro, yang diperistri pegawai negeri urusan pemetaan pemerintah Hindia Belanda. Di Malang, Driyarkara menyelesaikan pendidikan HIS. "Eyang Wiryosenjoyo yang membiayai pendidikannya," kata Wati.
Wiryosenjoyo memiliki pengaruh besar pada kehidupan Driyarkara. Dialah yang pada 1929 mendorong Driyarkara melanjutkan pendidikan ke Seminari Menengah Yogyakarta. Wiryosenjoyo sendiri berperan dalam kehidupan umat Katolik di Kedunggubah. Meski baru dibaptis menjelang akhir hayatnya pada 1944, Wiryosenjoyo pernah memfasilitasi acara pembaptisan, yang diikuti banyak warga Desa Kedunggubah pada 1929.
Setelah lulus dan mengajar di seminari beberapa tahun, Driyarkara melanjutkan studi di Roma. Pada 1952, ia meraih gelar doktor ilmu filsafat di Universitas Gregoriana, Roma, dengan disertasi mengenai pemikiran Nicolas Malebranche, filsuf Prancis abad ke-18 yang religius tapi juga sangat rasional. Inti gagasan Malebranche adalah berusaha menjelaskan peran aktif Tuhan di seluruh aspek kehidupan. Untuk itu, Malebranche memadukan pendekatan Santo Augustinus dan Descartes. Setelah menyelesaikan disertasi yang sulit itu, Driyarkara menjadi pengajar di Seminari Tinggi Yogyakarta. Sepanjang 1960-1967, dia menjadi guru besar luar biasa di Universitas Indonesia (Jakarta) dan Universitas Hasanuddin (Makassar) serta dosen tamu di St Louis University, Missouri, Amerika Serikat.
Itulah jejak tahun-tahun Driyarkara menjadi guru filsafat. Ia kemudian dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang memperkenalkan khazanah filsafat Barat lewat berbagai tulisan. Yang paling menarik adalah ia aktif memberi "kuliah" filsafat lewat siaran di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta dan Jakarta pada 1960-an. Untuk ukuran sekarang pun ini aktivitas yang luar biasa. Rasanya mustahil hari-hari ini di radio swasta atau bahkan di televisi kita ada program ceramah filsafat. Bayangkan, di depan corong radio itu, Driyarkara mengulas tema yang berat, seperti eksistensialisme, pemikiran Jean-Paul Sartre, kesalahan moral, dan pengalaman religi.
Khusus di RRI Jakarta, ia bahkan memberi seri ceramah fenomenologi—teknik atau cara pandang khusus memahami dunia—untuk bisa melihat realitas dengan lebih subtil, yang dipelopori filsuf Edmund Husserl. Kepada para pendengar, ia berusaha menjelaskan konsep fenomenologi yang alot menjadi mudah dicerna. Driyarkara bukanlah tipe filsuf yang selalu di awang-awang. Pergulatan pemikirannya menyentuh masalah pendidikan dan kebangsaan Indonesia. Ia sempat menjadi anggota MPRS dan DPA. Dia terutama juga merefleksikan soal Pancasila.
Kekayaan wawasan filsuf dari Lereng Menoreh itu mencuri perhatian rohaniwan Katolik dan Direktur Pascasarjana Program Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Budi Subanar. Sejak 2005, Subanar banyak bekerja dengan F. Danuwinata, salah satu murid Driyarkara, mengumpulkan berbagai teks tulisan Driyarkara untuk menggali gagasan-gagasan filosofisnya. "Saya penasaran apa faktor yang membentuk figur Driyarkara bisa menjadi pemikir hebat padahal ia lahir di kampung terpencil pegunungan Menoreh," ujarnya.
Selain Driyarkara, dari wilayah itu, menurut Subanar, lahir tokoh seperti Mr. Wilopo, perdana menteri ketujuh di masa Republik Indonesia Serikat, dan W.R. SupratÂman, komponis pencipta Lagu kebangsaan Indonesia Raya. "Karena kesulitan menganalisis masa kecilnya, saya mencoba menganalisis perkembangan Driyarkara dari tulisan-tulisan dia," katanya.
Sepanjang aktivitasnya menjelajahi pemikiran Driyarkara, Subanar memang mengaku tidak banyak mengetahui penggalan hidupnya sebelum 1929. Catatan penting mengenai perkembangan pemikiran rektor pertama cikal-bakal Universitas Sanata Dharma ini baru banyak dia temui di penggalan sejarah saat Driyarkara belajar di Seminari Menengah Yogyakarta, sepanjang 1929-1935.
Misalnya, ketika menempuh pendidikan Seminari Menengah Yogyakarta di kelas IV atau setara dengan kelas I SMA, Driyarkara pernah menerbitkan majalah yang ia namai Aquila, yang berarti rajawali. Menurut Subanar, kata Latin itu akronim "Augeamus Quam Impesissime Laudem Altissimi". "Terjemahannya kira-kira marilah kita tumbuh berkembang sekuat tenaga menambah keluhuran yang mahatinggi," ujarnya.
Ketajaman analisis Driyarkara juga terlihat saat ia di kelas V Seminari Menengah Yogyakarta. Driyarkara saat itu memenangi lomba penerjemahan istilah Latin ke bahasa Jawa dan Indonesia, yakni "Salus Versta Ego Sum". Lomba itu diadakan panitia pembangunan gereja Pugeran, Yogyakarta. Dia mengartikan istilah itu dengan kalimat Jawa "Ijo Ingsun Karahajoniro" atau dalam bahasa Indonesia bermakna "Akulah Keselamatanmu". Kata-kata itu kemudian terpahat di gereja Pugeran hingga kini.
Menurut Subanar, kemampuan Driyarkara menelaah untuk ukuran anak SMA ini menandakan keluasan wawasannya. "Kata itu memiliki makna religius yang dalam dan dia bisa menempatkan kalimat istilah Jawa yang tepat untuk memaknainya," ujarnya.
BOLEH dibilang karya awal tulisan Driyarkara berupa catatan ringan, seperti tulisan-tulisannya dalam bahasa Jawa yang dimuat majalah Praba, mingguan berbahasa Jawa yang terbit di Yogyakarta. Atau catatan pendeknya di rubrik Warung Podjok dengan nama samaran Pak Nala.
Peluang Driyarkara memperkenalkan ide-idenya ke masyarakat kian terbuka ketika dia menjadi pengasuh majalah kebudayaan Basis, yang terbit pada 1951. Dalam tulisan-tulisan awalnya, dia menggunakan nama pena Puruhita. Setelah itu, ia menggunakan nama aslinya: Driyarkara. Dia menulis dengan gaya yang perlahan-lahan membawa pembaca ke permenungan filosofis.
Menurut Subanar, Driyarkara selalu serius ketika menuangkan gagasan dalam tulisan tangan di catatan hariannya meski kebanyakan hanya satu-dua paragraf. Sejumlah catatan hariannya, kata Subanar, malah sudah mengungkapkan benih pemikirannya mengenai pendidikan sejak 1942.
Driyarkara pernah menulis catatan harian sepanjang empat paragraf mengenai pendapatnya bahwa Indonesia memerlukan lembaga pendidikan guru yang terspesifikasi menurut jenjang wilayah mengajarnya. Pada 1955, kata Subanar, gagasan ini terealisasi saat Driyarkara menjadi rektor pertama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Sanata Dharma.
Dia juga memiliki perhatian besar pada pemilihan kata dalam tulisan-tulisannya, baik artikel, surat, disertasi, maupun catatan harian. Subanar mengamati, dalam catatan harian Driyarkara, yang banyak ditulis ketika ia mendalami teologi dan filsafat sejak 1942 hingga awal 1950-an, dan di artikel-artikelnya di majalah Praba, banyak istilah seperti "membangsa" atau "menegara".
Driyarkara kerap memakai istilah itu ketika menulis refleksinya mengenai situasi politik masa awal kemerdekaan Indonesia. "Dia ingin memilih istilah yang tepat. Republik dan bangsa Indonesia, bagi dia, sesuatu yang bergerak, makanya mengistilahkannya dengan kata kerja," ucap Subanar.
Karakter unik lain dari tulisan Driyarkara adalah gaya analisisnya yang selalu menghadirkan pengalaman realitas di awal artikel, mempertemukannya dengan analisis filosofis, dan memberikan refleksi mendalam di akhir tulisan. Menurut Subanar, Driyarkara juga suka mencermati pertemuan gejala modernitas dengan aspek lokalitas dalam tulisannya, terutama ketika dia mengajar di Amerika.
"Pemikiran filosofisnya memang banyak dipengaruhi fenomenologi dan eksistensialisme, tapi ciri khasnya menganalisis pertemuan modernitas dan lokalitas," kata Subanar, yang juga menjadi anggota tim penyunting buku Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsa terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Adapun bagi budayawan dan rohaniwan Mudji Sutrisno, Driyarkara adalah sosok yang sangat memanusiakan manusia. Dalam ingatan Romo Mudji, Driyarkara percaya manusia bukanlah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus), melainkan kawan bagi sesamanya (homo homini socius).
Fondasi pemikiran soal filsafat pendidikan dan homo homini socius, menurut Mudji, makin kuat selama Driyarkara menuntut ilmu di Eropa. Begitu kembali ke Indonesia pada 1952, dituturkan Mudji, Driyarkara sempat mengalami kekecewaan. Ia sedih lantaran Pancasila tidak "hadir" di berbagai ruang gerak manusia Indonesia.
Pancasila, menurut Driyarkara ketika itu, tak lagi menjadi kebudayaan, tapi pembuayaan. Orang tak lagi menjadi pancasilais, tapi menjadi buaya bagi sesamanya. "Ia kecewa karena melihat Pancasila terlalu diideologikan, hadir dalam pidato-pidato, tapi tidak ada penghormatan terhadap harkat manusia," Mudji menjelaskan.
Bagi dia, Driyarkara adalah seorang eksitensialis. "Tapi eksistensialis yang positif, bukan seperti Sartre." Menurut ÂMudji, yang pernah menulis buku Driyarkara: Dialog-dialog Panjang dengan Penulis ketika mempelajari eksistensialisme, Driyarkara tak menelan bulat-bulat pandangan eksistensialis Prancis, seperti Jean-Paul Sartre dan Marleau Ponty. Bagi Driyarkara, eksistensialisme ala Sartre bersifat negatif karena mengerdilkan keberadaan liyan—diri yang lain. Padahal, menurut Driyarkara, liyan sebagai persona yang sadar adalah sesama yang juga mencari kebahagiaan dan bergerak menuju Allah.
Menurut Mudji, cara Driyarkara menyampaikan gagasan kepada murid-muridnya khas. Dia menggunakan metode kumparan yang melingkar. Siswa diajak Driyarkara lebih dulu berputar melihat persoalan secara utuh, baru sampai ke pusaran. "Baru setelah sampai ke pusaran, dia mengajak siswanya 'berjalan', lalu membuat lingkaran kumparan lagi," ujar Mudji.
Begitulah. Salah satu pemikir besar Indonesia kelahiran 1913 itu wafat karena sakit pada 11 Februari 1967. Driyarkara dimakamkan di kompleks Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah.
Marilah kita sedikit merenungkan sajak yang pernah ditulisnya—tentang makna menjadi homo ludens.
Addi Mawahibun Idhom, Isma Savitri, Nurdin Kalim, SJS
Puisi Permainan
Bermainlah dalam permainan
Tetapi janganlah main-main!
Mainlah dengan sungguh-sungguh
Tetapi permainan jangan dipersungguh
Kesungguhan permainan
Terletak dalam ketidaksungguhannya
Sehingga permainan yang dipersungguh
Tidaklah sungguh lagi
Mainlah dengan eros (cinta)
Tetapi janganlah mau dipermainkan eros
Mainlah dengan agon (perjuangan)
Tetapi janganlah mau dipermainkan agon
Barangsiapa mempermainkan permainan
Akan menjadi permainan-permainan
Bermainlah untuk bahagia
Tetapi janganlah mempermainkan bahagia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo