Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LELAKI tinggi kekar itu berdiri awas di pelataran parkir Bandar Udara Patimura, Ambon, Sabtu dua pekan lalu. Mata penge-mudi mobil sewaan itu tak pernah lepas memandangi penumpang yang satu per satu keluar dari ruang kedatangan. Begitu bersirobok pandang dengan Tempo dan calo penumpang bernama Memed, ia tersenyum.
Didatangi Memed, Jemy Lako-tam-pesi, 35 tahun, lelaki kekar itu, langsung menyodorkan uang Rp 30 ribu. Itu upah Memed sebagai pencari- penumpang. "Ah, kurang ini," kata Memed protes. "Sudah itu. Beta kan mesti setor juga," jawab Jemy. Alih-alih bertengkar, keduanya malah tertawa bersama.
Jemy putra asli Ambon. Dia tinggal di Desa Tawili, tiga kilometer dari bandara. Profesi sebagai sopir sewaan sudah ditekuninya jauh sebelum konflik berdarah pecah di Ambon pada 1999. Selama itu pula ia menjalin persahabatan dengan Memed, 29 tahun, lelaki keturunan Jawa. Tapi pertikaian merenggangkan keduanya.
Jemy bercerita, Memed tinggal di Desa Batu Koneng, Kota Madya Ambon. Pertikaian antara warga Kristen dan Islam tak pernah mereka kehendaki. Tetapi, apa boleh buat: selama konflik, Jemy mesti dekat de-ngan orang Kristen, sedangkan Memed le-bih aman bekerja untuk sopir-sopir muslim. "Saat konflik, Memed tak dekat-dekat dengan beta," kata Jemy seraya memacu mobilnya ke arah timur, menuju Kota Ambon yang mulai dibekap petang.
Pelan-pelan, pertikaian surut. Ke-dua- sahabat kembali bertemu. Hu-bungan bisnis mereka kembali normal. "Ya, sekarang kita sudah bateman lagi," kata Jemy.
Ambon berubah. Orang-orang tak lagi takut keluar rumah. Jalanan diramaikan kendaraan yang hilir-mudik. Bunyi letusan senjata berganti suara klakson mobil. Dan teriakan perang sudah berganti dengan umpatan sopir mobil kepada tukang becak yang main serobot. "Eh cepat lei, ale kalau bawa becak jangan tidur." Tapi tak ada lagi orang marah.
Saat kendaraan Tempo memasuki Kampung Aster, berbagai pengumum-an meramaikan wilayah Kristen ini: spanduk ajakan kebaktian gereja dan spanduk seruan memperkukuh ukhuwah Islamiyah.
Di pasar Paso, Kota Ambon--pasar yang dulu dikuasai Kristen-para pe-da-gang Kristen dan Islam juga tak je-ngah berbaur. Mereka berjongkok, ber-baris, seraya menjajakan berbagai jenis ikan. Teriakan goda-menggoda yang disambut tawa akrab sering terdengar.
Sebaliknya di Pasar Mardika, Batu Me-rah, yang dulu dikuasai Islam, hal serupa juga terlihat. Di sana banyak pedagang Kristen ikut mengais rezeki. "Beta sonde (tak) tahu perang agama. Beta senang sekarang semua orang sudah baku bae," ujar Lesy Tawainella, 52 tahun, orang Kristen. Ibu penjual cabe ini sudah kembali masuk Pasar Mardika sejak setahun silam.
"SITUASI memang semakin baik," ujar Jhon Ruhulesin, 48 tahun, tokoh Kristen Ambon. Jhon adalah salah seorang deklarator Perjanjian Malino II yang diteken pada 12 Februa-ri 2002. Dalam perjanjian itu kedua pihak yang bertikai bertemu. "Saya harap perdamaian ini terus terpelihara," ujar Jhon.
Perang Ambon memang menyakitkan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat korban jiwa di sana berjumlah hingga 8.000 orang. Puluhan ribu bangunan lantak dan 330 ribu orang mengungsi.
Pemicunya adalah soal sepele: perkela-hi-an antara seorang sopir dan beberapa pemuda. Sang sopir adalah warga Desa Batu Merah Atas yang mayori-tas penduduknya Kristen. Lawannya adalah pemuda dari Batu Merah Ba-wah yang penduduknya ke-banyak-an muslim. Perkelahian yang terjadi pada hari Lebaran, Ahad 19 Januari 1999, itu melebar. Seantero Maluku ter-bakar.
Beberapa kali konflik sempat mereda, seperti ketika berlangsung pemi-lihan umum Mei 1999. Namun, perseteruan kemudian pecah lagi dan tambah runyam ketika aparat pun ikut terlibat dan datang milisi dari luar Maluku.
Butuh lima tahun untuk meng-hentikan konflik. "Kami sudah capek- baku bunuh," ujar Irwan Tahir, guru madrasah negeri di Ambon. Kini si-tuasi berangsur pulih. Lagu daerah Gandonge, yang semasa konflik bagai haram dilantunkan, kembali dinya-nyikan. Inilah lagu yang berkisah tentang indahnya hidup bersama. "Gandonge sio gandonge, mari beta gendong, beta gendong ale jua."
Tapi bukan tak ada ancaman. Me-nurut anggota DPRD Maluku, D.K. Tuhepaly, persoalan pengungsi bisa jadi pemicu konflik. Dalam berbagai kunjungan ke daerah, ia mendapati pengungsi sudah mulai jenuh. "Me-reka ingin segera pulang," ujarnya. Hal lain yang bisa bikin repot adalah minimnya lapangan kerja untuk anak-anak muda Ambon.
Jhon Ruhulesin juga berharap agar dia-log yang melibatkan semua pihak te-rus dibuka. "Termasuk dengan pihak keamanan," ujar dia. Dia yakin, ji-ka semua dilakukan dengan niat baik, perdamaian di Maluku akan lang-geng.
MALAM turun dan mobil kami sampai di Jalan Sultan Baabullah. Tepat di depan Masjid Al-Fatah, tampak seorang lelaki tengah baya asyik melayani para pembeli di warungnya. Ahmad, penjual ketupat, ikan go-reng, dan sayur terong, itu cekatan menyediakan permintaan pelanggannya. Satu porsi makanan racikannya dijual Rp 7.500.
Dengan itulah kini ia menghidupi ke-luar-ganya. Pada masa kacau dulu ia me-milih mengungsi ke luar kota, meski sebenarnya bisa berlindung aman di Mas-jid Al-Fatah di Batu Merah-pos pa-ling aman bagi warga muslim. "Tapi sa-ya tak mau ambil risiko," kata pria keturunan Buton, Sulawesi Tenggara itu.
Setelah pulang dari pengungsian, ia membuka lagi warung sederhana-. -Bukan cuma warga muslim, orang Kristen pun banyak yang singgah makan. Ahmad tak khawatir berdagang hingga lewat tengah malam. Dulu saat konflik, hampir tak ada warga yang be-rani ke luar rumah di atas pukul delapan malam.
Menjelang dini hari, kendaraan- -yang ditumpangi Tempo sampai di jembatan Batu Merah. Kenangan segera melayang ke masa tujuh tahun silam. Di sinilah perseteruan berdarah dimulai dan halaman pertama kisah kelam Maluku dituliskan.
Dari atas bukit ini, tampak dua ru-mah tengah diperbaiki. Itulah rumah-rumah yang termasuk pa-ling awal dibakar massa dalam kerusuhan lalu. Kini keduanya nyaris selesai dipugar. Dinding serta atapnya sudah ter-pasang. Sebentar lagi cat akan mela-pisi tembok-temboknya. Ambon terasa manis sore itu....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo