Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jokowi mengancam menutup industri yang tak menaati aturan pengendalian emisi gas buang.
Industri diminta melaporkan upaya pengendalian emisi gas buang setiap pekan kepada Kementerian Perindustrian.
Sikap pemerintah bertolak belakang dengan langkah hukum yang dilakukan terhadap gugatan pencemaran udara pada 2019.
JAKARTA – Presiden Joko Widodo mengancam menjatuhkan sanksi hingga menutup industri yang tak menaati aturan pengendalian emisi gas buang dan menjadi penyebab polusi udara. "(Dikenai) sanksi pasti dan bisa ditutup," ujar Jokowi, kemarin. Aturan itu, ia melanjutkan, dibuat untuk mencegah kualitas udara di daerah sekitar lokasi industri memburuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toh, meski Jokowi menyebutkan aturan pengendalian emisi gas buang sudah ada, sikap pemerintah itu baru muncul setelah kualitas udara di wilayah Ibu Kota dan sekitarnya memburuk dalam beberapa pekan terakhir. Jokowi juga baru menginstruksikan agar pabrik-pabrik dipasangi alat pengendali polusi dalam rapat terbatas yang membahas penanggulangan polusi udara pada Senin, 28 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Instruksi Jokowi itu disertai ancaman kepada pelaku usaha yang tidak patuh. "Sudah saya sampaikan, kalau (industri) tidak mau memperbaiki, tidak pasang scrubber (alat pengendali polusi udara), ada tindakan tegas untuk ini," kata Jokowi. Akibat pencemaran udara, dia mengimbuhkan, biaya kesehatan yang harus dibayar sangat mahal.
Pada 23-24 Agustus lalu, sebelum Jokowi menebar ancaman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melayangkan sanksi administratif kepada sebelas industri yang dianggap menjadi sumber polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Lini usaha perusahaan yang dijatuhi sanksi tersebut meliputi penimbunan batu bara, peleburan logam, kertas, dan arang.
Petugas Laboratorium Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta memeriksa cerobong asal di salah satu pabrik di Cakung, Jakarta, 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis
Dalam konferensi pers pada 11 Agustus lalu, Kementerian Lingkungan Hidup melaporkan sejumlah sumber polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Sigit Reliantoro, menyebutkan penyumbang emisi gas buang terbesar adalah sektor transportasi, yakni 44 persen. Sektor industri energi menjadi kontributor polusi terbesar kedua, yaitu 31 persen. Diikuti sektor industri manufaktur (10 persen), perumahan (14 persen), dan komersial (1 persen).
Lebih rinci, kajian Kementerian menyebutkan zat polutan, seperti sulfur, paling banyak berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara dan sektor manufaktur, yakni sebesar 61,96 persen. Adapun zat pencemar lain, seperti nitrogen oksida, karbon partikulat 10, partikulat 2,5, serta karbon hitam dan karbon organik, sebagian besar berasal dari kendaraan bermotor.
Setelah Kementerian Lingkungan Hidup bertindak, giliran Kementerian Perindustrian mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023. Surat yang ditetapkan pada 25 Agustus lalu dan berlaku sampai 31 Desember 2023 tersebut mengharuskan perusahaan industri serta perusahaan kawasan industri di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten melaporkan pengendalian emisi gas buangnya saban Kamis setiap pekan.
Dalam keterangan tertulis pada situs web Sekretariat Kabinet, perusahaan yang terkena kewajiban ini adalah mereka yang dalam proses pembangkitan energi, proses produksi, dan limbahnya mengeluarkan emisi gas buang dan/atau gangguan ke udara. Mereka juga wajib menjamin pemenuhan parameter emisi gas buang dan udara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
"Melalui pelaporan yang akan dilakukan oleh perusahaan industri, Kemenperin dapat mengumpulkan data untuk menganalisis dan mengidentifikasi berapa banyak industri yang memiliki pembangkit dalam proses produksi," ujar Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri Kementerian Perindustrian, Doddy Rahadi.
Baca juga: Kasak-kusuk Menentukan Sumber Polusi
Kementerian Perindustrian berharap upaya pelaporan oleh perusahaan menjadi salah satu solusi untuk mengendalikan emisi gas buang. Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Eko S. A. Cahyanto, menjelaskan bahwa ruang lingkup surat edaran tersebut meliputi kewajiban perusahaan menerapkan industri hijau serta menyampaikan laporan melalui portal Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) dan mekanisme verifikasi pelaporan.
Laporan dari perusahaan nantinya diverifikasi tim inspeksi yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 3599 Tahun 2023. Perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban ini akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan. "Jika emisi sama dengan atau di atas ambang batas, kami akan melakukan inspeksi, verifikasi, audit, dan pemantauan," kata Direktur Ketahanan dan Iklim Usaha Industri Kementerian Perindustrian, Binoni Tio A. Napitupulu.
Sebagian pekerja masih menggunakan masker berjalan kaki di kawasan Sudirman, Jakarta, Rabu (23/8/2023). Menurut situs IQAir, pada Rabu sekitar pukul 08.00 nilai inseks kualitas udara di Jakarta adalah 157 atau dalam kondisi tidak sehat. Tempo/Tony Hartawan
Inkonsistensi Pemerintah Sumber Masalah
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sarman Simanjorang, sepakat dengan langkah pemerintah mengevaluasi pengendalian emisi industri untuk memulihkan kualitas udara di Ibu Kota dan sekitarnya. "Kami berharap pemerintah proaktif mengawasi dan menginspeksi, terutama kepada sektor usaha yang berpotensi menimbulkan polusi," ujar dia.
Tak cukup dengan upaya tersebut, Sarman meminta pemerintah konsisten mengingatkan pelaku usaha mengenai batas toleransi emisi pada sektor industri. Perusahaan yang emisinya melewati ambang batas, menurut dia, perlu dievaluasi dan ditegur lebih dulu sebelum ditindak. Ia mengatakan perlu kerja sama semua pemangku kepentingan untuk mengembalikan udara Jakarta menjadi lebih bersih. "Pengusaha akan mendukung langkah dan program pemerintah," kata dia.
Namun anggota Staf Advokasi dan Kebijakan Lingkungan Hidup Walhi Jakarta, Syahroni Fadhil, mengatakan kebijakan pengendalian polusi yang digaungkan pemerintah, khususnya soal emisi industri, sebetulnya bukan hal baru. Justru evaluasi berkala atau pengawasan itu seharusnya dilakukan sejak dini, yakni sejak pemerintah memberikan izin usaha.
"Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021, kan sudah disebutkan perusahaan wajib melapor berkala per enam bulan," ujarnya.
Sayhroni menilai masalah polusi udara yang kian parah dalam beberapa waktu terakhir merupakan indikasi bahwa kebijakan tersebut tidak berjalan semestinya. "Kondisi ini jadi pertanyaan, pencemaran terjadi karena ada pembiaran pelanggaran hukum," ucapnya.
Titik Sumber Pencemaran Udara
Syahroni menganggap tindakan pemerintah yang terkesan tegas belakangan seperti sebuah gimik agar terlihat bekerja menanggulangi polusi. Padahal pemerintahlah yang terkesan tidak peduli dengan tak menerima hasil putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September 2021. Kala itu, pengadilan menyatakan pemerintah melakukan tindakan melawan hukum dan melanggar Pasal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Putusan tersebut merupakan buah dari gugatan publik yang dilayangkan 32 warga terhadap Presiden, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, hingga Gubernur DKI Jakarta atas pencemaran udara di Ibu Kota pada Juli 2019. Penggugat menilai udara Jakarta yang tercemar menyebabkan hak masyarakat mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak terpenuhi.
Namun, hingga kini, putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap lantaran para tergugat, kecuali Gubernur DKI Jakarta, terus melakukan langkah hukum atas putusan tersebut. Setelah putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 17 Oktober 2022, pemerintah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Baca juga: Merugi Ekonomi Akibat Polusi
Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Bondan Andriyanu, menganggap sikap pemerintah yang baru belakangan bersikap tegas bertolak belakang dengan langkah hukum yang dilakukan dalam gugatan warga. Ia menyarankan pemerintah lebih dulu mencabut kasasi atas putusan pengadilan tersebut. "Tinggal laksanakan perintah hakim dalam putusan yang sudah lengkap."
Salah satu isi putusan pengadilan itu adalah memerintahkan Jokowi menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain itu, kata Bondan, dalam mengatasi masalah polusi tersebut, pemerintah perlu membuat data acuan mengenai sumber pencemar udara secara berkala, bukan hanya di Jakarta, tapi juga di provinsi-provinsi sekitarnya. Perhitungan angka korban dan kerugian ekonomi akibat polusi udara, ia melanjutkan, harus menjadi dasar pengambilan kebijakan. "Agar benar-benar bisa mengendalikan sumber pencemaran udara, salah satunya adalah penggunaan bahan bakar fosil, termasuk untuk keperluan industri."
CAESAR AKBAR | ANT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo